Still waiting my heart angel

3 0 0
                                    

Bangkalan, 15 Juli 2018.
Ada ibrahnya aku sendiri. Berusaha menguatkan diri meski di seluruh sisi tubuhku telah di bantai oleh pendekar bersenjata hati hitam brutal. Aku tau ini sangat sulit. Dan bahkan tak jarang pula jatuh dalam keterpurukan keputus asaan berkelanjutan. Bukannya aku tak lelah!. Hanya saja aku berusaha menjadi tameng diri sendiri. Tertatih menepis kenyamananpun aku harus tetap berjuang. Tak ingin terlibat dalam legenda asmara. Aku harus menetralkan diri ada atau tidak ada katalis itu. Jika ini sudah terbiasa siap-siap kau akan menjadi orang biasa di istanaku.

"Apa-apaan ini, mengapa aku terus memikirkannya?". Gumam dalam hatiku. Jika ini terus berkelanjutan bagaimana mungkin aku melupakannya.

Aku sadar, semakin sering menuliskan kisah tentangnya angan-anganku mulai menggeliak menari di atas nostalgia semu di masa lalu. Hatiku bahagia, dengan denyut nadi yang semakin tak menentu turut mengilustrasikan keadan yang mulai berbeda. Masih sama senyum ini ketika memikirkan dirimu meski sangat menyakitkan. Terlalu lama mengelabuhi hati yang tak kunjung bertemu titik pusat  samudra hati yang berlabuh di atas peta yang mulai memudar arah petunjuknya. Aku sendiri dan aku tetap menyayangimu dalam penantian ini. Aku tak bisa berpaling darimu. Bagaimana mungkin aku melupakan janji dan melepaskanmu begitu saja. Masih hangat dalam benakku saat mengikat janji suci di atas pasir putih diiringi tarian ombak yang turut menjadi saksi kuatnya energi hubungan ini.

Minggu dan Jumat adalah hari penantian penuh harap bagiku. Meskipun di hari lain rasaku masih setia karena memang saat ini liburan pondok pesantren sudah berlangsung lama,  dan semerbak aroma kabar balik pondok mulai hitungan hari. Bagaimanapun anak santri pasti akan berusaha memberi kabar kepada pujaan hatinya saat aktif di sosial media. Apalagi kita yang sama-sama berjuang berjihat fi sabilillah dengan memperdalam ilmu agama dan memanaje diri dengan perhiasan tameng sejati yang berupa akhlatul karimah.

Langkahku mulai gontai, saat turun dari bus pariwisata setelah seharian outbond ke Pacet Jawa Timur yang menguji adrenalin dan sangat menghibur tentunya. Jam menunjukkan pukul 23:00 WIB. Tak mungkin aku kembali ke pondok. Nyaliku menciut seketika seakan menjadi sebuah isyarat untuk menginap di sekolah. Aku tak sendiri, Nisa patrner setiaku siap menemani sepanjang waktu berjalan. Aku terus menunggu kabar Hosie dengan stay akun aktif di berbagai sosial media.
"Bagaimana bisa dia tidak mengabariku selama ini?" sontak hatiku tak terima. Malam ini adalah malam ujung penantian yang tak pastu setelah ku dengar celetohan hati sahabat karibku Imam yang mondok di tempat yang sama dengan Hosie.

Senyumku mulai merakah, raut wajah tegang pucat pasi seketika tersulap menjadi merah muda bak bunga sakura yang mulai memamorkan eksistensi nilai estetika aura dirinya. Jantungku mulai berdegup kencang,  ini bukan yang pertama kalinya. Karena aku selalu terbuai ke dalam senyum manis yang terpancar dari bibir mungil merah delima yang spontanitas melarutkan jiwa setiap insan yang melihatnya. Dengan penuh kegirangan aku berteriak sekeras mungkin sesekali lari pontang-panting tak tau arah tujuan yang membuat miris setiap orang yang melihatnya.

"Ummah please deh biasa aja, ini sudah larut malam, jangan menggonggong mulu" ucap Nisa dengan menyipitkan mata dan menaikkan salah satu alis tanda terganggu obrolannya yang tengah asyik berbagi kisah menghubungi pencuri hatinya.

"Aaaaaaaaarggh......!!! "*
Timpalku bertambah kegirangan
"Nisa, Hosie aktif" Sahutku seakan ingin melayang terbang ke angkasa bersamamya.
"Huh hah lala yeeach. Aaaaaaargh..... !" Teriakku berkelanjutan.

"Inikah yang dinamakan cinta gila. Aku jatuh cinta dia yang gila. ". Sepertinya aku terlalu bersemangat, percintaan belum dimulai rasaku sudah klimaks.

Nisa hanya tersenyum melihat raut wajahku yang tak biasa sebelumnya. Sungguh tak dapat diungkapkan kebahagiaan ditengah malam yang diguyur hujan.  kerinduan ini membuncah, meletup tak terbendung setelah sekian lama Hosie menghilang entah kemana.

Pikiranku tak tenang, segudang pertanyaan ingin kuajukan padanya. Andai kata dapat dilukiskan mungkin galaksi tak mampu membandingi puncaknya hati yang semakin menggelora. Dunia khayalan di otakku mulai beraksi bak ingin mengukir sejarah perjuangan penantian yang berakhir dengan manis. Jari tanganku mulai menari merangkai kata-kata sebagai open greeting pertemuan kabar kita.

"Ubeck aku sangat merindukanmu, sungguh jika kau tahu dalamnya rindu ini, tak mungkin kau takkan berpaling ketulusan penantian diriku padamu".

Ubeck adalah panggilan mesra kesayangan  yang berakar dari bahasa Madura dari suku kata "jhubek" yang berarti jelek. Sedangkan Hosie biasa memanggilku Chacha karena wajahku yang cabi dengan hidung buat yang menggemaskan.

Aku terdiam, perlahan ibu jariku menghapus semua pesan yang hendak dikirim padanya. Dengan menghela napas panjang kristal putih dari sudut bola mataku mulai bereproduksi. Seperti ada yang berubah darinya. Mengapa Hosie tak seagresif dulu ketika secara bersamaan online di sosial media? Aku pikir hanya aku orang yang paling penting baginya setelah keluarga dan sahabatnya. Ternyata hipotesisku salah. Ingin sekali aku menanyakan tentang bingkisan kotak merah yang berisi al-Qur'an, gelang,  lengkap dengan pesan moral dari setumpuk surat berpita merah dan biru yang kutujukan sebagai bentuk apresiasi di hari sweet seventeennya. Apakah kado yang kutitipkan pada Taufik untuk Hosie telah sampai?. Apakah dia membaca dan mengerti isak relung hatiku?. Kali ini aku hanya bisa membungkam. Dengan secerca harapan yang mulai terbang hilang.

"Hei" sapa Hosie memulai pembicaraan.
"iya" jawabku dengan penuh kegirangan dengan atribut pengawal lengkap emoticon-emoticon yang berhamburan sebagai bentuk apresiasi hati yang berkobar dalam kerinduan.

"Chacha kok tambah imut" ucapnya merayu seraya menunjuk pada pipiku saat melangsungkan video call. Dengan nada manja aku menyangkal pujian darinya.

" bilang aja kalau Chaca gendutan". Seraya menggigit daging pipi kanan dan kirinya agar tampak lebih ideal.

Entah kenapa ilusi dan fantasi segala yang ada di dalam pikiran tak bisa aku sampaikan. Aku hanya larut dalam keadaan. Kekecewaan, kesedihan dan kekesalan padanya seketika terhipnotis terbuai dalam mantra dan rayuan. Sungguh aku tak bisa berkutip apa-apa, aku terlalu bahagia. Aku lupa rasa sakit menunggu kepastian yang tak kunjung reda ketika telah bertukar kabar dengannya.

"Agh dasar bodoh!, Ummah terlalumudah di taklukkan". Hati kecilku menggerutu tak terima

Hard LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang