Thorn

4K 228 119
                                    

Kelahiran baru yang tidak sempurna, menanggung beban rasa sakit yang di sebarkan oleh kehidupan di sekelilingnya.

Tapi ia tidak pernah merasa menyesal.

Ini adalah takdirnya, pemberian Tuhan yang menakutkan.

Berkat yang akan ia nikmati meskipun penuh kepedihan.

♦♦♦

Gill Rousseau sedang menikmati keharuman bunga mawar yang menyebar ke penjuru kastilnya. Ia berdiri dalam diam di balkon kamarnya, membiarkan sinar bulan menyoroti tubuhnya. Membuat kulit pucatnya berkilau indah seperti mawar putih yang dulu sering ditanam ibunya.

Harum mawar di malam hari dan harum darah gadis-gadis perawan yang berlalu lalang di jalanan sungguh membuatnya merasa nyaman. Sayangnya, ia tidak pernah bisa menikmati keindahan-keindahan itu. Tidak pernah bisa.

Angin berhembus di tengah cahaya bulan sabit yang putih, hembusannya membawa harum seorang gadis yang tertidur di sekitar hutan dengan gaun birunya yang penuh noda.

"Darah yang harum," Gill menarik napasnya dalam-dalam. "Bahkan bau gorong-gorong yang melekat di gaunnya tak bisa menutupi harum darahnya," dan ia tersenyum lembut.

Gill melangkahkan kakinya menuruni tangga kastil, tongkat peraknya berbunyi setiap kali diketukkan ke lantai. Harum gadis bergaun biru menuntunnya sampai ke hutan. Membawanya ke tempat sang gadis berada yang kini tengah meringkuk di atas tanah basah dengan mata terpejam tak sadarkan diri.

"Nona... nona... apakah anda bisa mendengarku?" Gill berjongkok di depan gadis bergaun biru, meletakkan tongkat peraknya di tanah dan kemudian menggoyang-goyangkan tubuh sang gadis pelan.

"To...long...," gadis bergaun biru itu bergumam, entah dia sadar atau hanya mengigau.

Gill meraba wajah si gadis bergaun biru, merasakan kecantikan sang gadis yang tidak dapat dilihatnya.

"Gadis malang... paras cantik yang penuh kepedihan," gumam Gill lagi. Ia menggendong sang gadis di punggungnya, mengambil tongkat peraknya yang tadi ia letakkan di tanah dan berjalan pelan kembali ke kastilnya. Tongkat peraknya mengetuk-ngetuk tanah yang basah tanpa suara.

♦♦♦

Adelia membuka matanya. Sinar matahari menyorotinya dari jendela yang terbuka, membuat Adelia menyipitkan matanya.

"Apa yang sudah terjadi padaku?" tanyanya dalam hati.

Adelia beranjak duduk di ranjang besar yang kini ia tempati. Tubuhnya terasa sakit dan kelelahan. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar dan mendapati seorang pria pucat dengan rambut hitam kebiruannya tengah memejamkan mata di sebuah kursi goyang yang terbuat dari bambu dan rotan. Sinar matahari yang menyinari pria itu, membuat sang pria terlihat seperti boneka porselain. Sangat cantik.

"Cantik...," dan tanpa sadar, Adelia bergumam.

"Saya senang nona sudah bangun,"

Adelia berjengit kaget, karena pria itu tiba-tiba membuka matanya dan berbicara padanya. Ia merasa malu jika pria itu mendengar gumamannya barusan.

"Saya sudah menyiapkan gaun dan obat-obatan untuk nona di kamar mandi," pria itu beranjak berdiri. "Mari, saya antar ke kamar mandi. Setelah itu kita sarapan bersama," ujar pria itu lagi dengan senyumnya yang ramah dan suaranya yang penuh kelembutan.

Adelia belum sempat bertanya apapun. Ia hanya menuruti apa yang pria itu katakan. Ia beranjak dari ranjang besarnya ketika ia melihat sang pria mengambil tongkat perak dari samping kursi goyang dan mengetuk-ngetukkan tongkat perak itu ke lantai ketika ia berjalan.

ThornTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang