5

1.4K 147 2
                                    

Ku lihat Yunho harabojie menelan susah payah ludahnya ketika udara kering namun dingin menyentuh kulit tipisnya yang sudah tidak lagi segar. Ku hentikan kursi roda yang ku dorong berhenti tepat di bawah pohon tua tempat rumah pohon yang lapuk dan nyaris ambruk itu, ku biarkan mata lelah Yunho harabojie mengamati sendu penuh haru bangunan yang bahkan lebih tua daripada usiaku. Ku lihat mata lelah itu berkaca-kaca, ada lelehan air mata yang turun membasahi keriput wajahnya, lelehan yang langsung dihapus oleh Yunho harabojie.

"Beruang kecil...." Panggil Yunho harabojie dengan suara paraunya.

"Harabojie... aku mulai bosan dipanggil 'Beruang kecil' setiap hari. Aku kan sudah besar." Protesku.

Yunho harabojie menolehkan kepalanya, menatapku. Senyum lelah dihadirkannya untukku membuat air mukanya lebih hidup, "Bagaimana kalau beruang besar saja, hm?"

"Ck.... Beruang besar kan Harabojie."

"Bukan. Kalau aku bukan lagi beruang besar tetapi beruang renta yang seumur hidup nelangsa menyesali hidup masa muda."

Ku paksakan senyuman terukir di bibirku. "Tidak ada yang perlu disesali, Harabojie. Semuanya sudah terjadi, bukan?" tanyaku, "Bukankah harusnya sekarang waktu bagi Harabojie untuk menikmati hari tua dengan tenang?"

"Hm...." Gumamnya. "Bagaimana jadinya andaikan dulu aku tidak menyakiti hati Boo Jae? Bagaimana jadinya sekarang bila dulu aku berdamai dengan perasaanku sendiri? Apakah aku bisa menjalani masa tuaku bersama Boo Jae? Apakah aku dan Boo Jae berkesempatan memiliki anak dan cucu?"

Boo Jae...

Tiap kali nama itu diucapkan oleh Yunho harabojie, lidahku selalu kelu. Aku tidak pernah bertemu secara langsung dengan sosok yang kata Ayah adalah sosok tercantik, terbaik dan orang paling tulus yang pernah ditemuinya seumur hidup tetapi aku mengenalnya dengan baik melalui buku-buku harian peninggalannya yang sempat ku baca.

Wajahku menengadah, menatap bangunan rumah pohon usang yang mungkin dulunya adalah bangunan yang sangat indah. Akan seperti apa rasanya berada di atas sana, duduk didalamnya dimasa mudanya dulu, apa saja kenangan yang sempat hadir ditempat itu? Andaikan punya mesin waktu, aku pasti akan pergi kemasa dimana rumah pohon itu masih berjaya.

"Kalau kau dan Joongie hyung bersama kau tidak akan nelangsa seperti sekarang, Hyung." Ucap ayah yang berjalan menghampiri kami. "Atau setidaknya kau tidak akan menghabiskan seluruh hidupmu untuk menyesali apa yang sudah kau lakukan pada Joongie hyung."

"Aku seorang pendosa." Sahut Yunho harabojie.

"Tentu saja. Kau adalah pendosa tidak termaafkan."

Telingaku terasa gatal mendengar ayah dan Yunho harabojie saling menyahut kata-kata. Nada bicara mereka terdengar biasa tetapi seperti ada sebuah kemarahan dan dendam yang terkandung didalamnya. Aku tidak tahu apa sebabnya karena tidak ada seorang pun yang memberitahuku alasannya.

"Ku rasa tidak perlu kau ingat-ingat lagi, Hyung." Nasihat ayah. "Apapun yang terjadi dimasa lalu biarlah tersimpan dalam buku usang kenangan kita. Hyung hanya perlu memikirkan kesehatan Hyung agar ketika Hyunno menikah nanti, Hyung bisa menyaksikannya berdiri dipelaminan."

Yunho harabojie menatapku. "Kau sudah punya yeoja chingu, Beruang kecil?"

Aku hanya tersenyum malu. Apa-apaan ayah ini? Kenapa menceritakan masalah pribadiku pada Yunho harabojie?

"Namanya Jaenna Park, seorang gadis cantik berdarah Jepang yang memiliki mata indah serupa Joongie Hyung." Ayah memberitahu.

"Jeongmal?" Tanya Yunho harabojie.

Pain of Love (Repost) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang