Expectandum

12 1 0
                                    

Hari ini aku kembali memaksa temanku untuk bertukar tim denganku. Sepanjang masa studiku, mungkin ini sudah ratusan kalinya aku bersikeras untuk bertukar tim kerja. Alasannya hanya karena ada Jimin di tim itu. Kenyataannya, aku telah membuang banyak waktuku hanya untuk mengejar perhatian darinya. Pemuda yang selalu mengambil tempat pendidikan yang sama denganku itu selalu menebar senyum bunga untuk semua orang, tapi ia seolah tak pernah menyadari keberadaanku di sekitarnya. Memang sedikit menyedihkan untukku. Namun siapa yang sangka, aku telah dengan sukarela mengesampingkan harga diriku untuk waktu yang lama hanya untuk mengemis cintanya.

Sejak aku masih duduk di bangku sekolah menengah pertama hingga sekarang sudah menempuh pendidikan tinggi, aku memang selalu agresif pada Jimin. Seringkali aku mencari-cari kesempatan untuk bisa menyentuh tubuhnya yang menggoda. Dan aku telah mendapatkan begitu banyak keuntungan dari upayaku itu. Meskipun pada akhirnya hanya umpatan pedas yang kudapat darinya. Sungguh aku tidak masalah dengan itu. Sebaliknya, karena sikap cool-nya padaku itulah yang menjadi magnet untukku. Kata-kata pedas yang keluar bersama wajah soft-nya itu sungguh menggemaskan. Seperti juga hari ini, lagi-lagi aku belum bisa membawa mood yang baik saat aku bersamanya.

"Kita satu tim lagi. Sepertinya kita memang jodoh." Ungkapku mantap. Aku mendengar desahan napas Jimin.

"Sudah gila ya?" Sahutnya datar. Kalimat-kalimat seperti itulah yang sering dilontarkannya padaku. Ia bahkan hampir tak pernah memandangku saat sedang berbicara denganku.

"Wah...wah... Kamu memang tak punya perasaan, Jim! Sampai kapan kamu akan terus mengabaikan Chae Young?" Rekan tim yang lain juga turut menggoda Jimin.

Sindiran dari orang-orang sekitar juga sudah menjadi hal yang biasa, karena sejak dulu rumor antara aku dan Jimin memang sudah bukan rahasia lagi. Sekuat apapun aku mencoba menyembunyikan ketertarikanku pada Jimin, pasti akan bocor juga. Hingga kemudian gosip itu menyebar. Tak jarang mereka menggoda Jimin. Entah mereka bersimpati, sekedar rasa kasihan, atau malah menertawakanku, aku juga tak mengerti.

Seringkali Jimin terlihat jalan berdua dengan seorang gadis dan sengaja pamer kedekatan di depanku. Namun, bersamaan dengan itu aku juga mulai menggali informasi tentang gadis-gadis itu. Jika orang lain mengatakan bahwa gadis itu bukan pacarnya, maka tak ada alasan untuk aku harus mundur kan?

Sampai diskusi berakhir, aku masih gigih untuk mendapatkan perhatian dari Jimin. Aku tahu, ia pasti sudah sangat jengkel saat ini karena aku terus-terusan menempel seperti benalu. Ini terlihat jelas dari wajahnya. Ia juga buru-buru beranjak pergi, tapi aku berusaha mengejarnya. Begitu mendapati tangannya, kuraih kuat-kuat hingga akhirnya ia menyerah.

"Mau apa sih? Hah?" Bentak Jimin.

"Aku mau kita pulang bareng." Pintaku. Tak peduli jika itu terdengar seperti perintah. Memang siapa yang berniat untuk menunggu persetujuannya? Yang aku mau hanya cukup katakan "ya!".

Kini Jimin berbalik menghadapku, cukup lama ia memandangku lalu mendesah. "Ada lebih dari seribu pria di kampus ini, bagaimana dengan mereka?" Aku mengerti maksudnya. Sepertinya ia berusaha membuat penawaran denganku. Ia menyodorkan seribu pria padaku agar aku berhenti mengganggunya. Tak semudah itu!

"Jika tidak?" Jawabku.

"Shh... kau benar-benar tak ingin membuka kesempatan untuk pria lain?" Ia masih tetap ngotot. Hampir saja aku mengacak-acak rambutku.

"Lupakan pria-pria itu! Lalu kenapa kamu tidak coba berikan kesempatan padaku?" Bantahku.

"Memang dasar muka tembok ya!" Jleb! Sekali lagi ia mengumpat padaku. Cukup sakit mendengarnya. Tapi aku sudah kebal mau dikata apa pun juga.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 09, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Expectandum [ONESHOT]Where stories live. Discover now