Satu

306 17 5
                                    

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Kanthi nyadong sihberkahing Gusti Allah SWT ingkang Maha Asih
Ing pangangkah kawula sagotrah badhe anglaksanakaken pawiwahan
dhaup saha syukuran anak kulo :

Arraya Rubina
Putri Alm. Bapak Soedibyo & Ibu Kumala

Kaliyan

Nazar Karimantoro
Putra Bapak H. Karim & Ibu Hj. Ning

Menggah titi wacananipun :
Dinten : Jumat
Surya kaping : 28 April 2017
Wanci tabuh : 19.00 - 21.00 wekdal iring kilen
Manggen wonten : Griyonipun Alm. Bapak Soedibyo, Bantul - Yogyakarta

Satuhu damel bombong lan bingahing manah kulo sagotrah
Bilih sarana dhanganing pengalih lan sepen ing sambekala,
Bapak/Ibu/Sedherek kesdu rawuh angresteni saha paring donga pangestu dateng sang pengantin kakalih

Wusana kawula sagotrah ngaturaken agunging panuwun, saha nyuwun paringi pangaksami bilih wonten kekirangan lan kelapatan kulo nuwun pangapunten

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Atur taklim kulo :

Keluarga
Alm. Bapak Soedibyo Bapak H. Karim
Ibu Kumala Ibu Hj. Ning

Menggah ijab qobulipun badhe kaangkah ing :

Dinten : Jumat
Surya Kaping : 28 April 2017
Wanci : 10.00 wekdal iring kilen
Panggenan : Griyonipun Alm. Bapak Soedibyo, Bantul - Yogyakarta

*

Rubina mulai merasa pelipisnya berdenyut setelah membaca tulisan bertinta emas dalam undangan pernikahannya yang berwarna hitam. Dia melempar undangan itu ke sembarang arah. Baginya, dia masih muda untuk menjalani bahtera rumah tangga. Akan tetapi, sepertinya dia harus rela melakukannya. Bahkan, ibunya saja menyetujui. Ditangguhkan niatnya lebih kuat. Demi menepati wasiat almarhum bapaknya.

Rubina bukan tipe wanita yang setega itu membuat malu keluarga dengan membatalkan pernikahan secara tiba-tiba padahal persiapan sudah mencapai 95%. Jadi, tidak ada alasan untuk Rubina membatalkan pernikahannya. Toh, yang akan menikahinya itu Nazar. Nazar yang itu, yang Rubina kenal dengan rambut gondrong ikal menyeramkan macam preman sampai pernah membuat dia dan teman-temannya selepas mengaji tidak berani lewat jika ada Nazar di gubug ronda sehingga memilih jalan memutar. Itu pun lima belas tahun yang lalu. Juga Nazar yang itu, yang pernah membuat geger kampungnya dengan melakukan sesuatu yang tidak mudah dilupakan. Bagi Rubina, tentu saja. Atau, mungkin bagi warga kampungnya. Mengingat itu, membuat pelipis Rubina semakin berdenyut dan perasaan ragu mulai bergumul di dadanya. 

"Hoy, calon pengantin!" seru Nina setelah membuka pintu kamar, lalu mengetuknya.

Rubina menoleh. Menatapnya masam.

"Ecieeee, Ubi yang ternyata jodohnya Mas Nazar," goda Nina tanpa menutupi seringainya yang menyebalkan.

Rubina melemparkan parfum ke arah Nina. Sesaat, gadis itu kaget. Namun, untungnya Nina berhasil menangkap. Jika tidak, bisa benjol jidatnya dan itu tidak bagus karena akan mengurangi estetika ketika dia berfoto dengan pengantin nanti.

"Astagfirullah!" seru Nina agak sebal bercampur tak percaya. "Selow keleeeees."

Rubina mendengkus keras.

"Ngomong-ngomong, calon suami kamu udah dateng tuh," kata Nina mengendikkan dagu ke pintu.

Mata Rubina melebar.

"Eciiieee deg-degan nih ye," goda Nina cengengesan sambil menuding Rubina yang sekarang melotot ganas.

"Sembarangan!" jawab Rubina kesal.

Nina tertawa keras. Rubina berjalan menuju pintu, menutupnya rapat.

"Duh, nggak nyangka deh kalo bakal gini jadinya. Kamu masih inget nggak, zaman dulu tiap kita lihat Mas Nazar? Kita langsung kabur," kata Nina begitu tawanya reda. Dia duduk di tepi ranjang, matanya menerawang seperti sedang menyelami kenangan.

Rubina terdiam, tidak ingin menjawab karena jawabannya sudah jelas. Dia masih ingat, tentu saja. Seperti kata Nina barusan, dia juga tidak menyangka bakal menikah dengan Nazar.

"Tapi, Ubi, apa kamu yakin?" tanya Nina dengan mimik khawatir. "Mas Nazar ini adalah Mas Nazar yang sama dengan orang yang meru--"

Pintu kamar terketuk kembali, membuat omongan Nina terhenti. Dia dan Rubina menoleh serempak ke arah pintu.

"Walah, kok belum siap-siap tho, Nduk?" Suara lembut Budhe Ratih berkumandang. "Itu lho calon suamimu udah datang."

Rubina meringis tak nyaman.

"Ini baru mau ketemu, tho?" tanya Budhe Ratih.

Rubina mengangguk. Memang benar adanya yang dikatakan Budhe Ratih. Dari acara lamaran sampai sekarang, dia belum bertatap muka dengan Nazar. Pria itu tidak bisa ke Jogja lantaran sibuk bekerja, katanya. Mereka hanya berhubungan lewat ponsel. Itu pun sebatas telepon dan SMS yang hanya sebatas apa yang diperlukan. Padahal zaman sudah 4G, tetapi tidak dimanfaatkan dengan baik. Walau demikian, tidak bisa dipungkiri oleh Rubina bahwa dia bersyukur dengan hal itu.

"Sini Budhe dandanin biar dia kesengsem pas lihat kamu," kata Budhe Ratih semangat.

"Nggak usahlah Budhe," tolak Rubina cepat. Dia mulai merasa ngeri sendiri. "Aku dandan sendiri saja."

Budhe menggeleng, tanda tidak menerima penolakan. "Tipis-tipis saja kok."

Rubina balas menggeleng. Dia bersikeras untuk dandan sendiri. Namun, Budhe Ratih lebih keras lagi. Bukannya apa-apa, Rubina tahu, budhenya itu pasti akan membuat wajahnya lebih terlihat cantik. Dia paham betul perasaan budhenya yang seorang rias pengantin. Sewaktu itu, beliau pernah berkata bahwa beliau merasa gemas bercampur kesal kalau melihat dandanan orang yang menurutnya kurang pas. Tangannya bisa mendadak gatal. Hanya saja, entahlah, Rubina merasa lebih baik dandan sendiri.

Rubina menghela napas panjang, lalu mengangguk pasrah ketika budhenya terus memaksa. Budhe Ratih tersenyum lebar. Beliau meminta tolong kepada Nina untuk mengambilkan alat tempurnya. Dengan segera, Nina menuruti perintah Budhe Ratih tanpa gerutuan.

Rubina menggigit bibir dan mulai berdoa dalam hati. Mudah-mudahan harapannya terkabul; pernikahan sekali seumur hidup dan hidup bahagia tanpa ada penyesalan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 27, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jodoh Wasiat BapakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang