Hanya Satu Kata: Lawan!

1.1K 17 0
                                    

Sastra tidak pernah lepas dari kehidupan manusia. Ia menyuarakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar manusia dengan tenang, sedikit menggelegar, bahkan garang. Tentunya, dari sekian metode penyampaian sebuah karya sastra kepada khalayak, segala risiko sudah siap menghadang.

Jika dicermati, salah satu dari beberapa persoalan yang kerap menjadi pemantik lahirnya karya sastra adalah persoalan politik. Politik dengan mudah dapat mengubah perasaan seorang rakyat jelata seperti raja. Ia juga dapat menyulap ajaran-ajaran agama yang luhur menjadi tak ubahnya barang dagangan. Bahkan, kita mungkin sudah tidak asing lagi dengan adagium “politik itu kotor.”

Dalam perjalanan politik bangsa ini, Orde Baru telah menerakan kenangan sejarah yang hitam putih di segala lini kehidupan. Dengan alasan menjaga “stabilitas keamanan nasional”, tangan besi Orde Baru terlalu berlebihan membungkam mulut rakyat. Pada kondisi semacam inilah biasanya suara hati nurani seseorang sulit untuk berbohong. Apalagi jika yang tampak di matanya adalah keberingasan penguasa yang ditumpahkan sewenang-wenang kepada rakyat jelata.

Wiji Thukul adalah salah seorang dari sekian ratus juta warga Indonesia yang memiliki kepekaan sosial yang sangat tinggi. Hati nuraninya terketuk ketika melihat kesewenang-wenangan sistem politik Orde Baru. Rakyat dan segala kekayaan sumber daya alam Indonesia bagi orde ini tak lebih dari sapi perah. Parahnya, para penguasa itu tidak hanya mengeksploitasi, tetapi juga berupaya melakukan pembodohan-pembodohan publik melalui jalur-jalur pendidikan, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Maka, yang tampak adalah rakyat makin sengsara, sebagaimana digambarkan dalam puisi di bawah ini:

(“Bunga dan Tembok”)

………….

seumpama bunga

kami adalah bunga yang

dirontokkan di bumi kami sendiri

Bunga adalah lambang keceriaan. Bunga juga dapat diartikan sebagai harapan. Tentu sangat ironis apabila keceriaan atau harapan harus pupus bukan karena seleksi alam, melainkan karena ada unsur paksaan manusia.

Sosok dan pemikiran Wiji Thukul pada waktu itu mungkin terlalu berani. Kita dapat menyimak dari gagasan-gagasannya, misalnya, sebagaimana tertuang dalam kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru ini. Lewat sastra, Wiji Thukul “menyerang” berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru beserta aparaturnya. Dia juga membakar semangat rakyat marjinal agar memperjuangkan hak-hak mereka. Tentu saja, suara-suara Wiji Thukul membuat merah telinga penguasa dan oleh karena itulah dia harus membayar mahal atas keteguhannya memegang prinsip.

Meski demikian, rupanya gagasan-gagasan Wiji Thukul masih tetap menarik untuk direnungkan. Beberapa sajaknya menyiratkan optimisme yang kuat.

(“Sajak”)

sajakku adalah kata-kata

yang mula-mula menyumpal di tenggorokan

lalu dilahirkan ketika kuucapkan

sajakku adalah kata-kata

yang mula-mula bergulung-gulung

dalam perasaan

lalu lahirlah ketika kuucapkan

sajakku

adalah kebisuan

yang sudah kuhancurkan

sehingga aku bisa mengucapkan

dan engkau mendengarkan

sajakku melawan kebisuan

Dalam sajak di atas, ada gagasan dari Wiji Thukul yang bisa dibedah, yaitu bahwa sebelum seseorang melakukan perlawanan terhadap orang lain atau situasi di luar dirinya, maka ia haruslah melawan dirinya sendiri. Kalimat sajakku/adalah kebisuan/yang sudah kuhancurkan/ adalah perwujudan dari tindakan mengeliminasi kelemahan diri agar tidak mengalahkan sifat optimis.

AKU INGIN JADI PELURU// WIJI THUKULTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang