pulang

257 57 48
                                    

media : banda neira - sampai jadi debu.

"Nggak apa-apa?"

Lelaki yang baru saja memberikanku kulit ayam krispinya itu menatapku sejenak. "Mau aku ambil lagi apa gimana?"

"Jangan lah!" Aku menarik piringku menjauh darinya, "kan kamu tau kalo aku suka banget sama kulit."

"Ya makannya, Na, jangan sok gengsi pake nanya nggak papa? segala."

"Ya abis kamu baik banget sih?! Kan aku jadi enak. Pacar siapa sih kok lucu banget?!"

Ardian menunjukan deretan giginya yang rapi. Bukan tersenyum, melainkan ekspresi geregetan seperti singa yang mau memakan mangsanya. Tapi karena si singa sadar kalo mangsanya ini adalah pacarnya sendiri, maka ia mengurungkan niatnya.

"Galak banget sih?!" protesku. Padahal aku tahu kalau memang Ardian tidak suka jika aku memujinya di depan umum seperti itu. Katanya seperti pasangan alay.

Ya, gimana, ya? Habisnya aku suka sih kalau liat Ardian marah!

"Besok aku udah bisa makan kulit ayam secara bebas lagi deh, kan udah nggak ada yang mintain." ucap Ardian kemudian. Ia menggigit ujung sedotannya sambil tersenyum mengejek.

"Kamu kok kayaknya nggak ada sedih-sedihnya sih aku mau pulang ke Jakarta? Kamu nggak takut kangen?"

"Enggak."

"Kenapa?"

"Karina nya biar kangen-kangenan dulu sama keluarganya. Aku nanti aja kangennya."

"Ardian!!"

"Apa lagi?"

"Ngeselin."

Dia tertawa, menyingkirkan piringnya sehingga tubuhnya bisa ia condongkan ke depan dengan kedua tangan yang terlipat di atas meja. "Kamu nggak suka aku galak, tapi giliran aku gombalin malah marah. Jadinya aku harus gimana, Karina?"

"Habisnya aku malu, aku nggak mau keliatan kaya babi kalo lagi malu."

Dia tersenyum ditambah suara tawanya yang terdengar begitu singkat, ia menepuk pipiku dua kali, "Aku bakal kangen kamu kayaknya, Na."

Aku tertawa puas, "Tuhkan," kataku mengejek sembari memasukan suapan nasi ke dalam mulutku.

"Na? Jangan lama-lama ya?"

Aku mengangguk mantap sembari memberikan tanda hormat tanda bahwa aku menyetujui permintaannya.

Soalnya aku juga bakal kangen kamu, Ardian.

[]

Bandara.

Ada yang ke sini untuk datang, ada pula yang untuk pergi. Ada yang bertemu ada pula yang harus berpisah. Semuanya terasa aneh, ketika kita harus pulang tapi juga harus meninggalkan.

Aku menatap Ardian yang tengah memesan kopi karamel kesukaannya. Ia belum mandi, masih menggunakan kaos hitam yang ia padukan dengan celana abu-abu selutut dan sandal jepitnya. Rambutnya sudah rapi walaupun aku yakin ia tidak sempat memakai pomade.

Ketika pesanannya telah siap, ia memutar badan kembali ke arahku. "Mau nggak?"

Aku menggeleng.

Ardian kemudian duduk di sampingku, ia mengangkat tangan kirinya guna melihat jam. "Masih ada waktu limabelas menit lagi. Mau makan dulu?" tanyanya.

Lagi-lagi aku hanya menggeleng.

"Na?" panggilnya, ia mengangkat daguku sehingga aku dapat menatap iris coklat matanya. "Nggak boleh gini ah. Kan harusnya seneng mau ketemu papa sama mama. Mereka kangen kamu, tau?"

PulangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang