Fezin Aliya Farhan

25 4 35
                                    

Semilir angin membelai rambutku, membisik di telinga, seolah bertanya mengapa aku masih saja duduk di sini. Sudah sejam yang lalu aku duduk di depan teras kamarku, dengan ditemani camilan dan teh hangat untuk menghilangkan penat setelah lelah bekerja seharian. Alhamdulillah akhirnya aku bekerja setelah sebulan aku berjuang mencari pekerjaan baru setelah dipecat dari kantorku sebelumnya. Ponselku berdering, tanganku terulur ke meja samping kananku mengambil benda persegi panjang itu dan kemudian melihat nama Ibu tertera di layar ponselku.

Dari : Ibu
Kamu apa kabar? Kenapa tidak pernah telepon lagi? Ibu kangen kamu nak.

Kalimat itu sukses menohok hatiku, anak macam apa aku ini. Tidak pernah memberi kabar pada ibunya yang tengah sibuk mengkhawatirkan dirinya. Kemudian jari-jariku mulai mengetikkan kalimat, membalas pesan ibuku itu.

Untuk : Ibu
Aldo baik-baik saja bu. Tidak perlu mengkhawatirkanku. Aku menyayangimu.

Dua menit setelah pesan itu terkirim, ponselku kembali berdering. Namun, bukan balasan dari ibu melainkan nomor tak dikenal. Ah penipuan. Aku membatin.

Tubuhku mulai merasa kedinginan, saat kemudian aku menatap arlojiku yang sudah menunjukkan pukul sembilan. Aku beranjak dari kursiku, lalu masuk ke kamar, menuju kasur yang terletak di ujung kamar dengan ukuran tak seberapa. Ku rebahkan tubuhku, kemudian aku terlelap begitu saja.

***

Suara kokokan ayam tetangga kamarku tak henti-hentinya membuat kebisingan, aku terbangun melirik jam dinding, masih pukul empat. Langkahku membawaku ke kamar mandi yang ada di dalam kamarku ini, mengambil air wudhu, kemudian mengaji sembari menunggu adzan subuh dikumandangkan.
.
.
"Pagi, Mas Aldo." Sapa tetangga kamarku, Reni. Dia cantik, rambutnya yang panjang selalu ia biarkan begitu saja tertiup angin, juga perhatian. Kata Gilang, dia menaruh rasa padaku, tapi aku tak begitu memusingkannya. Dia selalu mengirimiku rantang untuk makan malam. Kalau ada rezeki jangan ditolak, mas. Begitu katanya, setiap kali aku memintanya untuk berhenti mengirimiku rantang.

"Pagi juga, Ren." Kubalas sapaannya diiring senyum yang ku bentuk di bibirku.

"Belum dapet mas?" Yah dia tahu, kalau sebulan terakhir ini aku disibukkan dengan mencari pekerjaan, hari-hariku hanya ku habiskan di luar rumah. Ohiya, masalahku ini tidak dengan sengaja kuceritakan pada Reni, tapi dia memaksaku untuk cerita, dia mengancam akan terus berada di teras depan kamarku, jika aku tidak mau menceritakannya. Aku tidak tega, malam itu..

"Malem banget pulangnya mas," ucapnya.

"Iya Ren."

"Kenapa? Muka kamu juga lelah banget kayaknya."

"Tidak pa-pa, tidak penting buat kamu kok, ini masalah saya."

"Cerita saja, Ren siap dengar."

"Kamu masuk saja ke kamarmu, ini sudah jam 9 loh."

"Cerita dulu, baru Ren mau masuk. Kalau gak cerita Ren bakal tetap di sini sampai Mas Aldo mau cerita." Dia mulai meninggikan sedikit suaranya. Aku benar-benar tidak mengerti. Dia terlalu mengurusi kehidupanku, tapi walau bagaimanapun aku tak mungkin tega membiarkan seorang perempuan duduk sendirian di depan teras rumahku ditambah langit sudah gelap.

Akhirnya aku menceritakannya.

"Alhamdulillah, sudah Ren. Kemarin sudah mulai bekerja. Kalau begitu saya pamit berangkat dulu. Assalamu'alaikum." Kemudian aku menyalakan mesin motor matic-ku, membelah jalan ibu kota.

Matahari mulai meninggi, bagai dipanggang, keringat mengucur dari pelipisku. Klakson para pengendara tak henti-hentinya di lemparkan, bagai ajang perlombaan, klakson siapa yang paling besar. Di tengah kemacetan, debu terus-menerus menerpa wajahku, sesekali masuk ke dalam mataku, aku mengerjap dan tiba-tiba mataku terfokus pada gadis bertudung biru navy di ujung jalan, dengan sekali tatapan, dia berhasil memikat hatiku. Semoga kita dapat bertemu lagi. Batinku.

Gadis di Ujung JalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang