Zio tahu, jika apa yang dilakukannya selama ini memang salah. Ia mengabaikan Risya. Menyakiti hati gadis itu dengan sikap dinginnya. Menyakiti gadis itu dengan perlakuannya.
Zio tahu jika Risya menyayanginya. Mencintainya. Tapi apalah daya, jika hati Zio telah mati. Ia tidak ingin menerima cinta lagi. Sudah cukup penderitaannya selama ini karena cinta. Cinta adalah sebuah omong kosong belaka.
Tapi mengapa.. Mengapa saat ia melihat gadis yang sedang berjuang melawan kematian ini hatinya begitu sakit? Sesak sekali sampai Zio tidak bisa bernapas. Sakit sekali sampai bulir-bulir bening berhasil menetes dari pelupuk matanya.
Zio tidak tahu ada apa dengan dirinya. Tetapi, jauh di dalam lubuk hatinya, Zio tak rela jika gadis yang selama ini sedikit mencuri perhatiannya ini pergi. Meninggalkannya, dengan kesendirian yang selama ini selalu menemani langkah hidupnya.
Zio bukannya ingin menyombongkan diri dengan menolak semua gadis yang datang padanya. Tetapi, Zio hanya ingin membentengi diri dari yang namanya terluka. Cinta itu tak membawa bahagia. Ia hanya datang, membawa cerita untuk kemudian hilang dan akhirnya membawa derita. Sudah cukup kisah klise hidup orang tuanya saja. Zio tak mau merasakan luka itu juga.
Namun, lagi-lagi ada kata tetapi ketika itu menyangkut dengan gadis yang ada di pangkuannya ini. Gadis yang nampak sekarat namun tengah menyunggingkan sebuah senyum bahagia.
Zio tidak mengerti. Mengapa senyum itu disematkan jika selama ini Zio telah jahat padanya. Mengapa senyum itu masihlah sama dengan senyum yang selama ini selalu ditampilkan oleh gadis ini sewaktu tak sengaja Zio melihatnya.
Mengapa?
Mengapa gadis ini rela menolongnya meski ia telah menyakitinya, mengecewakannya?
Mengapa gadis ini masih saja mencintainya disaat semua orang lelah untuk mendapatkannya?
Mengapa gadis ini mempertaruhkan nyawanya hanya untuk pria jahat seperti dirinya?
Mengapa?
Mengapa?!
Zio terisak lirih di atas tubuh tak berdaya milik Risya. Memeluk tubuh lemah yang berlumur darah itu ke dalam pelukan hangatnya.
Ia menyesal. Sungguh. Zio tak pernah tau jika selama ini hatinya telah menemukan pemiliknya. Namun karena bermodalkan gengsi dan harga diri yang ia samarkan dalam alasan klasik berupa membentengi diri, membuatnya harus menelan pil pahit berupa kenyataan yang memukulnya telak di depan mata.
Gadisnya...
Gadisnya akan pergi karena tingkah bodohnya.
Gadisnya akan pergi bahkan saat ia baru menyadari perasaannya.
Zio menyesal. Sungguh.
Tapi kembali lagi ke kenyataan jika penyesalan tak akan pernah ada diawal. Penyesalan akan selalu berada di akhir. Titik dimana kenyataan tak akan pernah sejalan dengan apa yang kita inginkan.
Dan kini, Zio harus kembali merasakan luka karena cinta. Cinta dari seorang wanita yang ternyata juga ia cinta.
-------
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Zio berdoa untuk Sang Pencipta. Untuk pertama kalinya juga, Zio meyakini akan adanya keajaiban dari-Nya. Dan untuk pertama kalinya, Zio menginjakkan kakinya di rumah Tuhan yang bahkan tak pernah ia percayai sebelumnya.
Zio bersimpuh. Melepaskan semua harga dirinya di depan Sang Pencipta. Membuang semua egonya untuk sang tercinta. Meminta sebuah harapan yang terdengar begitu tak masuk akal di telinga.
Tapi.. Bolehkah Zio berharap? Bolehkah Zio meminta untuk pertama kalinya? Bolehkah Zio meminta salah satu hamba-Nya untuk tetap di sisinya?
"Tuhan aku mohon.."
