“Valerie?!”
Sesuatu yang lembut dan sejuk menyentuh lenganku dan mengguncangkan tubuhku. Sentuhan tangan. Kegelapan telah hilang beersama cahaya yang membakarku tadi.
Sekarang, setelah semuanya terasa lebih baik, aku sadar. Aku masih punya tubuh yang padat dan nyata.
“Valerie? Kau kenapa?”
Kupaksa kelopak mataku hingga terbuka. Kali ini bukan gelap yang kudapat, juga bukan cahaya yang membakar.
Aku membuka mataku dan melihat dunia yang baru.
Ini jelas bukan Belystad. Belystad adalah belantara beton. Kemanapun kau menoleh, kau akan bertemu dengan menara-menara yang berebut menggapai matahari. Segelintir tanah lapang yang ada hanya bisa ditemukan di Lower Layer yang gelap dan kumuh. Tempat ini tidak membuatnya sesak dengan bau busuk timbunan sampah dan keputusasaan seperti tanah lapang di Lower Layer. Sebaliknya, di sini aku bisa menghirup wangi yang segar—wangi tanah dan rerumputan basah.
Yang benar saja, Di sekelilingku hanya ada hamparan ilalang yang bermandikan tetesan embun. Dan sekarang aku sedang duduk di bersandar pada bagian belakang sebuah gerobak kayu yang meluncur di jalan berbatu, mengenakan jubah coklat lusuh yang seharusnya sudah tak pernah dipakai orang lagi sejak berabad-abad yang lalu.
Lalu tangan yang memegang bahuku… sepasang lengan berkulit gelap seperti orang-orang selatan, lengan yang terlalu panjang dengan jemari yang meruncing dan berkilau seperti dibungkus perhiasan emas…
“Aku tidak apa-apa, tapi—“
“Syukurlah!” semerbak kembang yang menghiasi rambut pemilik lengan itu membelai penciumanku ketika dia memelukku tanpa peringatan. Kusir kereta itu sampai menoleh ke belakang dan melontarkan umpatan karena keseimbangan kereta jadi goyah karenanya.
“Aku benar-benar takut tadi! Tiba-tiba… Tiba-tiba kau pingsan dan mulai… mulai terlihat transparan… aku sampai tidak bisa menyentuhmu!”
Aku mendorongnya pelan, “Tunggu dulu… Sebentar…”
“Eh? Aduh! Maaf… Aku terlalu senang karena kau sudah sadar dan sudah terlihat lagi… Apa kau sakit?”
Aku tidak menjawab. Aku tidak ingin menjawab. Aku hanya memperhatikan orang itu—gadis itu—dari ujung kepala dari ujung kaki. Rambutnya, rona wajahnya, pakaian yang dia kenakan... Lalu aku melihat diriku sendiri, jubah yang hanya dipakai hingga akhir abad pertengahan, sabuk kulit yang terselempang menahan sesuatu yang panjang dan berat di punggungku, helai rambut kehijauan...
Rupanya aku masih mimpi. Penguasa mimpi pastilah berbaik hati padaku, ketika akhirnya aku kehilangan fantasiku, dia tidak hanya mengembalikan mereka padaku, tapi malah meleburkan aku ke dalamnya.
“…Valerie?”
Valerie E. Sewell, putri seorang arkeolog yang tengah mencari sebuah tanah legenda yang bagaikan surga, gadis yang sudah tersesat bahkan di awal pencariannya dan secara kebetulan menolong seorang wanita aneh yang cirinya persis dengan kaum yang tinggal di Paramanagari, tanah yang ia cari.
Tampaknya sekarang Valerie adalah aku.
Apa ujung dari jurang itu memang seperti ini? Ketika kulepas ranting mimpiku—ranting fantasiku yang makin lama makin melemah—akhirnya aku jatuh, tapi bukan jatuh ke surga atau neraka, melainkan jatuh ke dalam fantasi itu sendiri, menjadi satu dengan dunia yang kubuat sendiri?
Kalau memang ‘akhir’ itu seperti ini, seharusnya ranting itu kulepas sedari dulu.
Aku kembali memandangi Prasthina si gadis Parama, perempuan berlengan panjang yang mengguncangkan tubuhku dan memanggil-manggilku sedari tadi. Persis, persis dengan yang kugambarkan. Aku bahkan mengenali jalan ini, adegan ini, adegan terakhir yang berhasil kutuangkan sebelum fantasiku perlahan mati.
