History

152 6 0
                                    

Happy Reading!

Risya POV

Namaku Risya Derana. Aku sekarang duduk di bangku SMA. Aku kelas XII-B. Aku memiliki rambut cokelat gelap yang bergelombang serta mata hazel yang diturunkan dari Ayahku. Aku mempunyai seorang laki-laki yang sangat aku cintai. Dia adalah Zio Respara. Dingin, tampan dan tak tersentuh adalah sebagian sifatnya. Aku tidak tahu apa yang membuatku jatuh cinta dengannya. Meskipun sifat angkuh dan egonya yang setinggi langit itu sering kali membuatku kecewa, tapi aku tidak pernah bisa untuk membencinya. Karena aku tahu, itulah sifat mendasar dari seorang Respara.

Dulu, ketika aku masih berada di sekolah menengah pertama aku sempat menyatakan perasaanku. Tidak secara langsung, melainkan melalui sebuah surat yang aku letakkan di laci mejanya. Aku tidak berharap dia akan menerimaku, sebab aku tahu dia pasti menolakku. Aku hanya ingin dia tahu bahwa ada seseorang yang mengaguminya dari jauh.

Aku sempat putus asa karena surat yang aku berikan tidak pernah ia lihat. Sampai akhirnya, sahabatnya yang bernama Reno menemukan suratku dan memberikannya pada Zio. Aku tidak pernah menyangka bahwa responnya akan menyakitiku. Ia dengan teganya merobek suratku tanpa membacanya terlebih dahulu kemudian menginjak-injaknya di depan teman-temannya yang tertawa melihat rupa suratku yang sudah tidak berbentuk lagi. Aku hanya bisa menangis dalam diam saat itu. Hatiku begitu sakit. Tidak bisakah ia menghargai usahaku membuat surat itu?. Jika memang ia menolak suratku, setidaknya jangan berlaku seperti itu.

Meskipun ia sudah melukai hatiku, aku tetap tidak bisa membencinya. Malah semakin hari perasaanku semakin berkembang hingga sedalam ini. Aku tidak pernah berpikir untuk menyatakan perasaanku lagi. Aku tidak ingin semakin kecewa. Jadi aku memutuskan untuk memendam saja perasaan ini. Aku hanya akan mencintainya dalam diam. Tak apa. Aku sudah cukup bahagia hanya dengan melihat senyumnya.

"Risya! Apa kau tak mendengarku?" Sahabatku, Ninda Alisya berteriak kesal di sampingku. Aku menoleh sebentar dan kembali menghadap papan tulis yang berisi beberapa catatan penting dari guru yang baru saja keluar.

"Aku dengar, Nin!" Balasku kesal. Kebiasaannya yang selalu berteriak sedikit membuatku sebal.

"Kau kenapa, sih? Memikirkan Zio lagi?" Tebakan Ninda tepat sekali. Saat ini aku memang sedang memikirkan Zio. Ujian akan diadakan sebentar lagi, itu berarti kelulusan juga akan segera datang. Aku tidak ingin berpisah dengan Zio. Aku tidak tahu apakah setelah kelulusan, aku masih bisa bertemu dengannya.

"Nah, kenapa melamun lagi?" Ninda kembali berteriak namun dibarengi dengan pukulan pelan pada bahuku. Aku tak berniat menoleh padanya. Aku merebahkan kepalaku keatas meja. "Tidak." Elakku padanya.

Ninda berdecak. "Lupakan saja pria kurang ajar itu! Tak ada untungnya kau mencintainya. Dia bahkan tidak pernah menoleh padamu." Sentak Ninda kesal.

Aku menggeleng lemah, masih dengan kepala yang berada di atas meja. "Aku tak bisa, Nin." Balasku dengan suara lirih. Melupakannya? Jika saja aku bisa melakukan itu, sudah dari dulu aku melakukannya. Aku tidak mampu, aku terlalu mencintainya hingga aku rela menukarkan nyawaku hanya untuknya.

Tak terasa satu tetes air mata jatuh dari pelupuk mataku kemudian disusul oleh tetesan yang lain. Aku menangis pelan. Merasakan betapa sesaknya dadaku akibat mencintainya. Merasakan betapa sakitnya aku berharap padanya. Kenapa Tuhan menumbuhkan cinta padaku jika sesakit ini? Kenapa Tuhan menakdirkan aku untuk jatuh cinta pada pria itu?

Aku terisak pelan. Aku tidak sanggup lagi. Dadaku terlalu sesak seperti ada yang menghimpit dengan keras. Aku meremas dadaku. Mencoba mengurangi rasa sesak tersebut. Hingga aku merasa pelukan hangat dari sahabatku. Ninda memelukku erat. Mengusap-usap punggungku untuk menenangkan diriku yang tengah kacau ini.

Tak Seindah DramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang