Sweet Honeymoon
Pesta sudah bubar. Para undangan sudah kembali ke rumah masing-masing. Hanya kerabat dan keluarga yang masih tersisa. Beberapa sahabat dekat kedua mempelai terlihat hilir-mudik di sekitar gedung tempat pernikahan itu. Sedangkan kedua mempelai berada di kamar rias, mengganti salin.
Bima, pengantin pria, keluar lebih dulu. Setelah berpakaian biasa, ia menyapa teman-temannya yang belum pulang.
"Ma kasih Bro, dah nemenin gue sampe acara selesai. Tengkyu berat," ujarnya kepada dua sahabatnya yang masih menunggu.
"Gak masalah Bro. Sekarang tinggal elu jalanin aja. Everything will be all right Man! Santai aja," ujar Doni, sahabatnya.
"Udah Bim, gak usah dipikirin, jalanin aja. Kalo cuma berantem kecil mah biasa, ntar juga biasa," ujar Ferdy.
"Biasa berantem maksud lo Fer?" Tanya Bima.
"Ha ha, bukan itu maksud gue, jadi biasa bersama, bisa terima apa adanya. Lu kan gak sempet pacaran sama bini lo, jadi sekarang lu anggap aja pacaran. Malah asyik Bro, he he he," ujar Ferdy.
Dua sahabat Bima memang mendukung rekannya untuk segera menikah. Karena tinggal Bima saja yang belum menikah. Usianya sudah 34 tahun.
Tiga bulan lalu, Bima menyetujui usulan orangtuanya untuk menjodohkan dirinya dengan Rina. Rina adalah anak sahabat ayahnya yang lama tidak bertemu. Bima menyetujui usulan orangtuanya dengan syarat ia harus mendapatkan kecocokan dengan calonnya. Maka kedua keluarga pun akhirnya mempertemukan Bima dan Rina.
"Bima."
"Rina," sambil menyambut tangan perkenalan Bima saat mereka pertama kali bertemu di rumah Rina. Bima kemudian mengajak Rina untuk berbincang di tempat lain. Ia ingin mengetahui pribadi Rina tanpa harus berbasa-basi.
Bima mengajak ngobrol di sebuah kafe yang suasananya santai. Namun sepanjang perjalanan, keduanya lebih banyak diam. Kalaupun ada obrolan, itu hanya seputar profesi masing-masing yang sebenarnya sudah diketahui lewat informasi orangtua mereka.
Bima adalah anak tunggal di keluarganya. Ia seorang manajer yang dipersiapkan ayahnya untuk mewarisi sejumlah perusahaan. Sedangkan Rina adalah general manajer perusahaan minyak internasional. Rina anak pertama, dan adik laki-laki satu-satunya sudah menikah.
"Ada baiknya kita lebih dulu mengenal satu sama lain sebelum kita memberikan keputusan kepada orangtua kita. Mudah-mudahan kamu setuju dengan pendapat saya," ujar Bima setelah sampai di kafe itu.
"Setuju," balas Rina yang usianya terpaut dua tahun lebih muda dari Bima.
"Masing-masing dari kita pasti punya visi dan keinginan di masa depan. Mungkin Rina mau berbicara lebih dulu atau bertanya lebih dulu, silahkan."
"He he, tidak. Karena ini urusan yang akhirnya adalah membentuk keluarga, dan budaya kita menganggap laki-laki sebagai pemimpin, lebih baik kamu dulu yang bicara dan bertanya," balas Rina.
"Baik. Sebelum bicara panjang lebar, mohon dimaklumi kita baru saja bertemu dan dipaksa untuk mendapatkan bahan pertimbangan untuk membuat keputusan. Saya sendiri hanya diberikan waktu satu minggu oleh ayah saya, apakah mau menerima Rina atau tidak. Saya merasa itu tidak masuk di akal, karena tidak mungkin perjalanan hingga akhir hayat hanya diputuskan dalam satu minggu. Saya tidak menjanjikan apa-apa, hanya bisa bilang akan mencobanya," ujar Bima.
"Setuju. Sama, saya juga diberikan deadline seperti itu. Tidak mungkin bisa menghasilkan keputusan yang bisa dipertanggung jawabkan dalam satu minggu. Padahal dengan waktu yang bertahun-tahun pun saya tidak bisa membuat keputusan," balas Rina.
"Kita punya pandangan yang sama. Saya mau tahu, apa pandangan Rina soal perjodohan ini?" Tanya Bima.
"Terus terang saya tidak terlalu menganggap penting perjodohan ini. Pertama-tama mungkin saya hanya ingin membuat Papa senang. Kedua, saya bisa dapat teman baru, ketiga tidak ada yang memberatkan saya untuk menerima atau menolak. Saya nothing to lose," ujarnya.
"Sama. Tapi saya menghormati keinginan Ayah saya. Satu sisi perjodohan ini mungkin menganggap saya seakan-akan tidak mampu mencari jodoh saya sendiri. Tapi di balik itu, bisa jadi ini memang jalan yang diberikan Tuhan lewat kemauan Ayah saya. Jadi saya tetap menganggap hal ini sebagai sesuatu yang baik," jelas Bima.
Obrolan mereka pun semakin lama semakin dalam. Kedua orang itu pada dasarnya sudah memiliki dasar yang kuat untuk memilah logika dan perasaannya. Bahkan mereka sependapat bahwa perasaan bisa dikesampingkan untuk mewujudkan visi yang dimiliki. Artinya mereka bisa saja menikah meski keduanya belum memiliki rasa cinta.