Tapi tadi Prasthina berkata bahwa Valerie kehilangan kesadaran dan menjadi transparan.
Aneh. Meski aku tak pernah berhasil menuliskannya, aku tahu apa yang seharusnya terjadi pada Valerie dan Prasthina setelah ini, dan Valerie sang tokoh utama jatuh pingsan di perjalanan dan menjadi bening tak terlihat sama sekali tidak pernah melintas di pikiranku. Seharusnya ia tidak pingsan dan wujudnya tidak menghilang. Ya, seharusnya begitu.
Ada yang salah.
“Ini semua salahmu. Kaulah yang membuat mereka menjerit seperti itu.”
Suara itu. Suara aku dalam kegelapan itu kembali menerobos gendang telingaku.
Tidak, bukan suara yang sesungguhnya, melainkan ingatan akan yang kudengar dalam gelap itu.
“Mereka ada karena kau, dan mereka akan merasakan sakitnya kehampaan karena kau. Kalau kau ingin mengakhiri hidupmu yang menyedihkan itu, kau harus mengakhiri mereka dengan tanganmu sendiri.”
…Apa Valerie menghilang karena aku, karena aku berhenti menulis kisahnya, karena aku membiarkan diriku jatuh?
Tapi mereka yang duluan meninggalkanku! Mereka yang lari dari benakku, lari dari fantasiku!
Kalau mereka harus lenyap karena aku memilih jurang itu, seharusnya mereka lenyap saja! Seharusnya aku tetap mengambang dalam kegelapan itu, terus jatuh dalam jurang itu, bukan malah masuk dan menjadi bagian dari mereka!
“Mereka ada karena kau, dan mereka akan merasakan sakitnya kehampaan karena kau. Kalau kau ingin mengakhiri hidupmu yang menyedihkan itu, kau harus mengakhiri mereka dengan tanganmu sendiri.”
…
…
Aku menggigit bibir.
“Kau harus mengakhiri mereka dengan tanganmu sendiri.”
Apa itu berarti aku harus menjalani kisah mereka hingga akhirnya tiba, baru akhir yang sesungguhnya akan tiba?
“Valerie, keadaanmu…”
Prasthina tampak khawatir, padahal Valerie hanyalah seorang asing. Bagi Prasthina, Valerie hanya kebetulan menyelamatkannya, juga kebetulan percaya bahwa sukunya dan tanah tempat tinggalnya benar-benar nyata. Ketika orang lain berpura-pura peduli sambil mencari alasan untuk pergi, perhatian di wajah coklat gadis itu tampak begitu nyata.
Persis. Persis seperti yang kuciptakan.
Aku meraih buku usang bersampul kulit yang tergeletak di pangkuanku. Aku bahkan tidak perlu benar-benar melihatnya untuk tahu bahwa benda itu ada di situ.
Buku itu, jurnal Cerval E. Sewell, sang arkeolog yang pertama kali menemukan tanah suci Paramanagari.
Aku membuka lembaran-lembarannya meski aku sudah tahu apa isinya, sama seperti Valerie yang hafal kisah-kisahnya di luar kepala.
“Aku tidak apa-apa,” aku—Valerie—memberikan senyum yang paling meyakinkan pada Prasthina, “Sebentar lagi kita akan tiba di kota Granite, barulah dari situ kita menuju wilayah timur. Kekasihmu yang hilang itu berasal dari sana, bukan? Setelah itu kau bisa memenuhi janjimu dan membawaku ke Paramanagari.”
“…Eh? B-bagaimana kau tahu aku ingin menawarkan untuk mengantarmu ke kampung halamanku jika aku bisa menemukan Saphala? Kau bisa membaca pikiran?” mata gadis itu membelalak, setengah terkejut dan setengah terpesona.
Gawat. Aku salah bicara. Terakhir kali aku menulis, Prasthina baru saja bertanya apakah Valerie mengenal kekasihnya yang berasal dari Timur. Mereka belum sampai pada kesepakatan yang satu itu.
Apa boleh buat. Toh itu tidak merubah apa-apa.
Nyata atau maya, aku tidak peduli lagi. Akhir masih menunggu di ujung sana, menunggu hingga aku mengakhiri kisah ini. Dan kali ini aku tidak perlu takut kehilangan fantasi karena aku sudah berada di dalamnya seperti ini.
Aku hanya perlu terus menjadi Valerie hingga aku menjadi tak tampak hingga lenyap sepenuhnya bersama dunia yang mengkhianatiku ini.