01.

7 3 0
                                    

"Pagi, cantik!" teriak Nata entah pada siapa.

Pandangan Nata terus tertuju ke bawah sana, tempat di mana kegiatan MPLS dilaksanakan.

Senyumnya terus mengembang, membuat adik-adik kelasnya di bawah sana mengabaikan rasa pegal di leher hanya untuk mendongakkan kepala ke atas.

Ceramahan dari kepala sekolah diabaikan sedari tadi, sampai kepala sekolah yang sedang berkoar-koar itu tak tahan lagi.

"Nata, turun ke sini! Ganggu aja kamu dari tadi," omel kepala sekolah sambil ikut mendongakkan kepalanya.

"SIAP, PAK!" teriak Nata bersemangat dari atas.

Ia kemudian berlari secepat kilat untuk turun ke bawah, kemudian berhenti tepat di anak tangga paling bawah di lantai satu.

Nata mengatur napasnya sejenak dan sedikit memberantakkan rambutnya.

Lalu ia berjalan dengan langkah santai, pandangannya lurus ke depan dengan senyumnya yang sanggup memikat siapapun. Tangan kanannya dimasukkan ke kantung celana. Setelah itu ia menggunakan jari-jemarinya yang bebas untuk menyisir rambutnya ke belakang.

Nata ingin tebar pesona.

Gio dan Dean yang sejak tadi menemani Nata di atas hanya bisa melirik sinis ke bawah, sebal dengan tingkah Nata.

"Anjir emang si Nata de Coco. Kurang banyak apa coba ceweknya. Betah amat kayanya tebar-tebar pesona," kata Gio kepada Dean.

"Kayak kaga tau temen lo aja, nyet," balas Gio.

Gio dan Dean kemudian memfokuskan mata mereka ke bawah, ke tempat di mana Nata sedang berdiri di atas panggung.

Suara kepala sekolah kemudian memenuhi seantero gedung sekolah. "Kamu ngapain tadi, senyum-senyum ke bawah?" tanya kepala sekolah sambil berkacak pinggang dengan satu tangannya.

Tanpa diduga, Nata pergi mengambil toa yang sedari tadi dipegang oleh Albert, ketos SMA Harapan Bangsa. Lalu ia kembali ke hadapan kepala sekolah.

"Cuma nyapa adek-adek kelas yang cantik jelita. YA KAN, PARA CECAN?" balas Nata yang mengundang sorakan kuat dari semua peserta MPLS.

Kepala sekolah itu sudah geleng-geleng kepala melihat tingkah Nata yang tidak pernah berubah. Dari pala mengundang malu bagi dirinya sendiri, lebih baik dia mengusir Nata.

"Masuk kelas, kamu! 5 menit lagi bel bunyi. Sana!" usirnya.

"DADAH PARA PUJAAN HATIKUUUU, JAN KANGEN YAK!"

Sekali lagi sorakan kuat terdengar. Adik-adik kelas itu semakin mengagumi Nata dengan sejuta pesonanya.

Ganteng, keren, kayaknya kaya, gaul, dan sepertinya nilainya enggak bagus-bagus amat. Benar-benar pujaan hati degem-degem yang berharap mendapatkan pacar setipe dengan Nata. Kebanyakan membaca novel dengan tema 'troublemaker' ataupun tentang 'badboy', mungkin.

Nata lalu kembali berjalan di antara barisan-barisan adik kelasnya. Tentu saja, dengan menyisir rambutnya ke belakang.

Pandangan dan langkah Nata kemudian berhenti tepat di depan seorang gadis yang raut wajahnya tampak tidak bersahabat. Gadis itu berhasil menarik perhatiannya. Belum pernah ada yang sesinis ini kepada Nata sebelumnya. Dan Nata merasa kalau gadis ini hanya ingin jual mahal.

Nata pun memamerkan senyuman memikatnya sambil menjulurkan tangan kanannya. "Gue Nata Bagaswijaya, lo?"

Pekikan dari gadis-gadis itu terdengar di telinga Nata. Ia lagi-lagi tersenyum. Pesonanya terlalu kuat.

Gadis yang diajak berkenalan hanya memutar kedua bola matanya tanpa menatap Nata. Pandangannya pun lurus ke depan. Raut wajahnya semakin tidak bersahabat.

Anjir dikacangin, batin Nata.

Nata sebenarnya tak terima. Tapi demi menjaga imagenya, ia harus tetap tersenyum. Ia pun melirik nametag yang tergantung di leher gadis itu.

"Lannina Felania," kata Nata, "nama lo bagus," lanjutnya.

"Tolong inget nama gue, Nata Bagaswijaya."

"Mungkin gue akan suka sama lo."

"Dengan lo kacangin gue, lo bikin gue makin tertarik."

Tangan yang dijulurkan Nata pun ia tarik kembali. Ia berjalan melewati Lannina dengan senyumam memikat yang masih setia menghiasi wajahnya.

Lannina, Lannina, Lannina, batin Nata.

*

Peserta MPLS sedang berdesak-desakan di depan papan mading untuk melihat pembagian kelas. Berbeda dengan Lannina yang berdiri di posisi paling belakang tanpa ada niat untuk membelah desakan-desakan itu.

Lima belas menit setelahnya, Lannina baru maju untuk melihat pembagian kelasnya saat desakan itu sudah hilang.

X IPS-1, Batin Lannina.

Ia kemudian melangkah pelan ke lantai dua. Wajahnya yang tanpa ekspresi mengundang tatapan sinis dari berbagai sisi. Apalagi mengingat keberuntungan Lannina yang diajak berkenalan oleh seorang Nata Bagaswijaya.

Sebuah keberuntung bagi mereka semua, dan sebuah kesialan bagi Lannina.

Lannina benar-benar membatasi pergaulannya. Hanya berbicara, mengangguk atau menggeleng jika benar-benar diperlukan. Tidak sedikit yang mengira Lannina bisu.

Dinding yang telah dibangun selama 3 tahun itu sudah terlalu sulit untuk ditembus. Tinggal menunggu waktu apakah masih ada kesempatan bagi Lannina untuk dapat merasakan bagaimana rasanya memiliki teman, mendapat perhatian dari orang lain, dan semua yang dulu pernah dirasakan Lannina. Waktu yang akan menjawab semuanya.




m i s s c a p e n

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 28, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lannina & NataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang