FAKE LOVE

109 14 1
                                    

Misterius, berwibawa, pendiam, menarik

Dan masih ada seribu lagi daftar kelebihan pacarku yang bisa kusebutkan pada teman-temanku. Aku heran kenapa mereka terus-menerus bertanya setiap kali melihat kita bersama

"Kalian 'kok bisa jadian, sih?"

"Kenapa kau begitu tergila-gila padanya?"

"Dia atau kau yang mengatakan cinta duluan?"

Semacam itu, entah kenapa ada sinisme dalam kalimat mereka yang aku tidak mengerti. Apa kami pasangan yang kurang serasi? Atau karena aku perempuan yang sedikit aktif, membuat mereka dengan cepat menyimpulkan kalau akulah yang mengejarnya. Well, tidak salah juga, sih, tapi di jaman modern seperti ini kebahagiaan harus dikejar 'kan?

Pikiran pesimis bukanlah karakterku. Aku cukup percaya diri, meskipun tidak sempurna, tapi masing-masing kami memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kita tidak akan mendapatkan cinta kalau melulu mencari kandidat terbaik diantara yang terbaik.

Aku menoleh ke arahnya, lalu mendengus.

Ini salah satu kekurangannya yang mau tidak mau harus kuterima. Dia suka mendengar musik, terlampau suka hingga telinganya tak pernah lepas dari earphone besar berlambang CocaCola kesayangannya. Hobi yang sering membuat ceritaku terabaikan dan kediaman mengisi sebagian waktu bersama kami.

Pernah sekali waktu aku mengkhawatirkan kondisi telingannya yang terlalu sering terkena serangan suara dari jarak dekat, menyarankan agar mendengar musik dengan speaker dan membiarkanku ikut mendengarkan, namun dia hanya tersenyum dan menjawab kalau ini genre yang aku benci.

Well, aku sendiri tidak tahu genre musik apa yang aku benci, atau mana yang kusukai, aku hanya suka musik yang biasa terdengar saat aku melewati toko kaset, atau yang biasa muncul iklannya di youtube, atau yang viral dijadikan backsound drama. Intinya musik-musik yang berulang terdengar dan membuatku menghapalnya secara tidak sadar. Tidak peduli apakah itu pop, rock atau jazz. Jadi kira-kira apa yang tidak kusuka, aku tidak tahu.

"Kita pulang sekarang?" Tanyanya begitu sadar aku memanggil pelayan untuk membayar makanan. Lihatlah, dia terlihat tak peduli awalnya, namun selalu gesit mengeluarkan dompetnya bahkan sebelum aku sempat meminta bill.

"Aku ke kamar mandi dulu" Ujarnya bangkit, meninggalkan tas dan barang-barangnya diatas meja.

Sebentar lagi dia berulang tahun yang ke 22, masih ada waktu sebulan tapi aku sudah tidak sabar untuk mempersiapkan kejutan apa yang akan membuatnya senang, terlebih dia tipikal orang yang susah menunjukkan ekspresi, aku rasa akan sulit membuatnya terkesan.

Aku melihat ponselnya, mungkin sedikit mengintip bisa memberiku inspirasi. Lalu kulirik pintu kamar mandi yang belum menunjukkan batang hidungnya.

'Oke. Akan kulakukan dengan cepat'

Aku menyambar ponselnya dan membuka galeri (untung saja ponselnya tidak di kunci).

Tidak ada yang istimewa, hanya foto teman-temannya dan keluarga, juga pertandingan sepak bola yang kemarin digelar di lapangan kampus kita. Lalu aku ingat kalau dia suka mendengar musik, pasti ada satu dua penyanyi yang dia idolakan, dan aku akan membelikan kaset atau tiket konsernya jika ada.

"Apa yang kau lakukan?" Tiba-tiba dia muncul, merampas ponsel dari tanganku dan mengantonginya buru-buru. Dia lantas mengambil dompet dan tas nya dan hendak pergi begitu saja, aku tidak pernah melihatnya semarah ini sebelumnya. Tapi aku tidak takut padanya.

"Jangan lari" Aku menangkap lengannya dan mencengkeramnya erat. Kita harus bicara, meskipun rasanya air mataku sudah ingin mengumpul di pelupuk mata.

Dia melihatku, lengannya ingin dia tarik namun aku menolak, masalah ini harus selesai hari ini juga.

Kupaksa dia duduk lagi,

"Apa kau mencintaiku?" Aku bertanya dan menatapnya intens. Matanya berkedip-kedip bingung sambil berusaha menghindari tatapanku. Dulu saat aku menyatakan cinta padanya, aku terlalu bersemangat, juga terlalu senang dengan jawaban 'ya' dari mulutnya sehingga melewatkan bagaimana ekspresi wajahnya. Hari ini aku tidak akan mengulangi kesalahan itu lagi.

Mungkin pertanyaanku barusan terdengar menohok di telinga, jadi aku menggantinya dengan pertanyaan lain

"Kalau kau tidak menyukaiku, kenapa kau membalas perasaanku?"

Aku harus menunggu cukup lama hingga akhirnya dia menyerah dan menjawab pertanyaanku,

"Kau mengatakan cinta di depan orang banyak waktu itu. Jika aku menolakmu, harga dirimu mungkin..."

Aku melepaskan tangannya tanpa menunggu kalimat itu selesai. Oh God, kurang baik apalagi dia. Demi harga diri seorang gadis yang menyatakan cinta secara tidak sengaja di depan umum, dia harus mengorbankan kebebasannya, belum lagi ditambah dengan earphone besar yang ada di kupingnya setiap saat tanpa musik, hanya agar aku mengira dia sedang fokus dengan musik dan berhenti mengajaknya bicara.

"Lalu..." hidungku mulai tersumbat, tapi aku terus meneruskan pertanyaanku "Selama kita bersama sebulan ini? Tidakkah sekalipun perasaanmu berubah? Sedikit saja?" Tanyaku, dengan sedikit harapan menggantung dibaliknya.

"Tolong kali ini jujur, tidak ada pengunjung yang akan mendengar kita. Kau tidak perlu bertanggung jawab pada siapapun" Aku buru-buru menambahkan, tak mau kesalahan itu terulang.

Pelan-pelan, dia menggeleng. Air mataku jatuh seketika tapi aku menolak mengeluarkan tangisan. Aku mengerti sekarang kenapa banyak orang menganggap aneh hubungan kami, itu karena mereka tidak melihat ada cinta yang keluar dari matanya, atau keengganan sikapnya tiap kali bersamaku, dan aku yang dimabuk kepayang ini sejenak lupa melihat kebahagiaan yang sebenarnya.

"Maafkan aku... aku sudah berusaha. Hanya saja, kau terlalu berbeda. Aku sudah mencoba mendengarmu bercerita, tapi aku jadi tidak nyaman. Dan tidak ada pilihan lain selain..."

"Sekarang, kau harus memutuskan. Bagaimana selanjutnya hubungan kita?" Ujarku.

Aku mencintainya, tentu saja aku tidak akan memutuskannya. Tapi dia berbeda, dialah yang harus memutuskan jika memang itu tidak sesuai hatinya.

Dia menatapku tidak percaya, namun aku teguh pada pendirianku meskipun air mata sudah berlinang jatuh sedari tadi.

"Bisakah kita putus?"

Akhirnya dia mengatakannya. Jantungku rasanya ingin copot, nafasku tersengal, dan aku segera bangkit dari kursi setelah mengatakan jawabannya,

"Oke. Kita putus"

-End

FAKE LOVE ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang