Lilin terduduk bingung. Surat keterangan bahwa dia mendapat beasiswa penuh dari sekolah elit membuatnya tak habis pikir. Dia membolak-balik kertas itu tapi tak menemukan apapun.
“Kamu pernah daftar beasiswa sana kali.” kata Ibu mencari alasan yang mungkin. Tapi Lilin menggeleng. Setahunya dia tidak pernah mendaftar beasiswa di sekolah manapun. Jangankan mendaftar, tahu cara mendaftarnya saja dia tidak. Jadi … apa surat ini salah alamat?
Lilin berusaha menkonfirmasikannya ke pihak sekolah dan hebatnya, pihak sekolah sudah tahu dan penegasan bahwa Lilin memperoleh beasiswa sekolah elit itupun diberikan. Lilin menghela nafas tak tenang. Perasaannya tak enak. Tidak ada hujan kalau tidak ada angin. Pasti ada apa-apanya.
“Sudahlah, terima saja. Tak ada salahnya toh.” Kata Ibu. Lilin mengangguk. Dengan wajah murung, dia akhirnya menerima nasibnya yang mungkin sedang mujur.
Lilin melipat kertas itu lagi dan dimasukkannya ke dalam sebuah amplop warna coklat. Dia lalu memasukkannya ketas. Dia memang tidak tahu apa yang terjadi. Tapi, apapun itu dia bersyukur saja. Masuk ke dalam SMA publishing adalah impian semua siswa di kelasnya. Bahkan Aliya, parallel satu yang berniat masuk sana tidak mendapat beasiswa sama sekali. Tapi kenapa dirinya yang bukan siapa-siapa bisa?
Sebuah tiupan angin mengenai kepalanya dan menerbangkan rambutnya sedikit. Lilin tersenyum, lalu menatap ke luar jendela. “Aku tahu,” batinnya seperti sedang bicara pada Bayu. Dia pasti akan masuk SMA itu. Karena keberuntungan tak akan datang untuk kedua kali!
---
Sekolah itu benar-benar mewah. Gedung tiga lantai dengan lapangan yang ukurannya bisa menandingi luas SMPnya. Untungnya, SMA ini satu-satunya yang meniadakan MOS. Sehingga, hari pertama masuk langsung mulai KBM. Menurut Lilin, itu ide paling jenius dari sekolah manapun. Memnag waktu 3 hari lebih efektif untuk mulai pengenalan dari pada MOS. Bahkan tiap kelas sudah tersedia TV LCD serta fasilitas lain yang canggih. Jika dia tak mendapatkan beasiswa, tak mungkin dia sanggup membayar uang SPP perbulannya.
“Lin,”
Lilin menoleh waktu ada yang memanggilnya. Namun saat melihat orang itu, dahi Lilin mengerut. Ardi? “Hai,”
“Akhirnya gue nemu lo juga di sini. Gue udah cari-cari lo kemana aja.” katanya. Lilin menghentikan langkah. Dia menoleh dengan dahi berkerut.
“Lo tahu dari manague sekolah di sini?” tanyanya. Setahu dia, Lilin sangat menjaga kerahasiaannya bahwa di mendapat beasiswa di sekolah ini. Bisa gempar anak-anak sesekolah kalau informasi ini tersebar.
Ardi menggaruk belakang kepalanya salah tingkah. Lilin melotot. Jangan bilang kalau cowok ini yang mendaftarkan dirinya!
“Gue … gue …”
“Lo ndaftarin gue?” tanyanya.
“Bukan.” jawab Ardi ragu. Namun Lilin sudah melihat wajah yang bingung serta tatapan mata yang salah tingkah itu. Tanpa dijawabpun Lilin sudah dapat menyimpulkannya!
“Kenapa sih lo ngelakuin itu?” Tanya Lilin tak habis pikir.
“Ngelakuin apa?” tanya Ardi bingung.
“Kenapa lo kepingin gue masuk sekolah yang yang sama kayak lo!” tanyanya.
“Oh,” Ardi mengerjap. Lalu menatap Lilin tenang. “Gue pikir lo tahu jawabannya. Sebenernya, pertanyaan begitu nggak perlu lo tanyain lagi, kan?”
Lilin terdiam. Dia bahkan masih diam waktu Ardi berbalik lalu pergi meninggalkannya untuk melanjutkan perjalanan.
Lilin menggigit bibir. Dilihatnya punggung cowok itu dengan pandangan resah. Kenapa Ardi harus melakukan ini? apakah cowok itu tidak tahu bagaimana beban Lilin karena terus menerus menerima kebaikannya padahal Lilin tak bisa melakukan apa-apa sebagai balasannya. Bahkan dia tak bisa memberikan harapan. Karena dia sendiri tahu, masih sulit baginya untuk membuka hati. Padahal itulah yang selalu Ardi minta sebagai imbalan.
