Pemanasan

0 1 0
                                    


| Pemanasan

20, Mei


Darul mengerjapkan matanya berulang kali demi membuat kesan imut, yang ia yakini dapat membujuk perempuan yang sedang marah padanya itu. Tapi bukannya imut tapi malah terlihat menggelikan, membuat perempuan yang duduk di depannya itu hanya menatapnya tanpa minat.

"Maafin aku lah, Emm. Aku kan gak tau-"

Emma menyela, "masa kamu belum tau juga kalo aku gak suka ke tempat begituan? Kita udah sahabatan berapa hari sih?" Darul menunduk merasa tersindir dengan kalimat Emma barusan. Bukan berapa hari, tepatnya berapa tahun dan mereka sudah sahabatan selama sepuluh tahun lamanya. Hal yang membuat hatinya langsung diserang rasa bersalah.

Emma tak banyak bicara melihat sahabatnya yang tertunduk diam. Dia tak bisa menghakimi lebih banyak lagi hanya karena mereka sudah lama bersahabat. Tapi dia juga ingin sekali mengingatkan jika seharusnya lelaki itu tahu akan ketidaksukaannya pada tempat yang bernamakan kelab malam. Tapi semalam lelaki itu malah dengan sengaja mengajaknya ke sana dengan beralasan menambah pengalaman hidup.

Pengalaman hidup apanya!?

"Kamu juga gak bisa seenaknya manfaatin tante Tari yang lagi sakit buat dijadiin alasan narik aku ke tempat itu." Papar Emma masih dengan nada kalem.

Iya, semalam dia menyetujui pergi ke tempat itu karena alasan awal Darul adalah menemaninya mengambil hasil check up mamah nya ke rumah sakit. Tapi bukannya ke rumah sakit dia membelokkan motornya ke kelab malam.

Darul mendongak menatap wajah Emma yang masih menatapnya. Sebenarnya dia ingin mengatakan jika respon sahabatnya itu terkesan berlebihan. Kan, dia hanya mengajak Emma bahkan mereka juga belum masuk ke dalam kelab itu. Hanya berdiri di luar dan buru-buru pulang karena Emma mengancamnya akan pulang sendiri jika tak segera pergi dari sana. Tapi di lain sisi juga dia merasa bersalah, karena telah membohongi Emma.

"Iya, iya. Gak bakalan lagi aku begitu, maafin aku ya?" Darul menangkup kedua tangannya di depan dada. Berharap Emma terbujuk dan segera memaafkannya. Karena sungguh, mendapati sahabat marah karena kesalahan kita sendiri itu enggak enak.

Emma mengibaskan tangannya sambil tertawa, "iya aku maafin, asal kamu gak bohong lagi."

Darul memberikan cengiran dan dibalas tawa dari Emma. Membuat suasana meja yang mereka tempati di salah satu warteg itu mulai terasa lebih hidup.

. . .

"Ya ampun! Jadi bener, Emm?" Pekik perempuan berkulit putih itu pada Emma yang dibalas dengan anggukan.

Aura, si perempuan berkulit putih itu menggelengkan kepalanya tak percaya. Membuat Darul mendengus karena pasti sebentar lagi sahabatnya satu ini akan menyudutkannya.

"Darul, " Darul meliriknya keki, "kamu Arul anaknya tante Tari kan?" Tanya Aura dengan wajah serius yang dibuat-buat, sengaja ingin mengejek Darul.

"Iye! Arul anaknya ibu Tari yang amat tampan dan rupawan yang terlahir dengan amat sempur-" belum selesai kalimatnya Emma sudah menyela.

"Manusia gak ada yang sempurna, Muhamad Darul Akmal."

Emma menyela tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop yang masih menampilkan program yang baru setengah jadi. Program yang ia buat setelah tadi sang ketua kelas memberitahukan bahwa guru pemda nya berhalangan hadir, dan memberikan tugas untuk membuat sebuah program.

Beda dengan Emma yang langsung mengerjakan tugas, Darul dan Aura langsung bersorak gembira. Gembira karena terbebas dari mata pelajaran yang mereka anggap kembaran dari Fisika dan Matematika.

Darul mengangguk ogah-ogahan, "iya deh iya, aku khilaf."

"Sukurin, wlee." Aura tertawa mengejek lelaki itu. Lalu semenit kemudian mengembalikan mimik wajahnya menjadi serius.

"Tapi aku penasaran deh, kenapa kamu ngajak Emma ke ... " Aura melirik kanan kiri lalu berbisik, "kelab malam?"

Darul menundukkan wajahnya, sama seperti posisi sahabat perempuannya yang lumayan centil itu. "Tadinya sih pengin ngajak kamu juga, tapi kata tante Maya kamu lagi malam mingguan." Aura nyengir. Semalam itu memang malam minggu, wajar-wajar aja kan kalau dia malam mingguan sama pacarnya?

Aura mengangkat wajahnya, "lagian, tumben-tumbenan kamu pengin ke tempat begituan?"

Kali ini Emma menoleh, ingin tahu jawaban Darul.

Darul menyandarkan punggungnya ke kursi, "penasaran aja. Aku juga udah legal ini, udah tujuh belas tahun."

Emma langsung angkat bicara, "legal atau enggak, tetep aja kamu gak boleh main-main di tempat begituan. Penasaran boleh, asal jangan sampai terbuai sama rasa penasaran kamu itu."

Emma paham betul kenapa Darul bisa penasaran dengan tempat-tempat seperti itu. Lelaki itu bukan bocah lagi dia sudah remaja yang kini beranjak dewasa, jadi wajar jika keingintahuannya akan hal-hal baru makin menggebu. Tapi jika dibiarkan begitu saja, tentu rasa penasaran itulah yang akan jadi masalah. Karena dari penasaran bisa jadi ketertarikan lalu habis itu jadi keterusan. Emma berdoa dalam hati semoga Darul tidak seperti itu, ya semoga.

Tbc.

pemda = pemrograman dasar.


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 22, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FRIENDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang