Perlahan demi perlahan ia telusuri leher isterinya. Bima sangat menikmati leher Rina yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Ia tak hanya mencium, tapi juga menjilatnya. Rina melenguh lagi. "Uuuhhhh....Mass...."
Bima yang mulai paham dengan arti lenguhan itu meneruskan aksinya. Lidahnya meluncur ke bagian bawah menuju payudara Rina. Ia memperhatikan bentuk payudara Rina yang masih terbungkus bra dan lingerie hitam. Sungguh pemandangan yang selama ini hanya menghiasai mimpinya saja.
Lidah Bima terbentur dengan tepi lingerie Rina saat ia ingin mendaki bukit kembar isterinya. Rina paham dengan keinginan suaminya. Ia pun memberi isyarat kepada Bima ketika ia akan membuka lingerienya. Bima ikut membantu meloloskan pakaian yang membuat tubuh Rina terlihat sangat sensual.
"Kamu jangan tertawakan aku ya. Aku malu," ujar Rina.
"Kenapa malu? Aku tidak akan menertawakan isteriku sendiri," balas Bima.
Sungguh pemandangan yang luar biasa ketika lingerie Rina terlepas dari tubuhnya. Bra hitam dan celana dalam hitam sangat kontras dengan kulit Rina yang putih. Bima sampai menelan ludah ketika melihat tubuh isterinya yang hanya menyisakan bra dan celana dalam.
"Ini sekalian juga Mas?" Tanya Rina sambil memenang branya.
"Eee, boleh.." Bima hanya berharap.
"Tapi aku malu Maasss," ujarnya manja.
"Sayang. Aku mau terus terang sama kamu. Sebulan ini, aku suka ngebayangin tubuh kamu kalau malam. Kadang-kadang aku terangsang kalau membayangkannya. Maaf ya, tapi aku memang menginginkan tubuh kamu. Hatimu juga, semuanya. Jadi jangan malu, aku gak akan merendahkan kamu. Justru karena kamu hanya memberikannya untuk aku, kamu sangat berarti buatku. Kamu akan aku jaga sebaik-baiknya," ujar Bima.
"He he, ya udah bantuin buka," Rina kembali manja sambil membalik tubuhnya membelakangi Bima. Rina minta tolong untuk membuka kaitan branya. Bima yang baru pertama kami membantu membuka bra perempuan terlihat kesulitan, namun akhirnya berhasil juga.
"Celananya juga Mas?"
"Iya, sekalian aja sayang," Bima sudah tak bisa menyembunyikan birahinya.
Rina awalnya ragu, namun ia akhirnya meloloskan satu-satunya pakaian yang tersisa di tubuhnya. Rina sangat malu. Itulah pertama kalinya, seorang laki-laki melihat tubuh telanjangnya. Satu tangan Rina menutupi payudaranya, sedangkan satu lagi menutup selangkangannya. Rina kemudian berbaring terlentang.
Rina hanya bisa senyam-senyum saja. Ia benar-benar malu. Tapi bagi Bima, itu adalah pemandangan paling indah sepanjang hidupnya. Untuk kali pertamanya ia benar-benar melihat tubuh perempuan telanjang. Tak hanya itu, tubuh itu adalah isterinya yang mulai dicintainya.
"Kok ditutup sayang, buka dong. Aku mau lihat," rayu Bima.
"Malu mas..." Ujar Rina. Namun Rina kemudian mengalah dan melepaskan tangan yang menutup bagian paling privasi dari tubuhnya. Rina kini menutup mukanya. Ia benar-benar malu, menyadari Bima memandangi tubuhnya.
Bima tak bisa berkata-kata. Ia benar-benar takjub dengan tubuh Rina. Kulitnya yang putih mulus, payudaranya yang menantang, juga kemaluannya yang ditumbuhi rambu-rambut halus. Bima tak bisa lagi menahan birahinya. Secepat kilat, ia langsung melepaskan seluruh pakaian di tubuhnya saat Rina masih menutup wajahnya.
Kini mereka benar-benar tanpa busana. Bima menempatkan tubuhnya di atas tubuh Rina. Kaki Rina yang rapat, direnggangkan dengan kaki Bima. Bima juga mendekatkan wajahnya ke wajah Rina yang masih tertutup kedua tangannya.
"Sayang lepas tangannya, lihat aku. Nggak usah malu, aku juga sudah gak pakai baju," ujar Bima.
Setelah Rina melepas tangannya, Bima menatap lekat mata Rina. Ia ingin mengatakan kalau ia tak mau kehilangan isterinya. "Sayang, meski kita belum terbukti benar-benar saling mencintai, tapi aku berjanji tak akan melepaskan kamu. Kamu adalah milik aku, dan aku hanya untuk kamu. Ini adalah awal perjalanan kita yang panjang. Kita akan melewati suka-duka bersama-sama," ujar Bima.
"Iya Mas, aku janji. Miliki aku Mas. Ini hanya untukmu Mas," ujar Rina.
Rina pasrah. Ia benar-benar siap merelakan keperawananya untuk Bima. Tubuhnya secara perlahan berangsur rileks. Rangsangan semakin menjadi saat payudaranya tersentuh lidah Bima. "Massss..."
Bima gemas dengan payudara isterinya, putingnya yang mendongak menjadi sasaran lidahnya. Beberapa kali, Rina tak kuasa menahan rangsangan, hingga tubuhnya harus melengkung.
Saat itu, kedua kaki Rina sudah mengangkang, dan membuat penis Bima yang tegang bersentuhan dengan tubuhnya. Rina menarik wajah Bima, ia mendaratkan bibirnya ke bibir Bima. Mereka berpagutan. Sementara penis Bima menggesek-gesek di luar vagina Rina.
"Mas, aku mau kamu..."
"Iya sayang. Kalo sakit bilang ya," ujar Bima.
"Pelan-pelan ya Mas."
Bima berusaha memasukkan penisnya ke vagina Rina. Namun ia selalu gagal. Dalam hatinya, ia bertanya apakah seperti ini jika masih perawan. Bima memang tak punya pengalaman apa-apa. Bahkan ia sendiri tak tahu pasti di bagian sebelah mana lubang vagina isterinya.
"Susah sayang," ujar Bima.
"Aku bantu Mas," ujar Rina. Rina ingin menunjukkan letak lubang vaginanya. Ia mengarahkan penis Bima agar mudah mendapatkan posisi yang tepat, namun saat tangannya memegang penis Bima, matanya mendelik.
"Sebesar ini Mas? Besar ya. Pelan-pelan ya Mas.."
Vagina Rina sebenarnya sudah penuh dengan cairan pelumas, sehingga penis Bima tak akan kesulitan menerobos ke dalam. Namun Bima tak mau memaksakan kehendaknya. Ketika penisnya terasa sudah tepat pada mulut vagina Rina, dia hanya menekan sedikit saja.
"Hhheeeggggghhhhh...." Rina menahan nafas ketika mendapat tekanan pertama dari penis Bima. Ia berusaha menahan nyeri.
"Sakit ya yang?"
"Iya, tapi nggak apa-apa."
Bima tahu bahwa isterinya masih gugup, maka ia tidak meneruskan tekanan penisnya. Berdasarkan teori yang dia tahu, ia mencoba memberi rangsangan pada bagian tubuh yang lain. Payudara menjadi alternatif Bima. Lidahnya kembali memberikan rangsangan yang intensif.
Cukup lama Bima melakukan rangsangan di payudara Rina. Ia mencoba sabar, hingga Rina benar-benar merasa nyaman dengan benda asing yang memasuki vaginanya. Bima meneruskan hujaman penisnya setelah Rina benar-benar terangsang dengan menggoyang pinggulnya.
"Hheegghhh.."
Bima langsung mencium bibir Rina. Mereka berpagutan lagi. Seperti sebelumnya, Bima berusaha membantu isterinya menahan kesakitan. Rangsangan demi rangsangan di bagian tubuh lain menjadi cara Bima untuk mengalihkan kesakitan isterinya.
"Maaassss, terusin aja," pinta Rina.
"Tahan ya," Bima memberi aba-aba.
Sekali tekan, penis Bima amblas ke dalam vagina Rina. "Hhheeggghhhh. Aaaauuuu Mass..." Pekik Rina tertahan.
"Maaaf sayang. Sakit ya.."
"Iya perih."
Wajah Rina menampakkan rasa sakit. Ia tak bisa memungkiri, benda keras telah mengoyak vaginanya. Terasa perih sekali, tapi ia bisa menahan. Rina beranggapan setiap perempuan pasti merasakan hal ini. Rasa perih tak akan bisa dihindari, termasuk nyeri saat datang haid.
Bima tahu, isterinya sedang menahan kesakitan, maka ia hanya mendiamkan penisnya di dalam vagina Rina. Ia terus merangsang Rina dengan rabaan di payudara Rina. Perasaan Bima berkecamuk. Satu sisi ia penasaran, satu sisi merasa tidak tega, sedangkan syaraf-syaratnya mengatakan bahwa birahinya benar-benar mendapatkan saluran yang selama ini dicari-cari. Ia menikmati kehangatan di penisnya ketika tertanam di dalam vagina Rina.
"Mas pelan-pelan ya," pinta Rina.
"Iya sayang maaf ya."
"Aku sayang kamu Mas."
"Aku juga sayang kamu Na."
Mereka kembali berciuman. Tangan Bima terus meraba payudara isterinya. Sampai ia merasa sudah cukup, perlahan-lahan ia menarik penisnya.
"Aaahhhhh..." Lenguh Wita.
Secara perlahan pula, Bima kembali menekan penisnya.
"Heeggghhh." Terasa, bahwa pada hujaman kedua, vagina Rina terasa lebih licin. Mungkin karena cairan pelumasnya sudah benar-benar bercampur di kelamin mereka. Bima mengulang gerakan maju mundur penisnya secara perlahan. Ia tak mau isterinya seperti tersiksa.
Butuh beberapa waktu untuk menunggu lenguhan Rina berubah dari kesakitan menjadi kenikmatan.
"Ah, ahh, ahhh." Kali ini lenguhan Rina tak lagi mengesankan kesakitan. Bima coba mempercepat hujamannya. Efeknya, lenguhan Rina semakin keras. "Maaaassssss.... Oohh...oohhh...oohh..."
Tiba-tiba saja Bima merasakan denyutan keras di di urat bahwa penisnya. Ia sebentar lagi akan mencapai orgasme. Maka instingnya mengarahkan Bima untuk mempercepat gerakannya. Puncaknya adalah ketika Bima menghujamkan penisnya dalam-dalam ke vagina Rina.
"Oohhhh....oohhh....oooohhhhh.... Hhhhhhh...."
Sperma Bima muncrat di dalam vagina Rina. Badan Bima terasa sangat ringan. Ia merasakan ketegangan di seluruh tubuhnya tiba-tiba hilang. Bahkan kekuatan untuk menopang tubuhnya juga terasa lenyap. Ia ambruk di atas tubuh Rina. Kini seluruh perasaan damai menyertai hati dan tubuhnya. Rasa cinta kepasa isterinya semakin dalam. Ia mengecup kening Rina dengan mesra. "Aku sayang kamu Na."
Rina membalas kecupan itu dengan rengkuhan tangannya di punggung Bima. Ia memeluk Bima dengan erat. Ia tak mau kehilangan suaminya. "Aku juga Mas. Kita akan terus bersama sampai maut memisahkan kita Mas."
"Iya sayang. Sampai kakek nenek."
Posisi mereka tidak berubah hingga beberapa menit. Namun Bima sadar bahwa isterinya tertindih tubuhnya, hingga ia bergeser ke samping.
"Ternyata seperti itu ya Mas. Perih," ujar Rina tiba-tiba. "Eh kamu kan perlu bukti, coba kita lihat ada darah gak," tambah Rina.
Bima pun diminta untuk melihat vagina Rina. Ternyata bekas darah tak hanya tersisa di vagina Rina, tapi juga dipenis Bima dan menetes di sprei kasur.
"Tuh kan aku masih perawan. Sakit Mas," ujar Rina.
"Iya, maaf ya sayang, jadi kesakitan."
"Nggak apa-apa Mas, aku malah bahagia, bisa memberikan untuk kamu."
"Eh, spreinya aku beli aja ah. Jangan dicuci. Buat kenang-kenangan kita. Mungkin suatu saat, aku dapat godaan dari perempuan lain. Kamu bisa kasih lihat sprei ini ke aku. Biar ingat, apa saja yang sudah kita janjikan di malam pertama kita. Eh bukan malam ya, pagi pertama kita, he he he...," ujar Bima.
