Yah, Bubar

39 1 0
                                    

Setelah berbulan-bulan aku terlalu nyaman jadi pembaca di dunia ini, ternyata aku mulai enggak betah cuma baca cerita buatan orang saje. Daaaan, seperti yang kalian lihat sekarang, hadirlah cerita pendek yang sebenarnya enggak pendek ini sebagai cerita pertama yang aku publish *yeeeaaayyyy *confetti di mana-mana

Berhubung ini kali pertama aku ngasih ceritaku ke dunia nyata yang sebenarnya maya, jadi kritik dan saran dari kalian sangat aku harapkan yak :'D

Semoga cerita ini bisa bermanfaat bagi kehidupan kalian!

P.s. : nyampein krisarnya ntar di kolom komen baris apa aja, tapi tolong gunakan bahasa yang baik dan sopan ya, ga kuat dikerasin aku tuh :'(

P.s.s. : semangat bacanya, semoga kalian kuat baca sampai habis!

P.s.s.s. : jangan ada plagiat di antara kita sayank...

[][][]

"Kamu enggak serius kan?"

Sayangnya, aku serius parah. Makanya aku cuma bisa kasih tatapan kasihan ditambah senyum miris ini buat kamu.

"Yakin kamu?" tanyamu lagi.

Ditanya berulang kali pun, anggukan kepalaku bakal selalu jadi jawaban buat kamu. Lagi-lagi, mendapat jawaban pasti dariku, desahan dari kamu yang berwajah cemas dan seketika menyandarkan badan pada sandaran kursi di belakangmu kembali muncul.

"Kenapa sih Mie? Kenapa tiba-tiba banget?"

Menghela napas lebih dulu menghadapi kamu yang keponya ternyata keterlaluan, aku menjawab, "Aku sadar aja gitu Don, kalau kita ternyata enggak secocok itu. Masih banyak kekurangan kamu yang aku enggak suka, begitu pun sebaliknya. Aku maunya kita sama-sama perbaiki diri untuk diri sendiri dulu, baru kalo emang jodoh pasti ada caranya kita ketemu lagi. Lagian, kita juga masih SMA. Perjalanan kita itu masih panjang untuk gapai masa depan, soal jodoh itu sebenarnya bisa belakangan lho Don."

"Kan bisa perbaiki diri sama-samaaaaaaa," ujarmu disertai wajah yang benar-benar menampakkan kelelahan dan keputusasaan menghadapi aku yang mengambil keputusan secara sepihak-sekaligus maksa pihak lain untuk nrimo wae.

Menggeleng dengan lebih tegas, sekarang wajah lembutku berangsur-angsur 'beringas' menghadapi kamu yang rupanya punya kepala super batu. "Enggak bisa. Kalau kita pacaran sambil perbaiki diri barengan, ntar malah jadinya kita perbaiki diri untuk pasangan. Sedangkan aku, aku maunya kita perbaiki diri untuk diri kita masing-masing ke depannya. Kalau kita perbaiki sama-sama, bisa aja-bahkan bisa dipastikan-aku bakal nurut ke kamu untuk perbaiki ini-itu, juga sebaliknya, dan kalau ternyata yang aku atau kamu mau kita perbaiki itu ternyata kelebihan kita sendiri, apa enggak rugi itu namanya?!" seruku mengakhiri penjelasan panjang lebar tentang alasan mengapa kami harus putus.

"Aaarrggghhh!"-pastinya kalian tahu kalau ini geraman dari Doni yang sekarang lagi menjambak rambutnya sendiri-yang sudah mulai gondrong-hingga badannya tertarik sampai menempel ke paha, dan bukan dari aku yang anteng-anteng aja sejak bilang putus. Selepas menjambak rambutnya, ia tiba-tiba langsung mengangkat kepala dan menatap intens ke mataku-walau masih disertai tatapan kecewa dan putus asa yang super kentara-yang pastinya bikin aku kaget melihat betapa cepat gerakannya itu.

"Sekarang banget putusnya Mie?"

Aduh ini anak satu bikin repot banget dah. "Iya, se-ka-rang," ucapku secara terputus, pertanda ketegasanku sudah hampir mencapai puncak keberingasan, ditambah dengan ekspresi yang menunjukkan bahwa aku sudah semakin lelah menghadapi Doni yang tak kunjung mengerti ini.

"Duuuuuuhhhhhh," keluhmu lagi yang membuat aku langsung teringat akan Dudu, sapi peliharaan kakek buyutku di kampung halaman ibu karena kemiripan suara Doni tadi dengan sapi tersebut.

Demi Apa, Selesai?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang