Reem #1. Gone

98 9 9
                                    

Dalam mimpi, tak ada yang terkendali. Tak ada yang bisa dimengerti.
 

 

 

Aku menjatuhkan pistol itu dari tanganku tepat ketika ia ambruk di hadapanku. Kami sempat bertatapan. Rasanya aneh pada saat itu kami malah saling melempar senyum. Bahagia kah? Mustahil.

Seseorang menelengkan kepalanya dihadapanku, telapak tangannya ia goyang goyangkan. "Hei!" sapanya. Ia mulai mengajakku mengobrol banyak. Sangat banyak. Aku yakin betul akan melupakannya saat aku bangun nanti.

"Andaikan keluargaku tahu alasan aku tak mau menyentuh benda-benda terkutuk itu. Aku tak bisa membayangkan berapa nyawa yang sudah kubahayakan.

Karena aku, setiap kali menyerang, sasaranku tak pernah meleset. Aku tahu saat kecil dulu."

Aku mengakhiri percakapan itu. Ini aneh. Tapi entah kenapa aku menikmatinya.

 

Sebelum kemudian semuanya menjadi hening. Suasana yang begitu lembut melebihi sutra.

Aku menatap diriku sendiri. Tak ada bercak darah seperti yang sebelumnya. Tapi darah mengalir bersama rintik-rintik hujan mendekatiku yang terbaring sekian meter dari korbanku.

Suara hujan begitu menghanyutkan. Bahkan sensasi luar biasanya ia bisa menghilangkan rasa takutku.

Lagi-lagi suara merdu itu datang, bersama dengan perpaduan antara piano dan violin yang mengalun seakan merasuki tubuhku. Iramanya tak beraturan dan kuyakin sangat rumit dan sulit dimengerti.

Itu bukan lagi sleeping music yang membuat seseorang terlelap, karena sekarang aku merasa terusik.

Pupilku mulai menangkap guratan cahaya yang tak asing. Silau. Tapi perlahan pandanganku mulai bisa menetralkan bayangan atap interior ruangan ini meski agak buram. Ini kamarku.

"Udah bangun?"

Itu suara laki-laki.

Aku mengerjap beberapa kali, dua buah siluet mulai terlihat jelas. Laki-laki dan perempuan, Vishal dan Roshni kurasa. Aku membulatkan mata menyadari posisi mereka yang menunuduk di ataskuㅡterlihat seperti para mahasiswa yang sedang praktek operasi kodok. Mereka berdua sama terkejutnya. Vishu dan Rosh sama-sama bangun, kemudian tanpa sengaja kepala mereka berbenturan.

"Huh!" dengus Rosh kesal, kemudian mengibaskan rambut ikalnya yang sengaja ia buat sendiri. Ia kemudian mengusap-usap kepalanya.

"Aduh, kepala kamu keras banget sih Rosh!" gerutu Vishu juga.

Aku mendudukkan badanku pelan-pelan, sensasinya seperti melayang. Roshni membantuku. "Whoaa!" pekikku saat oleng.

"Minum dulu, minum dulu." titah Rosh sambil memberikan segelas air putih.

Vishu terkekeh.

Aku mulai menatap mereka berdua bergantian. "Tadi, kalian ngapain liatin aku begitu?" tanyaku penasaran, tanpa basa-basi sedikitpun.

Wajah Rosh mendadak pucat. "Hng, apa ya," gumamnya. Ia kemudian melirik Vishu.

"Tadiㅡeh, nggak apa-apa kok." Vishu tersenyum lebar, terkesan dipaksakan. Memangnya aku bisa percaya?

"Nggak boleh disembunyiin." ucapku tak boleh dibantah.

"Tadi lo mimpi apa?" tanya Rosh kemudian.

"Aku? Nggak mimpi aneh-aneh kok kayaknya." jawabku dengan nada kosong.

"Tapi aneh. Tadiㅡlo, ngㅡkayak nyanyi gitu." ujar Rosh sambil mengusap-usap tengkuknya. Aku terkejut.

"Setelah itu kamu bangun, tiba-tiba melotot. Kan serem." timpal Vishu membuatku semakin merinding. Tapi kurasa aku tak mimpi yang aneh-aneh.

DisappearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang