Aku tak sepenuhnya sadar saat mengendarai sepeda motorku ke Sendang Ayu. Kelas XII-D Sekolah Menengah Pertama 1 Kalasan, kelas belajarku dulu, menggelar reuni yang kesekian kali di sini. Sejujurnya, bahkan setelah 10 tahun berlalu, aku masih enggan menghadiri reuni kelas ini. Alasannya sederhana: aku tak pernah menjadi siapa-siapa bagi mereka dulu. Apalagi sejak kepindahanku ke pulau Borneo pasca kelulusan, tak ada satu pun yang berusaha mempertahankan komunikasinya denganku kecuali satu dua orang saja. Sialnya, tetap saja aku duduk di sini siang ini, di antara mereka, sambil mendengar obrolan-obrolan yang isi percakapannya saling menimpal—bahkan saling memotong—hanya untuk membanggakan pencapaian diri sendiri selama 10 tahun berselang. Sungguh, kalau bukan karena Rama yang memergoki aku sedang singgah di Jogja, saat ini aku pasti sedang tidur nyenyak di rumah Pakdhe atau mungkin sedang menjelajah di Candi Prambanan sambil mengenang petualangan-petualangan semasa kecilku di sana. Sial—oh, aku sudah mengumpat dua kali—sekarang aku hanya bisa duduk dengan kikuk sambil berpura-pura menikmati pemandangan ikan-ikan yang meliuk-liuk di kolam bawah pondok yang kami tempati karena Rama—satu-satunya manusia yang pernah aku akrabi di kelas ini—belum juga datang.
Perihal Rama—yang tempo hari memergoki aku sedang bernostalgia dengan rasa soto langganan depan rumah Pakdhe dan tak merasa perlu menjaga privasiku dengan sengaja mengumumkannya ke orang-orang—dia adalah sahabatku sejak masa kanak-kanak. Kami tumbuh bersama di Bokoharjo. Selalu satu sekolah dan satu kelas dari sekolah dasar hingga menengah pertama. Bahkan pulang dan pergi selalu bersama-sama kecuali salah satu dari kami kebetulan absen. Kenangan paling membekas tentu saja adalah saat-saat kami bermain bersama. Itu masa-masa polos yang mana kejadian terburuk yang menimpa kehidupan kami adalah sekedar perselisihan hak milik atas mainan-mainan atau 'harta karun' hasil khayalan kami sendiri—yang pada akhirnya, aku akan selalu mengalah; tubuhku yang lebih bongsor ternyata tak mengandung ego yang lebih besar dari ego sahabatku itu. Satu lagi yang paling kuingat soal Rama adalah bahwa nama aslinya bukan Rama, tetapi Rahman. Karena gengsi jika dipanggil 'Maman'—seperti penyandang nama Rahman pada umumnya—ia memanggil dirinya sendiri dengan 'Rama'. Sah-sah saja dan sebenarnya pas sekali karena ia juga memiliki adik kandung bernama Laksmana. Dan pula, kami memang gemar bermain peran dalam cerita Ramayana—dengan banyak pengembangan adegan a la Indiana Jones. Aku yang berbadan paling besar menjadi tokoh Anoman tentu saja, Rama—tepatnya Rahman—tetap menjadi dirinya dan demikian pula Laksmana. Dan karena itu, entah sejak kapan tepatnya, orang-orang mulai menjuluki kami dengan nama-nama itu. Kalau dipikir-pikir dengan akal dewasaku yang sekarang, betapa konyolnya kami dahulu yang mengejar-ngejar Sinta tak kasat mata dari rengkuhan Rahwana yang sebenarnya hanya batang pisang atau pohon-pohon besar yang masih marak di bukit Boko. Untuk tokoh Sinta, sebenarnya kami sempat mengajak anak-anak lain untuk bermain, tapi sayangnya tak satu pun yang memiliki tingkat khayalan seperti kami. Sementara Rahwana, kami sepakat untuk tidak menjadikan siapapun sebagai tokoh penjahat.
"Yak! Itu kenapa Wisnu senyum-senyum sendirian?" Suara seorang lelaki mengembalikan pikiranku ke masa kini (dan sebenarnya aku bahkan tidak sadar sedang tersenyum). Oh, itu Restu. Orang paling 'berkuasa' di kelas ini dulu.
Sejenak kemudian gelak tawa menyusul. Terdengar kaku dan datar sekali. Entah karena mereka masih punya rasa takut mereka pada Restu sehingga tertawa untuk setiap gurauannya yang tak lucu atau karena mereka sedang berusaha untuk bersikap akrab sambil menerka-nerka dalam pikiran mereka, "Ini Wisnu yang mana ya?"
Terserah. Aku mengangkat gelasku yang setengah berisi dan melakukan sulang jarak jauh untuk Restu. Jujur aku sedikit terkejut mendapati Restu menanggapi isyaratku dengan sangat kalem dan sopan—benar-benar tanpa gelagat mengejek—lalu, seperti pula aku, menghabiskan isi gelasnya dalam sekali teguk. Kelihatannya aku sinis sekali, tapi megingat Restu yang dulu, kurasa pantas saja jika aku berpikir bahwa sikapnya tak akan berubah. Maksudku, Restu dulu memang bukanlah anak yang cemerlang; buktinya, misal, pada saat hari pertama kami masuk sekolah selepas masa perkenalan. Saat itu Restu dan kawan-kawan gengnya mengejekku habis-habisan—culun, kutu buku dan semacam itulah. Alasannya karena kancing-kancing seragam yang kukancingkan penuh sampai ke atas—aku selalu memakai dasi saat SD, saat itu rasanya belum nyaman saja jika kancing paling atas terbuka. Lalu, beberapa bulan setelahnya, ketika internet sudah cukup tenar dan bahkan penduduk di pelosok kampung pun akhirnya dapat melihat kehidupan di luar negeri sana, Restu dan gengnya menjilat ludah sendiri. Entah selebritis siapa namanya saat itu, yang pasti mereka meniru gaya berbusana artis itu: seluruh kancing baju yang dikancingkan dan celana 'pensil' dengan posisi pinggang yang melorot sampai-sampai tali celana dalamnya bisa terlihat—atau mungkin memang disengaja begitu. Parahnya, mereka bahkan tak pernah merasa bermasalah dengan model pakaian mereka yang konyol itu; yang dengan kebiasaan mereka duduk jongkok di kantin, celana dalam mereka yang murahan bisa dengan leluasa disaksikan dan ditertawakan oleh orang-orang yang lalu lalang. Mereka seakan lupa pernah menghina-dina seseorang dengan tampilan seragam yang dikancingkan penuh—yang tentunya tampak lebih layak dan waras. Jika kebodohan adalah sebuah pendakian, kurasa mereka saat itu telah berada di puncaknya. Yah, tapi tentu saja, satu dekade pastinya bisa mengubah seseorang, tak terkecuali Restu—eh, tapi entah bagaimana dengan sisa gengnya yang lain, sih.
YOU ARE READING
Layang-layang Tanpa Benang
Short StoryBayangkan dirimu sedang tinggi terbang saat jemari hendak menyentuh awang kau sadar dirimu hanya layang-layang. lesatmu hanya sepanjang benang. Kita adalah selembar wayang dan takdir hanya sepanjang tangan dalang. --Melanpolis, 9 Juli 2018 Layang-l...