Menggunakan writer's block inferiority complex untuk melawan writer's block dan inferiority complex
--dari seorang penulis yang terserang IC empat lapis
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Nol kata.
Sedang apa aku ini? Sudah dua jam lebih, tapi yang terpampang di halaman word processor masih sama persis dengan yang kutulis tiga bulan yang lalu.
Dalam tiga bulan itu, ada yang sudah menerbitkan novel pertamanya. Beberapa sudah mengirim ke penerbit. Banyak yang sudah mulai mencari proofreader kesana-kemari. Yah, setidaknya yang paling parah masih sempat menyelesaikan tiga-empat bab.
Aku?
Rasanya aku mulai jauh lebih dulu dibanding mereka. Outline-ku sudah mendapat semacam penghargaan akhir tahun lalu, dan sejak saat itu pun aku sudah mulai bekerja.
Stuck di satu setengah chapter.
TIdak. Aku belum menyerah. Aku masih ingin menyelesaikan cerita yang satu ini, tapi hal yang sama terjadi setiap kali aku ingin memulai. Aku tahu apa yang harus kutulis, tapi tidak ada kata yang keluar.
Otakku berasa mati.
Saking lamanya aku seperti ini, bayangan di kepalaku makin lama makin memudar. Orang-orang berkulit gelap, dengan kelopak mata yang berpendar biru dan kembang yang mekar dari rambut segelap malam… Tangan-tangan yang panjangnya mencapai lutut berputar dan melambai mengikuti ayunan rerumputan… Waktu itu semuanya terlihat nyata, aku bahkan bisa langsung mendengar nyanyian angin yang berhembus semilir tanpa henti.
Ha. Tampaknya setelah sekian lama mereka menungguku menghidupkan mereka di hati orang-orang, mereka kecewa dan memutuskan untuk meninggalkanku untuk selamanya.
‘Anak-anakku’ bukan hanya mereka, orang-orang Parama, mereka yang bersembunyi di tanah surga. Masih ada gadis-gadis ajaib yang terombang-ambing antara pilihan untuk menumpas setan atau menerima kenyataan. Ada juga pembela kebenaran yang dituntun oleh suara orang-orang dari alam seberang, penyihir jahat yang mencari kebahagian yang sesungguhnya sudah ada dalam genggaman, bekas pembantai bermata satu yang mencari kedamaian di antara padang bunga,, pendekar yang tenggelam dalam ketakutan sebelum maju ke medan pertempuran…
Tapi mereka semua tak pernah datang lagi. Mereka semua sudah meninggalkanku, meninggalkan jejak-jejak kata dari draft yang tak akan pernah selesai.
Lalu ada seorang gadis, gadis yang begitu mirip denganku—bukan, gadis itu adalah aku di masa lalu—seorang gadis yang bergelantung di tepi jurang, dengan satu tangan yang berpegangan ranting mimpi yang makin melemah, seorang gadis yang makin lelah bergantung pada mimpi itu dan hampir memilih tenggelam dan hancur dalam jurang tak berujung.
Kupikir aku sudah berhasil keluar dari jurang itu. Kupikir aku berhasil memanjat ranting lemah itu dan berdiri tegak di tepi jurang dan mentertawakan lubang hitam raksasa yang gagal menelanku.
Aku tertawa miris. Tampaknya aku jatuh di jurang yang sama untuk kedua kali, dan kini aku sudah tak punya tenaga lagi untuk menggenggam si ranting mimpi.
Aku sudah membuang semuanya; gelar sarjana, kepercayaan keluarga, waktu dan harta… Semua yang kuanggap berharga sudah tidak ada. Aku sudah tidak punya apa-apa.
Pada akhirnya aku hanya bisa melihat orang-orang memanjat mendahuluiku dan berlari menuju cahaya, sementara aku sendiri makin dalam diisap kegelapan.
Kalau aku harus melihat layar Solar Pad sialan ini lebih lama lagi, rasanya aku bisa mencopot bola mataku saat itu juga. Aku turun dari ranjang dan berjalan ke arah balkon flat-ku yang bobrok ini. Aku sudah melihat ke bawah dari lantai lima ini berulang kali, dan satu atau dua bulan lagi ketika masa kontraknya habis, tarian orang-orang Parama mungkin telah lenyap sepenuhnya dan aku hanya bisa melihat tempat ini dari bawah sebelum memasrahkan diri pada kehidupan jalanan.
Aku berkedip. Sekali. Dua kali.
Lorong gelap di bawah sana tampak persis dengan jurang yang mengisapku pelan-pelan. Beton tempatku berpijak mulai terlihat seperti tepi jurang yang rapuh. Dan pagar besi yang sudah goyah dan penyok ini… pagar yang kupegangi ini pastilah ranting mimpiku yang sudah hampir putus, tak kuat lagi menahan seluruh bebanku.
Ya… Aku hanya menyiksa diriku sendiri, terkatung-katung, menggantung nyawa pada dahan lemah yang pasti akan patah. Padahal kalau aku melepaskannya, semuanya akan berakhir begitu saja… Aku tidak perlu merasa silau dan sesak melihat mereka yang menemukan cahaya di atas sana. Aku tidak perlu berjuang melawan isapan dasar jurang yang makin mengganas.
Benar. Semua akan berakhir.
Sudah saatnya aku melepaskan pegangan sia-sia ini.
***
“Mereka tidak pernah meninggalkanmu!”
…
“Kau yang meninggalkan mereka!”
…
“Kau meninggalkan mereka, dan sekarang mereka akan lenyap untuk selamanya!”
…
“Padahal kau yang memberi mereka nyawa…”
…
…
“Kau tega membuang mereka begitu saja?”