Real

594 48 6
                                    

Ayah dan ibu sedang bertengkar. Dapat kusimpulkan demikian, saat lagi-lagi kudengar teriakan ibu dan suara hantaman. Kututup telingaku erat, kubungkam bibirku rapat, mataku mulai mengeluarkan airnya. Aku ingin menolong ibu, tapi aku tidak bisa. Ibu akan marah padaku jika melihatku datang membelanya. Akhirnya akan sama, tubuhku yang terluka dan ibu yang takkan berbicara padaku seminggu lamanya. Kupikir, ibu terlalu menyayangiku. Nanti setelah pertengkaran selesai, ibu akan berkunjung ke kamarku dengan luka baru di tubuhnya. Ibu akan meyakinkanku bahwa ia baik-baik saja, padahal tampak jelas ia tidak begitu.

Pertengkaran masih berlanjut, dan begitu berisik. Biasanya saat-saat seperti ini, Chanyeol akan datang. Menghiburku, atau sekedar membantu menutup kupingku dari suara berisik pertengkaran. Tapi hari ini, dia tidak muncul.

Setelah lelah aku menangis, ibu masuk ke kamarku. Matanya teduh namun menyiratkan luka, selalu seperti itu. Ada lebam baru dipipinya, lebih biru dibanding lebam-lebam sebelumnya yang belum hilang sempurna.

"Ibu.."bibirku bergetar dan suaraku parau. Ibu duduk di tepian ranjangku. Ku sentuh wajahnya. Sejenak, kami terdiam saling bertatapan. Berbagi luka. Mata ibu berkaca-kaca, begitupun diriku.

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa." Ibu berbisik, menangkup wajahku untuk menenangkanku.

"Chanyeol tidak datang hari ini." wajah ibu berubah menjadi dingin. Selalu seperti itu, saat Chanyeol menjadi topik pembicaraanku. Aku tahu ibu tidak membencinya. Ibu hanya tidak suka saat kusebut namanya.

"Jangan membahas dia lagi, sayang." ibu mengelus rambutku penuh sayang, tapi wajahnya tidak sehangat tadi. "Aku tahu kau waras, bersikaplah normal." ibu memelukku, sebelum pergi dari kamarku.

Selalu seperti ini akhirnya. Bagiku, bertemu dengan Chanyeol adalah suatu anugerah. Tapi kenapa? Saat kuceritakan tentang dirinya, semua orang menatapku dingin? Beberapa melemparkan pandangan iba. Mereka hanya tidak tahu, seberapa berharganya Chanyeol bagiku.

Setelah ibu pergi, pintu terbuka lagi. Kali ini Chanyeol masuk. Senyum berlesung pipi miliknya selalu mampu meneduhkan hatiku.

"Aku datang." sapaan khasnya, saat dia datang dan tersenyum kemudian duduk di sebelahku. Aku bersandar di bahunya yang lebar. Saat-saat bersamanya, aku selalu mampu menjadi diriku. Aku bisa berkata apa saja sesuai keinginanku, aku bisa melakukan apa saja tanpa celaan.

Chanyeol mengelus rambutku pelan. "Mau melihat Bintang? Malam ini sangat Indah."tawarnya dan aku mengangguk. Aku menggelayut di tubuhnya bak koala. Kegiatan ini menjadi favoritku. Tubuh Chanyeol yang bongsor selalu mampu menggendongku, kemudian kami akan melihat langit bersama-sama.

"Kau semakin ringan."Chanyeol menyibak tirai jendela kamarku.

"Aku kehilangan berat badanku."aku masih menggelayut padanya, enggan melepaskan diri. Setelah itu kami terdiam, menatap langit bersama-sama.

"Kenapa tadi kau tidak datang?"tanyaku.

"Maaf."dia menjawab singkat, dan aku tidak bertanya lagi. Aku tidak peduli. Karena kutahu, besok dan besoknya lagi, begitupun seterusnya, Chanyeol akan selalu ada untukku.

"Aku berjanji selalu ada untukmu."ujarnya, seolah bisa membaca pikiranku. "Aku mencintaimu, Roseanne Park." aku membenamkan wajahku di dadanya, menyembunyikan rona kemerahan disana.

'Aku juga mencintaimu.'kujawab dalam hati. Karena kutahu, tanpa bersua pun, dia tahu jawabanku. Aku selalu mencintainya.
.
.
.
Beberapa hari berikutnya, Chanyeol tidak datang. Tapi aku tetap menunggunya. Kutahu dia takkan meninggalkanku.

Beberapa hari ini, aku menutup kupingku sendiri, menghibur diriku sendiri. Berharap jika Chanyeol datang, semua akan baik-baik saja.

Tapi dia tidak kunjung datang.
.
.
.
"CHANYEOL!!!"

RealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang