Sastra tidak pernah lepas dari kehidupan manusia. Ia menyuarakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar manusia dengan tenang, sedikit menggelegar, bahkan garang. Tentunya, dari sekian metode penyampaian sebuah karya sastra kepada khalayak, segala risiko sudah siap menghadang.
Jika dicermati, salah satu dari beberapa persoalan yang kerap menjadi pemantik lahirnya karya sastra adalah persoalan politik. Politik dengan mudah dapat mengubah perasaan seorang rakyat jelata seperti raja. Ia juga dapat menyulap ajaran-ajaran agama yang luhur menjadi tak ubahnya barang dagangan. Bahkan, kita mungkin sudah tidak asing lagi dengan adagium “politik itu kotor.”
Dalam perjalanan politik bangsa ini, Orde Baru telah menerakan kenangan sejarah yang hitam putih di segala lini kehidupan. Dengan alasan menjaga “stabilitas keamanan nasional”, tangan besi Orde Baru terlalu berlebihan membungkam mulut rakyat. Pada kondisi semacam inilah biasanya suara hati nurani seseorang sulit untuk berbohong. Apalagi jika yang tampak di matanya adalah keberingasan penguasa yang ditumpahkan sewenang-wenang kepada rakyat jelata.
Wiji Thukul adalah salah seorang dari sekian ratus juta warga Indonesia yang memiliki kepekaan sosial yang sangat tinggi. Hati nuraninya terketuk ketika melihat kesewenang-wenangan sistem politik Orde Baru. Rakyat dan segala kekayaan sumber daya alam Indonesia bagi orde ini tak lebih dari sapi perah. Parahnya, para penguasa itu tidak hanya mengeksploitasi, tetapi juga berupaya melakukan pembodohan-pembodohan publik melalui jalur-jalur pendidikan, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Maka, yang tampak adalah rakyat makin sengsara, sebagaimana digambarkan dalam puisi di bawah ini:
(“Bunga dan Tembok”)
………….
seumpama bunga
kami adalah bunga yang
dirontokkan di bumi kami sendiri
Bunga adalah lambang keceriaan. Bunga juga dapat diartikan sebagai harapan. Tentu sangat ironis apabila keceriaan atau harapan harus pupus bukan karena seleksi alam, melainkan karena ada unsur paksaan manusia.
Sosok dan pemikiran Wiji Thukul pada waktu itu mungkin terlalu berani. Kita dapat menyimak dari gagasan-gagasannya, misalnya, sebagaimana tertuang dalam kumpulan puisi Aku Ingin Jadi Peluru ini. Lewat sastra, Wiji Thukul “menyerang” berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru beserta aparaturnya. Dia juga membakar semangat rakyat marjinal agar memperjuangkan hak-hak mereka. Tentu saja, suara-suara Wiji Thukul membuat merah telinga penguasa dan oleh karena itulah dia harus membayar mahal atas keteguhannya memegang prinsip.
Meski demikian, rupanya gagasan-gagasan Wiji Thukul masih tetap menarik untuk direnungkan. Beberapa sajaknya menyiratkan optimisme yang kuat.
(“Sajak”)
sajakku adalah kata-kata
yang mula-mula menyumpal di tenggorokan
lalu dilahirkan ketika kuucapkan
sajakku adalah kata-kata
yang mula-mula bergulung-gulung
dalam perasaan
lalu lahirlah ketika kuucapkan
sajakku
adalah kebisuan
yang sudah kuhancurkan
sehingga aku bisa mengucapkan
dan engkau mendengarkan
sajakku melawan kebisuan
Dalam sajak di atas, ada gagasan dari Wiji Thukul yang bisa dibedah, yaitu bahwa sebelum seseorang melakukan perlawanan terhadap orang lain atau situasi di luar dirinya, maka ia haruslah melawan dirinya sendiri. Kalimat sajakku/adalah kebisuan/yang sudah kuhancurkan/ adalah perwujudan dari tindakan mengeliminasi kelemahan diri agar tidak mengalahkan sifat optimis.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU INGIN JADI PELURU// WIJI THUKUL
RandomAWAL: Untuk memperingati hari kelahiran Wiji Thukul pada 26 Agustus dan penghormatan atas tubuh yang dihilangkan kekuasaan, saya menurunkan review salah satu karya Wiji Thukul yang cukup terkenal. Karya ini dipilih oleh Tim Sastra Indonesia Buku seb...