"Gue yakin Nak, kalo si Ava itu sebenernya s-"Pranggg ...
Seketika semuanya menjadi gelap.
•••••
Aku merasa seperti mendengar beberapa orang saling berbicara. Tapi entah apa yang mereka bicarakan. Aku berusaha membuka mataku, namun entah mengapa terasa berat. Belum lagi rasa nyeri yang bersarang di kepalaku.
Tiba-tiba semuanya terasa sunyi. Suara-suara tadi sudah menghilang. Digantikan dengan suara langkah kaki yang mendekat ke arahku.
Aku mengerjap-erjapkan mataku. Dan berhasil. Mataku mulai terbuka sedikit demi sedikit.
Dan untungnya ruangan ini tidak begitu terang, sehingga mataku tidak terlalu sakit saat baru-baru terbuka.
"Va, lo udah sadar?" Aku mendengar seseorang berbicara padaku. Aku menengok, dan menemukan sang sumber suara. Yang tepat berada di sebelah kananku.
Aku menyipitkan mataku, berusaha menajamkan penglihatanku. Apakah benar dia yang berada di sampingku. Tapi kenapa harus dia, dimana Inaka dan Feby?
Bener gak sih itu dia, tapi ngapain dia disini, trus kok mukanya panik gitu sih?
"Va, mana yang sakit?" Lagi-lagi ia bersuara.
"Al-Alex?" Ucapku tak yakin.
"Lo ngapain di sini, Naka sama Feby mana?" Tanyaku padanya.
Ia tak membalas pertanyaanku dengan jawaban yang benar. Justru ia kembali bertanya mengenai keadaanku.
"Va, mana yang sakit? Kalo emang masih sakit mending kita ke dokter yuk." Ucapnya dengan wajah panik.
Sebenarnya ada apa sih, kenapa Alex yang berada di sini, dan kenapa aku bisa berada di sini?
"Lex, sebenernya ada apa sih, kok gue di sini, trus kenapa lo juga disini?" Tanyaku. Semoga saja kali ini ia menjawab pertanyaanku dengan benar.
"Oke. Gue bakal jelasin. Tapi lo jawab dulu pertanyaan gue, lo masih ngerasa sakit di bagian tubuh lo gak?" Entah mengapa ia terlihat sangat cemas.
Aku memutar mataku jengah. "Gue gapapa Lex. Cuma nyeri dikit di kepala gue."
"Yakin?"
"Iya Alex. Mending lo jelasin sekarang ke gue, kenapa gue bisa ada disini."
Dia menghembuskan nafasnya lega. "Syukur deh, kalo lo gak kenapa-napa. Jadi gini, tadi gue lagi olahraga. Dan olahraganya itu sepak bola. Mungkin gue nendangnya terlalu keras, sampe-sampe kena kaca kelas lo. Kacanya pecah."
"Trus?"
"Untungnya sih gak ada yang kena pecahannya. Tapi masalahnya, bola yang gue tendang itu. Bola itu kena kepala lo. Trus lo langsung pingsan."
Ia menyelesaikan ceritanya, yang kubalas dengan ber-oh ria.
"Trus yang bawa gue kesini siapa? Andre?" Tentu saja Andre. Ia adalah ketua kelasku.
"Bukan." Jawabnya.
Lalu, kalau bukan Andre, berarti ...
"Gue yang bawa Lo kesini."
Jduarrrr ...
"El-elo yang gen-"
"Iya. Gue yang gendong Lo kesini. Kenapa emangnya?" Ia bertanya dengan polosnya. Namun wajah polosnya itu terlihat sedikit manis bagiku.
Duh Va, otak lo kayanya rada geser dikit deh. Bisa-bisanya lo malah mikirin wajahnya. Dasar cewek gesrek!
"Em-gapapa sih. Cuma ..."
"Cuma ..." Ia mengikuti kata-kata ku.
"Em-sorry. Lo pasti keberatan bawa-bawa gue. Secara kan badan gue berat. Hehehe." Lanjutku.
Garing. Itulah kata yang pantas untukku saat ini.
"Gak berat kok. Malah lo itu ke entengan. Jarang makan lo ya?"
"Ah-enggak kok. Emang badan gua mah gitu, mau makan sebanyak apapun yah gitu-gitu aja." Alex mengangguk-aggukan kepalanya.
"Oh iya, kok-"
"Eh, bentar. Itu." Alex mengucapkan kata 'itu' sambil menatapku.
Ia memandangku lekat-lekat. Namun entah aku yang baper, atau bagaimana, tapi aku merasa ia semakin dekat padaku.
Wajahnya terus mendekat padaku, otomatis aku juga memundurkan wajahku.
Semakin dekat, semakin dekat, dan-
"Ekhem!"
TBC ...
KAMU SEDANG MEMBACA
ROSE
Teen FictionAku menyukai warna merah, karena aku menyukai bunga mawar. Tetapi terkadang mawar menyakiti orang yang ingin menyentuhnya, dan membuat orang itu membencinya. Namun, apakah kalian tahu bahwa sebenarnya, mawar pun tidak ingin menyakiti orang lain, tet...