Seiring mencairnya obrolan, mereka mulai tertarik satu sama lain. Tidak ada keputusan hari itu. Bima dan Rina hanya mengetahui kalau masing-masing merasa bisa menerima lawan bicaranya.
Keesokan harinya, Bima dan Rina bertemu lagi. Seusai kerja, mereka ngobrol lagi di tempat yang sama. Obrolan mereka semakin cair dan ketertarikan semakin terlihat. Bima pun meminta Rina untuk bertemu lagi besok. Namun kepada orangtua mereka, keduanya tetap menyatakan belum bisa memberikan keputusan apa-apa.
"Terus terang, aku hanya satu kali pacaran. Itupun waku SMA dulu. Ada beberapa cowok yang mendekati aku, tapi baru kali ini aku merasa cocok," ujar Rina coba terus terang kepada Bima, saat bertemu lagi.
"He he he, sama. Aku pernah mendekati beberapa wanita, tapi baru kali ini juga merasa klop," balas Bima.
"Terus apa bisa kalau kita dibilang pacaran sekarang ini?" Pancing Bima.
"Hhhmmm bisa. Eh kamu nembak aku ya? Kok gak romantis amat sih, gak ada rayuan-rayuan gombal," ujar Rina.
Mereka akhirnya tertawa lepas. Itulah pertama kali mereka sama-sama mengakui satu kebersamaan. Satu tahap sudah mereka lalui, meski semua dikemas dengan bercanda. Waktu satu minggu yang dianggap tidak masuk akal, ternyata terbantahkan. Mereka bahkan sudah menyatakan pacaran dalam tiga hari saja.
Tapi hal itu mereka sembunyikan dari orangtua masing-masing.
Sampai batas satu minggu yang diberikan, kedua orangtua mereka tidak bertanya tentang hubungan mereka. Namun kedua orangtua mereka ternyata sudah menyiapkan acara lamaran.
"Bima, besok kamu gak boleh pergi kemana-mana. Semua keluarga besok kumpul di sini. Kita mau ke rumah Om Harjo, melamar Rina buat kamu," ujar ayahnya Bima.
"Apa? Ayah kok gak tanya aku dulu. Ayah yakin sekali kalau aku setuju. Terus apa Rinanya mau? Nanti malah ditolak lagi," protes Bima.
"Wah mana mungkin ditolak. Lah wong kita tahu kok, seminggu ini kamu setiap hari ketemu Rina kan? Kamu juga sering telepon-teleponan. Pakai panggilan Mas-mas, aku-kamu. Kita tahu. Om Harjo juga tahu, kalau anaknya lagi kasmaran. Ya sama siapa lagi kalau bukan sama kamu. Dah besok kamu siap-siap," ujar ayahnya Bima.
Bima tentu saja kaget, tapi di dasar hatinya ia gembira. Namun ia ingin memastikan, apakah perasaan di relung hatinya memiliki gema yang sama di hati Rina.
"Na, kamu tahu gak kalau besok keluargaku mau datang ke rumahmu?" Bima segera menelpon Rina.
"Iya Mas. Katanya mau lamaran ya?"
"Iya. Aku jadi bingung, kan kita belum benar-benar kasih keputusan. Aku jadi gak enak sama kamu," ujar Bima.
"Kok gak enak? Gak enak apa dag-dig-dug?" Canda Rina.
"He he he, dag-dig-dug sih. Aku kan belum tahu dengan sikapmu Na."
"Kok belum tahu? Kita kan sudah pacaran."
"Iya kita pacaran, tapi kan belum satu minggu pacarannya. Ini kan mau menikah Na, konsekuensinya panjang."
"He he he, ternyata calon direktur punya kebimbangan juga ya," goda Rina lagi. "Sekarang aku mau tanya sama Mas Bima. Selama tiga hari pendekatan, tiga hari pacaran, kamu yakin gak kalau aku bisa jadi isterimu?" Tanya Rina.
Bima terkejut dengan pertanyaan itu. Ia pun menjawabnya dengan terbata-bata. "Eeee..," suara Bima gak jelas.
"Jangan pake 'eeeee'. Yakin gak?" Sergah Rina.
"Yakin," Bima berucap.
"Tanpa paksaan?" Rina coba menegaskan.
"Tanpa paksaan."
"Kamu dalam keadaan sadar?"
"Sadar," jawab Bima.
"Bagus. Itulah modal kita Mas. Kamu tahu, sejak awal aku nothing to lose menghadapi ini. Sedangkan kamu punya alasan lebih kuat lagi. Kamu menganggap bahwa perjodohan ini bisa jadi sebuah jalan untuk menemukan jodohmu. Mungkin ini memang jalan kita Mas. Bertahun-tahun kita mencari, ternyata hanya dalam satu minggu saja kita dibukakan jalannya," ujar Rina.
"Itu artinya kamu mau?" Bima mencoba mencari jawaban yang lebih tegas.
"Masa aku harus jawab sekarang? Kan lamarannya besok Mas," balas Rina.
"Oooooo Alhamdulillah....," Bima sampai teriak ditelponnya. "Terimas kasih ya Tuhan," tambah Bima.
"Mas gak usah teriak-teriak, nanti disangka apa lagi," suara Rina di seberang telepon.
"Eh iya, ibuku sampai nyamperin aku nih."
"Ya sudah, besok datang ya. Aku tunggu loh, jangan sampai nyasar ke rumahku," canda Rina.
"Iya, aku gak bakalan nyasar sayang. Aku dah nyasar di hatimu," balas Bima.
"Eh eh apa tadi?" Tanya Rina.
"Apa? Yang mana?"
"Tadi.. Kamu nyebut apa?"
"Yang mana? Nyasar di hatimu?
"Bukan, sebelum itu."
"Apa....? Ooo sayang...?"
"He he he iya. Kamu sayang aku Mas?"
"Iya.... Gak apa kan? Kan kita dah pacaran, mau lamaran lagi besok, jadi aku merasa sayang kamu," ujar Bima mencoba kata-kata gombal.
"Iya gak apa, dah seharusnya kamu sayang aku. Kan aku calon isterimu," balas Wita.
"Iya, ya sudah. Sudah malam nih, kamu istirahat, met bobo ya," sahut Bima tersipu.
"Met bobo..apa?"
"Met bobo," Bima belum menangkap maksud Rina.
"Met bobo apa?" Rina terus memancing.
"Oo, met bobo sayang... Muah-muah," ujar Bima.
"Gitu dong... Pinter. Met bobo juga Mas Bimaku sayang...daahhh."
Hati Bima berbunga-bunga. Selama ini ia tidak pernah merasakan kegembiraan seperti itu. Ia geleng-geleng kepala, usia sudah tidak lagi muda untuk berpcaran seperti remaja. Bahkan kalau di kantor ia harus tampil dingin untuk mengeluarkan keputusan penting. Tapi menghadapi persoalan hati dan perasaan, ia kalah dengan anak-anak remaja. Tingkahnya pun seperti anak remaja tanggung.
Bahkan saat ibunya menanyakan alasan berteriak, Bima hanya cengar-cengir lalu memeluk ibunya sambil mengatakan terima kasih. Ia pun masuk ke kamar untuk menikmati perasaannya yang sedang jatuh cinta.
Keesokan harinya, acara lamaran berjalan lancar. Meski yang datang hanya keluarga dekat, namun tidak mengurangi rasa hormat keluarga Danuredjo kepada keluarga Suharjo Pramono. Lamaran keluarga Danuredjo tidak bertepuk sebelah tangan. Melalui ibunya, Rina Pramono menyatakan bersedia disunting Bima Danuredjo. Bahkan kedua keluarga langsung memikirkan tanggal pernikahan mereka. Kedua keluarga sepakat tidak mau menunggu lama hari pernikahan anak mereka. Jika ada hari bagus dalam waktu dekat, mereka akan memilih hari itu. Dan ternyata pernikahan mereka dilangsungkan hari ini.
"Dah istirahat Bro, besok kan lu mau honey moon, jaga stamina. Apa malam ini juga mau elo jebolin? Apa jangan-jangan elo dah colongan ya, jebolin duluan, ha ha ha," canda Ferdy.
"Ha ha ha, kalo itu rahasia dapur bro," balas Bima.
Sebelum candaan semakin keluar batas, Doni langsung membelokkan pembicaraan. "Gue denger honey moon lu sedikit uniknya. Mau keliling Jawa, Bali, Lombok pakai mobil. Gila aja lu, yang ada malah capek di jalan Bro, bukan capek di ranjang, ha ha ha," ujar Doni.
'"Kita berdua memang pengen jalan-jalan, ya sekalian aja, pakai mobil. Jadi selama dua bulan, elo-elo pada jangan cari gue ya. Gue lagi sibuk tuh," balas Bima.
"Busyet dua bulan? Pacarannya cuma tiga hari, honey moonnya dua bulan. Top dah elo bro," ujar Doni.
"Fer mendingan kita cabut deh, kasian Bima biar istirahat. Malam ini kan malamnya dia. Kalo kita kan dah bosan, tempe lagi tempe lagi, kapan pizzanya," tambah Doni.
"Yang tempe elu kali Don, kalo gue sih bisa dapet pizza, Dodol Garut, Bubur Ayam Sukabumi, Bakpia Jogya, atau Coto Makassar. Kemarin malah Ayam Hainan," balas Ferdy.
"Iya abis makan, sakit perut lu. Yang lu makan gak dimasak higienis, banyak penyakitnya. Dah kita cabut, tuh Rina dah nyamperin, dah gak tahan kali dia, ha ha ha!" Ujar Doni.
Mereka pun berpamitan pada Bima dan Rina. Kedua mempelai pun bersiap-siap meninggalkan gedung resepsi menuju hotel yang sudah dipesan.
Dengan kekayaan yang dimiliki keluarga Danuredjo, Bima bisa menyediakan segala fasilitas dengan kualitas nomor satu. Begitu pula hotel tempat malam pertama menginap.
Tapi ia tahu, malam pertamanya tidak akan mendapatkan seks, karena bertepatan dengan jadwal datang bulan Rina. Bima hanya bisa menahan penasarannya.
"Sayang aku boleh tanya gak?" Bima coba bertanya tentang urusan tempat tidur sebulan sebelum pernikahan.
"Apa?"
"Gimana ngomongnya ya? Takut nyinggung kamu, soal privasi kamu."
"Apa? Kasih cluenya dulu deh."
"Soal seks."
"Oooo seks. Kenapa? Kamu mau minta sebelum nikah?"
"Bukan-bukan itu."
"Terus apa dong?"
"Eee kamu udah pernah belom?" Ujar Bima ragu-ragu.
"Ha ha ha ha. Sebelum aku jawab, aku tanya dulu ke kamu. Pertama, kamu dah siap dengan apapun jawabanku belum? Biasanya, pertanyaan itu mengandung harapan kalau aku belum pernah, masih perawan. Tapi bagaimana jika jawabannya ternyata kebalikannya? Apa kamu siap? Kedua, apa jawabanku menjadi sesuatu yang penting dalam prinsip hidupmu?," balas Rina.
"Eee, iya sih ada harapannya di dalamnya. Aku ingin isteriku masih perawan sama sepertiku yang masih perjaka. Tapi kalo emang udah pernah juga gak apa, aku akan coba menerimanya," ujar Bima.
"Ha ha ha ha, terima kasih kamu sudah jujur meski aku tidak tanya. Jadi sebenarnya aku gak perlu jawab, kamu tunggu aja jawabannya saat malam pertama nanti," ujar Rina.
"Loh kok?" Bima bingung.
"Pertama, kamu belum yakin menerima apapun kondisiku sebenarnya. Kamu akui kalau kamu berharap aku masih perawan seperti kamu yang masih perjaka. Artinya, kamu hanya ingin aku seperti yang ada dalam pikiranmu saja. Padahal kenyataannya belum tentu. Itu menjadi pekerjaan rumah kita nanti kalau kita benar-benar jadi suami-isteri. Kita harus membangun realita, bukan mimpi. Kedua, kamu sebenarnya tidak bermasalah dengan apapun kondisiku yang sebenarnya. Kamu hanya merasa terganggu jika aku tidak sesuai dengan harapanmu. Kondisiku yang paling jelekpun tidak melanggar prinsip hidupmu. Jadi aku memilih untuk tidak menjawab pertanyaanmu, apakah aku masih perawan atau tidak. Kamu bisa mendapatkan jawabannya saat malam pertama nanti," ujar Rina.
"Aduh panjang bener jawabannya. Bisa singkat aja gak, udah apa belum?" Bima penasaran.
"Sabar ya, nanti kamu juga tahu kok."
"Aduh bikin penasaran aja. Kita ke hotel aja yuk?" Bima mulai sedikit putus asa.
"Ke hotel? Ngapain?"
"Ya nyari jawabannya," ujar Bima.
"Loh tadi aku tanya ke kamu, apa kamu mau minta seks sebelum nikah, kamu jawab nggak, bukan itu. Kok sekarang malah ngajak ke hotel, buat cari jawaban?," balas Rina.
"Waduh malah jadi tambah penasaran sayang. Nggak ada jawabannya nih?" Bima putus asa.
"Sekarang tidak aku jawab, tunggu nanti saat malam pertama. Mas Bimaku sayang, bilang sama 'bim-bim'-mu itu untuk sabar. Satu bulan lagi ketemu 'rin-rin'-ku kok. Nggak bakal kemana-mana kalau sudah jodoh. Alu dan lumpang kalau sudah waktunya panen pasti akan ditalu. Masak tunggu satu bulan aja nggak kuat. Bim-bim kan dah nunggu 34 tahun, dan tetap kuat. Sabar ya," ujar Rina.
Bima hanya garuk-garuk kepala saat itu. Kini sepertinya ia pun akan garuk-garuk kepala lagi karena Rina sedang datang bulan. Namun Bima sudah mengerti apa yang diinginkan wanita yang sudah jadi isterinya itu. Ia harus membersihkan harapan-harapan kosong di dalam otaknya.
Ia tidak lagi penasaran dengan jawaban atas pertanyaannya dulu. Bukan karena Rina sudah menjawab, tapi karena ia memantapkan hati bahwa ia menerima apapun kondisi Rina. Jadi apapun jawabannya, perawan atau bukan perawan, bukanlah masalah buat Bima. Ini adalah babak baru dalam kehidupannya.
"Kamu capek Mas. Mau aku pijet?" Ujar Rina ketika mereka memulai malam pertama mereka di di kamar paling mahal hotel bintang lima di Jakarta.
"Gak usah sayang. Kamu juga capek kan. Mendingan kita istirahat. Besok kita mulai perjalanan ke Jogya. Kamu juga harus istirahat, biar bisa gantian nyetir," ujar Bima.
"Wah aku nyetir juga, bukannya itu tugas kamu?"
"Ya kalau kepepet, gantian ya," ujar Bima sambil merebahkan tubuhnya di sofa yang tak kalah empuk dengan kasur di kamar hotelnya.
"Loh kamu kok tidur di situ Mas. Ini kasurnya masih luas, empuk lagi," pancing Rina.
"Aku di sini aja ah, leluasa."
"Sudah sini aja. Kenapa? Kamu takut ketahuan kalau tidurmu ngorok? Gak apa kok kalo kamu ngorok, paling aku bangunin kalo ngoroknya keras," canda Rina.
"He he he, bisa jadi. Udah aku di sini aja."
"Ya udah aku tidur di sofa juga ya bareng kamu," ujar Rina sambil mendekati Bima.
"Loh kamu kok ke sini. Di kasur aja."
Tapi Rina tetap memaksa untuk tidur bersama Bima meski sofa itu hanya muat untuk satu orang. Hal itu malah membuat Bima salah tingkah. Hingga akhirnya ia mau pindah ke kasur.
"Kenapa sih Mas? Kamu gak suka tidur sama aku? Jangan-jangan kamu gak mau tidur sama aku karena di otakmu ada pikiran jelek, kamu menganggap aku gak pantes buat ditiduri ya?" Tanya Rina.
"Bukan, bukan itu masalahnya. Kamu sangat menarik, cantik, dan pintar. Tidak ada masalah dengan kamu. Aku cuma gak biasa tidur sama perempuan," ujar Bima lugu. Seandainya saja, Rina tahu kalau sebenarnya dalam dua bulan terakhir Bima tak bisa tidur karena selalu membayangkan tubuh Rina.
"Ha ha ha, ya sudah jangan anggap aku perempuan. Anggap aja aku guling, bisa kamu peluk sekencang-kencangnya," goda Rina.
"Mana bisa dianggap guling. Bentuknya aja beda. Kalau guling mah lonjong rata, nah kamu ada tonjolannya. Nanti salah pegang, aku malah ditampar," ujar Bima.
"Ha ha ha, kamu pernah ditampar perempuan ya? Tenang aja aku gak bakalan tampar kamu kok. Dah sini tidur sama aku, anggap aja aku guling oke," pinta Rina dengan sedikit memaksa.
Bima pun menuruti kemauan isterinya itu. Dengan terpaksa ia Bima tidur di samping Rina. Selama lima menit mereka hanya diam saja tidak ada suara. Sampai kemudian Rina membuka suara.
"Mas gulingnya dipeluk dong," ujar Rina.
Bima pun menuruti isterinya dengan memeluk guling yang ada.
"Bukan itu Mas, ini gulingnya nih," ujar Rina sambil mendekatkan tubuhnya yang menyamping ke arah Bima.
Bima tak bisa menyembunyikan kekakuannya. Ia benar-benar canggung ketika menyampirkan tangannya ke tubuh Rina. Sedangkan Rina tersenyum ketika ia mendapatkan kemenangan atas godannya.
"Kok kaku gini Mas. Santai aja pegangnya. Kamu benar-benar gak pernah peluk perempuan ya, selain ibumu?"
"Heee' eeeh," sahut Bima pendek.
"Masa sih? Bohong kamu," pancing Rina.
"Beneran, aku gak pernah."
"Kok bisa sih, hari gini. Cowok lain aja dah pada unjuk kehebatan kalo soal perempuan. Temenmu yang namanya Ferdy juga kayanya suka jelalatan kalau liat perempuan."
"Kalau dia iya, suka gonta-ganti pacar. Kalau Doni dan aku gak jauh beda. Tapi yang paling parah aku, aku gak pernah pacaran," ujar Bima.
"Rada aneh sih sebenarnya. Kamu ganteng, anak konglomerat. Kalau kamu mau perempuan, pastinya tinggal tunjuk aja. Aku yakin banyak perempuan yang ngantri sama kamu, tapi kok ngakunya masih perjaka. Terus sekarang diajak memeluk perempuan malah kebingungan dan ketakutan," tanya Rina.
"He he he, orangtuaku memang mengajarkan seperti itu. Ayahku sangat menghormati ibuku. Meski ayahku kepala keluarga, tapi dia menjadikan ibuku sebagai orang yang paling dihormati di rumah. Dia pernah bilang, perempuan adalah penerus kehidupan. Hanya perempuan yang bisa melahirkan anak, dan anak-anak akan tumbuh menjadi manusia yang melanjutkan kehidupan di alam semesta. Jadi jangan pernah durhaka terhadap perempuan, apalagi perempuan yang melahirkan kamu. Ucapan itu terngiang dalam otakku. Jadi aku tidak mau macem-macem, takut durhaka," jelas Bima.
"Ooooo, hebat ya ayahmu, juga ibumu. Nanti kalau kamu punya anak, akan kamu didik seperti itu juga?"
"Iya, sejauh ini pandangan itu belum terbukti salah. Jadi itu prinsip yang benar," jawab Bima.
Rina tidak berkata apa-apa. Ia hanya diam dan meraih tangan Bima agar memeluknya lebih erat lagi. Dalam hatinya, Rina merasa bersyukur, jika apa yang diutarakan Bima adalah kenyataan tentang pribadi Bima, maka ia mendapatkan suami yang sempurna. Tapi ia ingin mengujinya lagi.
"Kamu benar masih perjaka?"
"Iya, meski aku gak bisa membuktikannya."
"He he. Gak pernah peluk perempuan juga, seperti ini?"
"Ini baru pertama kalinya."
"Kalau ciuman?"
"Belum pernah juga."
"Jadi aku benar-benar dapat yang belum pengalaman dong, masih fresh graduate," goda Rina.
"Iya, kamu maunya yang dah pengalaman ya. Yaah, aku adanya seperti ini. Kamu ajarin aku aja ya," Bima berkata apa adanya.
"Kita belajar bersama aja ya," ujar Rina. Selepas berkata seperti itu, Rina membalik badannya dan mencium Bima. Bima kaget, mendapat serangan mendadak. Dia hanya diam saja. Namun Rina kemudian memeluk Bima dan mencium bibir suaminya. Ciumannya lembut. Lewat bibirnya, Rina ingin mengatakan bahwa ia bersyukur dengan perjalanan hidupnya dalam tiga bulan terakhir ini. Ia menemukan pria yang pantas untuk dicintai dan menjadi tempat sandaran hidupnya hingga akhir hayat. Lewat bibirnya, Rina berjanji akan memberikan seluruh hidupnya pada Bima.
Bima menerima ciuman Rina. Ia tak tahu harus berbuat apa. Instingnya mengatakan kalau ia harus membalas ciuman itu. Maka ia pun melakukannya. Ketika ciuman itu semakin panas, Bima merasakan ada ketegangan dalam tubuhnya. Saat lidah mereka saling bertemu, Bima merasakan sengatan listrik di dalam tubuhnya. Bima terhenyak, takjub dengan apa yang dia rasakan. Ciuman mereka sempat terlepas. Namun ketika mata Bima beradu dengan mata Rina, Bima kembali ingin mencium Rina. Di dalam sorot mata mereka, mulai terpancar benih-benih cinta yang sesungguhnya. Bima mencium Rina dengan lembut, ia ingin mengabarkan bahwa rasa sayangnya bertambah. Ia tak peduli dengan apapun, ia ingin memiliki Rina sepenuhnya.
Sambil berciuman, Bima kemudian memposisikan badannya menindih Rina. Mereka masih berpakaian lengkap, meski itu hanya pakaian tidur. Ciuman Bima semakin membara, tak hanya bibir, ia juga menjelajah wajah Rina yang cantik.
Sedangkan Rina yang pasrah hanya bisa melenguh. Ia menerima apapun perlakuan suaminya. Sampai pada satu titik, Bima memberanikan diri meraba payudara istrinya.
Payudara Rina boleh dibilang tidak besar, tapi tidak kecil juga. Gundukan itu terlihat jelas, meski Rina tidur terlentang. Bima mengusap payudara Rina yang masih terbungkus pakaian. Rina pun melenguh. Hanya saja kemudian Rina berkata," Maaf ya Mas. Kamu mau cari jawabannya sekarang ya? Aku masih haid. Nanti kamu malah dapat jawaban yang tidak valid."
"Eh maaf ya. Aku gak sengaja," ujar Bima gugup dan menghentikan semua aksinya. Bima pun merebahkan diri ke samping Rina. Sejenak ia merasa bersalah. Ia mengira Rina sakit hati atas perlakuannya.
"Bukan masalah sengaja atau tidak sengaja Mas. Aku ini isterimu, boleh kamu gauli, boleh kamu apain aja. Tapi aku sekarang masih haid. Jadi gak bisa," jelas Rina.
"Oooo, aku kira, aku sudah nyakitin kamu. Maaf ya kalau aku nyakitin kamu," ujar Bima.
"Nggak ada yang sakit Mas. Aku gak apa-apa. Kita pelukan aja ya, besok kita berangkat," ujar Rina. Mereka pun tidur berpelukan sampai esok hari.
Setelah sarapan pagi, mereka kemudian bersiap-siap untuk berangkat ke Jogya. Bima sengaja menggunakan mobil cruisernya untuk bulan madunya.
"Dua bulan nih Mas? Kamu yakin?"
"Yakin. Perjalanan ini akan membantu kita memperkuat hubungan. Nanti pasti akan ada konflik, ada pertentangan, tapi ada penyesuaian juga. Tantangan di perjalanan akan menguji kita. Karena kita hanya punya waktu sedikit untuk perkenalan, jadi ini cara yang efektif buat kita."
"Siap Bos. Bismillah ya," ujar Rina.
"Bismillah Na."
Mereka pun berangkat ke Jogya. Mereka sepakat untuk melakukan perjalanan itu dengan santai. Tidak ada target waktu yang harus dikejar. Tujuan mereka bukanlah kota yang akan disinggahi, tujuan mereka adalah perjalanannya itu sendiri. Sepanjang perjalanan, mereka benar-benar bisa merasakan kebersamaan. Bertukar pikiran, bicara tentang hobi, dan lainnya. Bahkan mereka juga membicarakan tentang ide-ide di masa depan.
"Jam berapa Na?"
"Jam setengah tujuh Mas, kenapa kamu? Laper ya atau capek?"
"Di mana kita Na?"
"Mau masuk Salatiga Mas," ujar Rina yang memegang peta Pulau Jawa.
"Kita bablas langsung Jogya aja ya? Kayanya masih bisa sampai sebelum tengah malam."
"Kamu gak capek?"
"Masih kuat kok, dulu aku juga suka begini sama Ferdy dan Doni," ujar Bima.
"Oke, kalau gak kuat bilang ya."
Sebelum tengah malam, mereka benar-benar sampai di Jogya. Mereka pun mendapatkan hotel yang tak kalah mewah dengan hari sebelumnya. Namun kamar mewah itu hanya untuk istirahat saja. Benar-benar istirahat, karena keesokan harinya mereka bangun jam sepuluh siang. Rina tak tega membangunkan suaminya yang sepertinya kelelahan dalam perjalanan kemarin.
"Dah siang ya Na?"
"He he he, bangun juga kamu. Aku kira dah nempel sama kasur?"
"He he he, enak banget tidurnya Na. Puas banget."
"Iya, aku juga. Mungkin karena kita kecapekan dari kemarin ya Mas? Beberapa hari sebelum nikah, kita sudah capek, terus acara nikah, terus perjalanan kemarin. Kayanya plong ya kita bisa istirahat."
"Iya, kayanya hari ini aku mau di hotel aja, tidur-tiduran. Nanti malam aja jalan keliling kota."
"Iya, setuju. Paling aku mau berenang aja nanti. Kamu temenin aku berenang ya," ujar Rina.
"Iya."
Tak ada batas waktu yang mereka tentukan di Kota Gudeg itu. Mereka akan meneruskan perjalanan jika sudah tak ada tujuan di kota itu. Hari itu digunakan untuk istirahat. Sepanjang hari hanya berada di dalam kamar. Televisi dan tidur siang jadi menu utama mereka. Hanya pada malam hari mereka keliling kota sambil mencari makan malam.
Saat kembali ke hotel, mereka istirahat lagi.
Bima tak bosan-bosan memeluk Rina. Bima memeluk isterinya dengan erat setelah memberikan ciuman sebelum tidur. Mereka terbangun usai subuh menjelang pagi.
"Mas bangun, dah subuh. Sholat yuk," Rina membangunkan suaminya.
"Ooh subuh ya," Bima yang masih mengantuk kemudian bergegas bersiap untuk melaksanakan kewajibannya. Meski bukan pribadi yang religius, tapi di awal pernikahannya ini Bima ingin melakukannya dengan kebaikan. Mereka pun sholat berjamaah dengan Bima menjadi imam.
Seusai sholat, Rina beringsut ke depan untuk mencium tangan suaminya. Sebagai bukti kalau ia menghormati Bima sebagai pemimpin keluarga di dunia dan akhirat. Bima yang belum terbiasa pun kaget, tapi ia kemudian menerima salam itu, dan kemudian membalas dengan mencium kening Rina.
"Na, kalau kamu sholat, berarti kamu sudah selesai dong haidnya?" Ujar Bima sebelum melepaskan isterinya menjauh dari dirinya.
"Iya Mas, terus kenapa?"
"Ya gak kenapa-kenapa. Kamu sudah tidak palang merah lagi," Bima tak bisa mengutarakan keinginannya dan hanya memutar kata-katanya.
Seusai sholat, Bima kembali ke tempat tidur. Ia sebenarnya penasaran dengan hasrat seksualnya. Namun ia tak bisa mengungkapkan kepada istrinya. Bima berusaha menenangkan diri sambil rebahan dan menonton siaran televisi pagi hari. Sedangkan Rina membuatkan teh hangat untuk Bima.
"Mas, ini tehnya. Kamu suka teh kan kalo pagi?" Ujar Rina yang kemudian ikut rebahan dengan Bima di kasur.
"Kok diam aja. Gak mau teh ya?" Tanya Rina.
"Bukan, mau kok," ujar Bima yang kembali menonton televisi.
Mereka sempat terdiam lama sambil menyaksikan televisi, hingga Bima akhirnya bersuara.
"Na."
"Iya Mas?"
"Eeee anu. Eee soal haid."
"Iya soal haid, kenapa?" Ujar Rina pura-pura tak mengerti.
"Sudah selesai ya?"
"Iya, kan dah sholat, kemarin juga dah berenang."
"Oooo, kalo gitu bisa dong?"
"Bisa apa Mas?" Ujar Rina terus pura-pura tidak mengerti.
"Ya bisa."
"Iya bisa sholat kan Mas?, tadi udah kok," Rina tetap memainkan kepura-puraannya.
"Selain sholat kan ada ibadah lainnya Na, apalagi pengantin baru," pancing Bima.
"Yang lainnya seperti apa Mas?"
"Ah kamu pura-pura gak tahu ya?"
"Ha ha ha, aku gak tahu Mas. Kan baru kali ini jadi pengantin."
"Uuuuhhhh, ya udah deh kalo gak mau," Bima merasa gagal merayu.
"Ha ha ha ha, jangan ngambek Mas Bimaku. Ya sudah, kamu sudah siap sekarang?"
"Kok malah kamu yang tanya aku, apa aku siap? Dari kemarin juga siap. Biasanya perempuan yang ditanya siap apa nggak."
"Tuh kan sekarang dia yang lupa. Ingat gak kamu pernah tanya ke aku apa aku pernah ngelakuinnya apa belum. Kalau kita melakukannya sekarang, artinya kamu akan tahu jawabannya. Nah sekarang kamu benar-benar siap dengan jawaban yang akan kamu dapatkan?"
"Aku siap. Apapun kondisi kamu, sudah pernah atau belum, tidak akan mempengaruhi komitmen pernikahan kita, tidak akan mempengaruhi cinta yang akan tumbuh di antara kita," ujar Bima tegas.
"Kamu berjanji Mas?"
"Aku berjanji."
"Berjanji akan menerima aku apa adanya?"
"Berjanji."
"Berjanji akan belajar mencintaiku?"
"Berjanji."
"Sungguh?"
"Sungguh."
"Hmmm. Aku percaya sama kamu Mas. Aku juga akan melakukan hal yang sama," ujar Rina sambil mengecup pipi suaminya. Setelah itu Rina beranjak dari kasur dan ke kamar mandi. Bima kebingungan dengan tingkah isterinya. Setelah Bima menyatakan sikapnya, isterinya malah meninggalkannya.
"Mas, nanti jangan ketawain aku ya. Aku cuma ikuti saran teman-teman nih," ujar Rina dari dalam kamar mandi.
"Loh kamu ngapain?"
"Udah pokoknya jangan ketawain, aku malu."
Rina kemudian keluar dari kamar mandi hanya mengenakan lingerie hitam. Ia memadukan lingerie trasparan itu dengan bra hitam dan celana dalam hitam yang hanya menutupi bagial vitalnya saja. Lingerie hitam itu sangat kontras dengan kulitnya yang putih.
Bentuk tubuhnya tercetak jelas. Meski Rina bukan remaja atau perempuan usia 20-an, namun itu tidak mempengaruhi kecantikan alamiahnya. Rina pun sebenarnya adalah perempuan yang pandai menjaga tubuhnya.
Awalnya Rina canggung ketika keluar dari kamar mandi. Namun ketika ia melihat Bima terbengong-bengong, menelanjangi tubuhnya lewat sorotan mata, Rina memiliki kepercayaan diri. Ia yakin bahwa suaminya mengagumi dirinya.
"Kamu cantik sekali..." Ujar Bima ketika Rina rebahan ditempat tidur.
"Aku cantik ya Mas?"
"Sangat cantik. Aku nggak kira kamu ternyata benar-benar cantik," Bima mengucapkan sambil menatap Rina tanpa lepas.
"Kan sudah aku bilang. Jangan hanya sibuk dengan perkiraanmu saja, kadang kala realita berbicara lain, he he he."
"Aku percaya sama kamu. Aku cinta kamu," ujar Bima sambil mengecup kening isterinya.
"Aku juga Mas. Kita akan belajar saling mencintai," balas Rina sambil menatap mata suaminya. Mereka kemudian berciuman mesra. Bima mencium lembut bibir isterinya. Tubuhnya diposisikan di atas tubuh Rina. Seakan ingin melindungi wanita yang akan mendampingi seumur hidupnya.
"Mas, aku yakin sekarang jika kamu akan benar-benar menerima aku apa adanya. Miliki aku Mas, miliki hati dan tubuhku Mas. Ini kupersembahkan untukmu. Sebenarnya aku sama sepertimu, aku juga belum pernah melakukannya," ujar Rina lembut.
"Kamu belum pernah? Masih perawan?" Tanya Bima ingin memastikan.
"Iya, seluruh tubuh dan hatiku hanya untuk suamiku, dan itu adalah kamu," ujar Rina.
Bima sangat senang mendengar jawaban Rina. Memang bukan sesuatu yang penting lagi untuk dirinya, tapi hal itu membuat dia semakin memiliki perasaan yang dalam untuk isterinya. Dalam hati ia berjanji tidak akan menyia-nyiakan Rina.
Sepanjang hidupnya, momen seperti ini adalah salah satu yang ditunggunya. Ia mengakui kalau urusan tempat tidur sebenarnya hanya untuk menuntaskan rasa penasarannya saja. Seperti bunga-bunga dalam perjalanan hidupnya. Ia sangat bersyukur, penantiannya, kesabarannya, dan keteguhan hati, memegang nilai yang ia anggap benar ternyata berbuah manis.
Selama ini ia hanya berharap bisa mendapatkan pendamping yang tak hanya bisa menjadi teman hidup, tapi juga seseorang yang menyempurnakan perjalanan hidupnya. Dan kini ia memiliki Rina. Perempuan yang ideal untuk dirinya. Tak hanya pintar, Rina juga dewasa dan cantik. Rina adalah tulang rusuknya yang selama ini dicari-cari. Bima pun mencium bibir Rina, mengatakan hal itu lewat bibirnya.
"Mas pelan-pelan ya. Aku tetap ketakutan," ujar Rina.
"Iya, kamu kasih tahu kalau ada apa-apa ya. Jangan biarkan aku sibuk dengan perkiraan-perkiraanku saja," ujar Bima.
"Iya kita belajar bersama ya." Rina kemudian memasrahkan dirinya. Ia merilekskan seluruh tubuhnya, memberi kesempatan kepada Bima untuk menuruti insting laki-lakinya.
Rina mendapatkan ciuman lembut di sekitar wajahnya. Seluruh badannya terasa bergetar ketika mendapatkan rangsangan-rangsangan yang belum pernah didapatkan sebelumnya. Ciuman di kuping saja sudah membuat Rina melenguh. Ada rasa yang aneh ketika bibir Bima menyentuh kupingnya. Bulu kuduknya berdiri, tapi ia juga merasakan geli. "Aaaahhhh..."
Bima kaget, takut kalau ia menyakiti isterinya, ia menghentikan aksinya. "Kenapa sayang?"
"Gak apa Mas terusin aja," ujar Rina.
Bima kembali meneruskan aksinya. Kini ia ingin mempraktekkan pengetahuan yang sebelumnya hanya ia dengar lewat cerita atau tontonan vulgar saja. Ia ingin mendapatkan pengalamannya sendiri.
Ciuman Bima kini mengarah ke leher. Leher Rina yang jenjang ditelusuri dengan perlahan. Bima seakan tak percaya dengan momen ini, seperti mimpi yang jadi kenyataan. Bahkan Bima masih tak percaya kalau ia menikah, memiliki isteri. Sebelumnya hal itu hanya berbentuk harapan dan doa saja.