Kedai kopi di perempatan jalan raya itu terlihat sepi, sangat cocok untuk menetralkan pikiran seorang pemuda yang sedari tadi hanya fokus melihat keluar jendela. Tidak seperti biasa, saat ini ia bagaikan kehilangan sebagian dari jiwanya. Kejadian beberapa jam lalu memenuhi pikirannya, sebuah momen yang mungkin akan menjadi salah satu kenangan buruk yang sangat menyakitkan.
Secangkir americano masih terlihat utuh tak tersentuh, bahkan temperaturnya sudah menurun akibat terlalu lama didiamkan. Beberapa kali dirinya menengok ke arah jendela, berharap sosok yang ia tunggu datang menghampirinya. Namun nihil, hanya orang-orang asing yang tak dikenal berlalu lalang masuk ke kedai kopi itu.
'Asik banget ya?' tanya pemuda itu entah pada siapa dalam benaknya yang kacau.
Memori akan siluet kekasihnya yang tertawa di dalam pelukan seorang laki-laki lain terus menghantui pikirannya, seakan mengejek Jaemin -nama pemuda itu- yang hanya terdiam membeku tak sanggup melakukan apapun.
Ia menghela nafas kecil lalu merogoh saku, mengambil kotak merah yang terlihat indah. Dibukanya kotak tersebut, menampilkan sebuah cincin beludru berwarna emas. Senyuman tipis terukir di wajah pemuda itu, "Percuma kalau gini, kamu terlihat nyaman sama dia."
Jarum jam di pergelangan tangan Jaemin terus bergerak, menandakan dirinya sudah ada disana sejak beberapa waktu lalu. Seorang waitress datang menghampiri pemuda itu, menyodorkan menu yang menunjukan beberapa daftar makanan disana. "Maaf permisi, makanannya mau dipesan sekarang?"
Jaemin tersenyum getir, sekilas tesadar akan keadaannya sekarang yang menyedihkan. Sudah satu bulan lamanya Ia menunggu momen ini, namun sepertinya Tuhan telah menyediakan perjalanan baru yang berliku untuknya. Dimana Ia akan diuji dengan rasa kecewa, amarah, dan menyesal yang bercampur menjadi satu. Sangat sulit dijelaskan lewat kata-kata.
Dua lilin yang sedari tadi menemaninya juga seakan turut bersedih termakan oleh waktu. Cahaya dari lilin itu meredup, seperti menggambarkan harapan si pemuda yang memang tidak menyala sedari awal. Jika sudah begini, siapa yang bisa disalahkan?
Jaemin tidak mampu untuk menyalahkan si perempuan yang memang bahagia bersama orang lain.
Jaemin tidak mampu untuk menyalahkan si laki-laki yang terlihat lebih bisa membahagiakan gadisnya dibanding dengan dirinya sendiri.
Jaemin tidak mampu untuk menyalahkan dirinya sendiri. Tidak, dia tidak bersalah.
Haruskah dia menyalahkan janji yang telah mereka buat?
Ia mengambil cincin keluar dari kotaknya, lalu memasukkannya ke dalam saku, meninggalkan kotak merah itu di atas meja. Dilihatnya arloji yang melekat di pergelangan tangannya, tak terasa satu jam telah terlewati.
"Mungkin posisi gue emang udah tergantikan." ucapnya lirih diselingi kekehan kecil yang terdengar sendu.
Jaemin pun memutuskan untuk menyerah. Ia mulai beranjak dari kursi, merapihkan jas yang sudah dikenakan hampir seharian ini.
Sekali lagi, Jaemin melihat ke arah lilin yang masih berjuang untuk menyala, sekedar memantapkan tekadnya untuk menyerah. Ia tersenyum untuk kesekian kali, namun berbeda dari sebelumnya, kali ini hanya ada senyuman tulus yang terukir di raut wajahnya.
"Asalkan lo bahagia, gue gapapa."
Setelahnya, Jaemin mengambil langkah menuju pintu keluar dengan kepala tertunduk dan sebuah buket bunga yang sedari tadi Ia persiapkan untuk kekasihnya.
"Jaemin!" suara seorang perempuan memasuki pendengaran Jaemin, suara yang sedari tadi Ia harapkan untuk datang.
Langkah Jaemin terhenti, diangkatnya kepala yang sedari tadi tertunduk diiringi dengan senyuman tulus yang tak pernah pudar. Ia berbalik, mendapati kekasih yang telah mengisi hatinya selama dua tahun belakangan.
"Maaf ya, pasti kamu nunggu lama banget dari tadi." perempuan itu berjalan mendekati Jaemin dengan raut wajah menyesal.
Jaemin tak bergeming. Terlalu takut untuk mengeluarkan suaranya yang mungkin akan terdengar parau. Ia hanya membalas dengan anggukan, tak lupa ditemani dengan senyuman getir miliknya.
"Sayang?" Jaemin memandang perempuan itu tepat dimanik matanya, mencari kebenaran akan panggilan sayang yang ditujukan untuknya.
'Bahkan tatapannya udah berubah.' pikirnya dalam hati.
Netra perempuan itu beralih ke arah buket bunga di genggaman tangan Jaemin, "Bunga buat aku ya? Bagus banget!" ucapnya antusias sembari mengambil alih buket bunga tersebut. Ia menghirup aroma harum yang tercium dari beberapa bunga mawar itu.
"Makasih ya! Beneran deh aku suka banget sama bunga ini."
Jaemin tetap tersenyum sembari berjalan mendekat, menghapus jarak di antara mereka. Kedua lengannya diarahkan untuk memeluk perempuan yang sebentar lagi akan menghilang dari sisinya. Ia menempatkan dagunya di bahu kiri perempuan tersebut sembari memejamkan matanya.
Tanpa diperintah, secara perlahan air mata Jaemin turun, membasahi bahu perempuan itu.
"Sayang, kamu nangis?" pertanyaan yang keluar dari bibir gadisnya ini malah semakin membuat Jaemin rapuh. Seandainya kamu tau alasan apa yang bikin aku kayak gini.
Perempuan itu hanya bisa bertanya-tanya, dengan lengan yang terus mengusap punggung kekasihnya lembut.
"Pulang gih, udah malem" ujar pemuda itu pelan, tapi dapat didengar oleh si perempuan. Jaemin melepas pelukan mereka, kemudian menatap manik kedua mata gadis di depannya ini.
"Kok pulang? Aku kan baru aja dateng."
Tangan Jaemin terangkat untuk mengelus lembut rambut kekasihnya, "Gapapa, kamu pasti capek."
"Capek apanya, aku aja baru keluar rumah buat dateng ke sini." bibir perempuan itu mengerucut, menandakan tidak setuju akan apa yang Jaemin katakan.
Jaemin menarik kembali tangannya lalu memasukkannya ke saku celana, "Makasih ya udah mau dateng, walaupun aku tau kebahagiaanmu yang selalu ku jaga, udah sirna."
Jaemin mengeluarkan cincin yang sejak tadi tersimpan di saku, memperlihatkan kepada lawan bicaranya, "Indah ya? Apalagi kalau kamu yang pakai." Ia tersenyum dengan getir, menyiapkan diri untuk mengatakan kata-kata selanjutnya.
"Jaemin.." suara perempuan itu melemah, merasakan ada yang tidak beres.
"Bahagianya kamu udah bukan aku lagi, padahal dikit lagi kita tunangan ya?" Ia kembali memasukkan cincin itu ke dalam saku celana dan berbicara untuk terakhir kali sebelum beranjak pergi meninggalkan kedai kopi kesukaan gadisnya ini.
"I may not be your last, but you're the best memory that I ever had."
KAMU SEDANG MEMBACA
misstycia ㅡ00line
Short Story〃ᴍɪɴᴅ ᴛᴏ ʀᴇᴀᴅ ᴀʟʟ ᴏғ ᴛʜᴇɪʀ ᴜɴᴛᴏʟᴅ sᴛᴏʀɪᴇs?〃 ー ⓒᴛsʏᴄʀᴏᴄɪᴀ