"Ada-ada aja, tapi ide bagus Mas. Cuma untuk kita aja ya. Kenangan untuk kita," Rina setuju dengan ide suaminya.
Hari itu mereka kembali hanya ingin bermalas-malan di dalam kamar saja. Setelah sarapan, Rina melipat sprei kenangan mereka dan menyimpannya. Bima pun bernegosiasi dengan petugas housekeeper untuk mendapatkan sprei hotel itu. Mereka hanya keluar hotel untuk berjalan-jalan di pusat kota.
Kali ini keduanya sudah tidak canggung lagi untuk bergandengan tangan dan berangkulan di depan umum. Bahkan Rina selalu saja ingin dimanja oleh Bima. Mereka menjadi pasangan bahagia yang sebenar-benarnya.
"Mas, tadi jalan aku kaya orang ngegang gak?"
"Ngegang?"
"Iya, sedikit mengangkang."
"Ooo, nggak emang kenapa?"
"Masih terasa, kaya masih ada yang ngeganjel. Perihnya juga masih ada nih. Kayanya lecet deh, nanti aku lihat kalo dah di hotel."
"Aduh maaf ya sayang, jadi kesakitan gitu."
"Iya, kamu sih, segede gitu dimasukin. Kalo aku tahu dari awal pasti aku tolak. Pas aku pegang, aku jadi sangsi, apa muat? Ternyata beneran, sakit banget."
"Iya-iya, maaf ya. Sekali lagi maaf," Bima sampai merasa tidak enak.
"Dari tadi maaf mulu. Belum lebaran tahu. Aku perih nih, susah jalan," Rina tak malu-malu untuk manja.
"Terus gimana, mau digendong?"
"Emang kamu mau gendong aku?"
"Ya maulah. Tapi gendong depan menghadap belakang ya."
"Ha ha ha, serius nih. Aku sakit jalannya."
"Iya aku gendong, tapi kalo capek ngaso ya. Dari sini ke hotel gak sampai 500 meter kok."
"Ntar orang-orang lihatin kita Mas."
"Cuek aja, ntar kalo ada yang tanya, aku bilang penganten baru, lagi gak bisa jalan."
"Iiiiihhh malu tahu."
"Mau gak?"
"Iya deh. Tapi gak usah ngomong-ngomong penganten baru dong."
"Iya, sini aku gendong."
Bima dan Rina menikmati masa-masa bulan madu mereka. Perjalanan hidup mereka seakan seperti mimpi saja. Mereka sangat menyadari hal itu sebagai anugerah yang harus disyukuri. Sebelum ini, perjalanan jodoh mereka seperti terombang-ambing. Keduanya bahkan sempat pasrah dengan takdir jodoh mereka. Bima dan Rina tahu betul akan masa-masa seperti itu. Maka ketika semua doa mereka terjawab, tak ada keinginan lain kecuali mengucap syukur.
Satu minggu mereka berada di Yogyakarta. Berbagai tempat dikunjungi, mulai dari Borobudur, Prambanan, hingga pelosok-pelosok yang desa yang sebenarnya tak ada tempat wisata. Tapi perjalanan ke pelosok-pelosok itulah yang membuat Bima dan Rina menemukan pengalaman baru. Ketika tersesat, mereka harus mampu menemukan jalan pulang kembali. Di sanalah kebersamaan mereka diuji.
"Kamu kok gak minta lagi Mas? Hebat ya," ujar Rina dalam perjalanan ke Bali.
"Minta apa?"
"Minta itu..."
"Itu apa?" Bima penasaran.
"Itu loh, sprei..."
"Oooo sprei kenangan, he he he.... Mau sih, tapi aku gak tega kalau kamu kesakitan begitu. Aku bisa tahan kok. Nanti aja kalo kamu dah hilang sakitnya," ujar Bima.
"Aku kira, laki-laki pikirannya cuma soal itu doang, gak juga ya?"
"Ya kalau mau terus terang sebenarnya aku memang ingin terus, tapi ya itu tadi, aku masih bisa tahan, gak tega kalau kamu malah kesakitan. Seks itu, menurutku, adalah sesuatu yang indah, wujud dari cinta. Makanya aku kira ada baiknya kalau aku berusaha menguatkan cinta kita lebih dalam lagi," Bima kali ini coba berfilosofi.
"Memangnya kurang dalam Mas? Aku kira cukup kok, buat permulaan," ujar Wita. "Sampai berdarah-darah lagi," sambungnya sambil bercanda.
"Ha ha ha, kasihan ya kamu," ujar Bima.
"He he he."
Perjalanan dari Yogya ke Banyuwangi ditempuh dalam 12 jam melalui jalur selatan. Mereka benar-benar menikmati perjalanan. Tak hanya pemandangan, tapi juga kebersamaan. Bima dan Rina tahu, suatu saat nanti, perjalanan ini akan jadi kenangan yang tak terlupakan. Bahkan mungkin kelak punya anak, mereka sudah berencana melakukan perjalanan itu lagi bersama anak mereka.
"Mas, nanti kalau sudah masuk Bali, biar aku saja yang bawa mobil, kamu bisa istirahat dulu. Gak jauh kan dari Gilimanuk ke Denpasar," ujar Rina ketika mobil mereka sudah naik di atas ferry menyebrang Selat Bali.
"Nggak, paling lama empat jam. Jadi perkiraannya bisa sampai Denpasar tengah malam. Bisa langsung check in di hotel," ujar Bima.
Satu jam mereka terombang ambing bersama ferry yang mengangkut mereka. Sampai akhirnya tiba di Gilimanuk. Setelah ferry benar-benar menyandar di pelabuhan, mereka pun meneruskan perjalanan. Kali ini Rina yang mengemudikan mobil. Bima hanya memberi instruksi seputar jalan, dan ia meminta izin untuk tidur sebentar.
Tak seperti jalanan di Jawa, di Bali jalanan cenderung lengang. Rina sebenarnya agak khawatir dengan kondisi jalan yang gelap dan kiri kanannya masih hutan belantara. Seumur-umur ia tak pernah mengemudikan mobil di luar kota, dengan kondisi jalanan yang gelap. Apalagi teman seperjalanannya sedang tidur. Tapi ia berusaha menenangkan diri, bahwa dia berada di Bali, di mana mayoritas penduduknya relatif lebih ramah di banding warga Jakarta.
Tiba-tiba saja Rina melintas wilayah yang sedang hujan deras, mau tidak mau ia mengurangi laju kendaraannya. Jarak pandangnya mulai terbatas. Ia berusaha menghibur diri dengan lagu-lagu kesayangannya. Sampai akhirnya Rina terpaksa membangunkan suaminya. Ia menyadari kalau sudah tersesat. Ia keluar dari jalan utama yang menghubungkan Gilimanuk-Denpasar. Jalanan yang dilewatinya tak lagi beraspal mulus, tapi berupa batu-batuan yang semakin lama semakin menyempit. Di kanan-kiri mereka masih hutan yang gelap, hanya lampu mobil mereka yang memberikan cahaya di tengah hutan yang diguyur hujan deras.
"Maaasss bangun Mas. Kayaknya aku tersesat nih. Gak tahu sampai di mana," Rina panik.
"Hmm. Tersesat ya. Coba aku lihat," Bima berusaha tenang dan mengamati keadaan. Ia tak tahu apa-apa, tapi coba mencocokan kondisi sekitarnya dengan petunjuk di peta. Bima menduga kalau mereka masih berada di kawasan Bali bagian barat.
"Hhmm putar balik aja kalo gitu," ujar Bima tenang. Namun sampai sepuluh menit Rina mencari celah agar mobilnya bisa putar balik, mereka malah terus masuk lebih jauh. Mereka melihat cahaya pelita di kejauhan, pertanda ada kehidupan manusia di sekitar wilayah itu. Dan tak beberapa lama, mereka menemukan jalan yang lebih lapang untuk memutar balik kendaraan mereka.
Rina langsung memutuskan untuk memutar kendaraannya dan kembali ke jalan utama. Hanya saja sebelum mereka benar-benar bisa memutar, dua ban belakang mereka terperosok ke tanah yang lembek. Semakin menekan pedal gas, malah membuat mobil mereka terjebak. Ban mereka terperangkap lumpur.