Menunggu Mas Fahad

6 0 0
                                    

Matahari masih menunggu senja menjemput. Sebelum akhirnya bulanlah yang menempati langit hingga esok tiba. Aku selalu belajar pada senja. Seindah apapun, ia akan tetap rela hanyut demi bulan. Demi hal yang mampu tegar menemani malam yang gelap gulita. Dan aku, aku akan berusaha menjadi mereka di setiap saat. Sekiranya aku tak lagi memikirkan kesedihanku. Semua percuma. Aku bukan penyihir yang mampu seketika mengubah sikapnya. Atau aku, aku bukan lagi bocah yang harus menangis bila apa yang ada bukan yang kuinginkan. Aku, aku adalah perempuan hebat. Aku harus kuat menjalani kehidupan yang Allah takdirkan.
Aku akan menjadi Matahari, meskipun engkau, akan memilih genting untuk berteduh.

Sudah jam 12:00 WIB. Memasakkanmu hidangan untuk siang ini, sudah. Menyiapkan minuman untuk mengganti keringatmu, sudah. Aku hanya perlu menyambutmu datang. Cukup itu. Tersenyum, dan meminta jasmu. Itu semua pun bila kau berkenan.
“Mas, jangan lupa makan siang..” chatt singkat itu kukirim lewat akun WhatsApp kepada “Langit”. Sudah ada centang biru, dan aku tak akan menunggu balasan. Aku bergegas meletakkan ponsel dan meninggalkannya.

Aku melihat dia begitu sempurna. Raganya, ilmunya, pekerjaannya, dan segala-galanya. Saat dia datang untuk pertama kali, dan saat aku melihat senyumannya, aku bersyukur Tuhan menyimpannya dalam ingatanku. Bagaimana kemeja putih itu, membalut gagahnya dan jam tangan di pergelangan kanannya. Aku, aku mengingat hari pertama aku jatuh cinta padanya. Lalu hari itu, saat aku halal mencium tangannya, dan dia mau menjabat tanganku. Aduhai indah hari itu. Hari dimana sebuah mimpi membumbung. Dan mimpi itu, hingga kini tak kunjung sampai. Aku tak akan memprotes takdir-Nya. Aku hanya meminta agar Allah selalu menyabarkan hati dan diriku.

Aku duduk di pinggir kasur putih dan melepas hiasan di kepalaku. Lalu dia datang dan melepas kancing lengan baju putihnya. Aku tak berani mengucapkan sepatah kata. Dia pun hanya diam tanpa menyapaku. Aku? Aku pikir ini wajar. Dia tak mengenalku, aku pun demikian. Aku hanya berani mencuri pandang padanya.
“Allah, tampan sekali laki-laki yang Engkau takdirkan menjadi imamku. Terimakasih, tuntunlah aku.. menjadi istri yang berbakti padanya. Aamiin..” senyumku tak kunjung usai. Ah.

Aku segera menemui ibu dan membantunya di dapur. Bagaimana mungkin, aku tidak berusaha melayaninya? Karena cinta didatangkan dari pengertian dan perhatian. Ibu meliatku dan tersenyum. Aku lalu mengadukan bahagiaku kepadanya. Aku tanyakan bagaimana ibu membuat ayah jatuh cinta. Bagaimana ibu bisa dicintai oleh ayah. Dan aku bercanda bersamanya setiap kali membahas pertanyaanku yang sangat lucu. Ah. Aku selalu merindukan ibu setiap kali waktu makan siang tiba. Bagaimana aku bergegas menyiapkan hidangan untuk Mas Fahad. Dan kini bayangan itu hanya akan meneteskan airmata.
#
Aku tiba-tiba terbangun di sepertiga malam. Melihatnya sedang bersujud dengan koko putihnya. Dia tak pernah membangunkanku. Mungkin saja dia hanya ingin aku terlelap dan bangun pagi-pagi. Aku melihatnya dari tempatku terlelap. Tanpa mengganti posisiku sedikitpun. Aku tak mau mengganggu dia. Dan aku akan bangun bila aku memang sudah berani berjalan menuju kamar mandi. Aku masih terdiam dan menguatkan hatiku. Aku adalah gadis penakut. Ayah dan ibu tak pernah sekali-pun tak mengantarku ke kamar mandi saat malam tiba. Namun sekarang, aku harus berusaha. Aku tak mungkin merepotkan dia. Aku? Siapakah aku..
Aku melihatnya menengadahkan jari-jemari. Aku berharap namaku disebut dalam munajatnya. Aku, ah tak mungkin. Aku menangis tiba-tiba. Aku pun melihat dia menangis. Lalu aku mendengar sebuah kalimat munajat yang dia panjatkan,
“hadiahkan ia kepadaku, ya Allah…” aku tak akan menanyakan dlomir apa dan siapa yang ada pada ‘ia’. Aku bergegas bangun dan menuju kamar mandi. Aku takut. Aku sangat takut, dan aku harus berani. Setelah mengambil wadlu’, aku bergegas menuju sembahyangan. Mengadukan takutku pada Allah. Dan saat ini, hingga nanti, mungkin hanya Allah yang menjadi tempat curhat gelisahku. Aku menangis dan menangis. Di dua reka’atku, aku tak sanggup bangun. Aku hanya menangis di hadapan Allah,
“aku adalah hamba-Mu ya Allah. Aku, aku bukan perempuan yang sempurna di hadapan-Mu. Apalagi di hadapan Mas Fahad yang Engkau ciptakan begitu sempurna di mataku. Ya Allah, jagalah perasaan cintaku, meskipun Mas Fahad tak pernah menambatkan hatinya padaku. Ya Allah, bila wajahku tak secantik perempuan yang perempuan yang dicintainya, percantiklah tingkahku, sikapku, dan jagalah ucapanku di hati suamiku. Ya Allah, bila Mas Fahad tak mencintaiku, titipkanlah seorang anak padaku. Jagalah hatiku, ya Allah. Tak ada yang berkuasa di muka bumi kecuali Engkau. Ya Allah, ya Rahman, ya Rahim.. aku berserah kepada-Mu. Takdirkan yang terbaik untukku. Sabarkan aku  meniti jalan surga-Mu. Aamiin…”  aku mendengar benda jatuh dan segera mengakhiri munajatku. Segera kucari, apakah yang terjatuh. Namun aku tak menemukan apa-apa. Subuh-pun berkumandang. Aku segera memperbarui wudlu dan menunggu suamiku datang untuk mengimami. Dan aku sudah cukup menyimpan bahagiaku saat subuh tiba.
“Allaaaahu Akbar….”
“assalamualaikum warahmatullah… assalamualaikum warahmatullah…” aku menunggu Mas Fahad menoleh dan mengulurkan tangannya. Aku menciumnya selembut mungkin. Dan merasakannya sedalam mungkin. Menyimpannya sedalam mungkin. Lalu dia memimpin do’a dan aku mengamininya. Selalu kupanjatkan do’a-do’a agar cinta itu, bergegas hadir dalam lima bulan perjalanan ini.
#
Kenapa tangis ini tak kunjung usai? Kenapa aku sesedih ini? Bukankah senja yang begitu indah tak pernah menyesali ketiadaannya demi bulan yang bersedia sendiri di tengah malam? Aku harus menjadi senja untuk langit. Karena siapa sangka, malam nanti purnama nampak. Dan aku, akan mendapatkan cahaya bahagia itu. Berhentilah, masih ada Allah bila Mas Fahad harus pergi untuk orang lain.
Sedari pagi, setelah Mas Fahad pergi meninggalkan rumah, aku langsung kembali ke kamar. Aku ingin tertidur saja sepanjang hari. Kepalaku pusing. Rasanya lemas dan mual. Aku menelpon ibu dan mengajaknya bercanda. Siapa tahu, aku bisa kembali seperti biasanya. Aku selalu membayangkan Mas Fahad ada disini dan menanyaiku,
“Kenapa, Asna?”
“kamu sakit?”
“ayo kita jalan-jalan..”
“aku sayang kamu..”
“aku mencintaimu..”
“Asna..”
“Asna..”
“Asna..”
Air matanya terjatuh. Dia menangis seperti badai petir hujan saat langit begitu murka. Air matanya tak berhenti. Hatinya hancur dan kecewa. Badannya tak enak. Kepalanya pusing dan saat ini juga dia merindukan sosok laki-laki yang menerimanya apa adanya. Hatinya kosong. Asna kembali teringat sosok laki-laki yang rela ditinggalkan demi seorang Fahad. Laki-laki yang tujuh bulan lalu mengikhlaskan Asna dipinang oleh laki-laki yang lebih sempurna. Tapi bukan hatinya. Hatinya bagaikan batu. Tak kunjung berlubang meskipun hujan air mata senantiasa menetes di permukaannya.
Namanya, Reehan. Laki-laki yang bersedia menamani Asna tiga tahun, lalu merelakannya dipinang laki-laki yang begitu sempurna. Reehan tahu, bahwa Asna tulus mencintainya. Namun, ketidaksiapan membuat Reehan mengikhlaskan Asna untuk orang lain. Asna tumbang saat ini. Tiba-tiba ingatannya terbongkar, nama Reehan kembali muncul dan Asna mencarinya dalam tumpukan chatting lama. Tercatat tanggal 12 September 2016, dan chatting terakhirnya adalah.
“aku merelakan cintamu untuk Fahad. Cintai dia. Dan ingat, Dinda. Jangan pernah menghubungiku serindu apapun dirimu”
“aku minta maaf, Mas..”
“aku tak pernah menyalahkanmu. Ini keadaan. Aku mencintaimu hari ini dan sebelumnya. Dan biarkan hariku esok menjadi milikku sendiri, Din. Sabar, dan berjuanglah menjadi istri sholihah.. berhentilah mencintaiku..”
“insya-Allah, Mas. Terimakasih tak pernah membuatku menangis. Doakan aku selalu..”
“iya. Selalu, Dinda tersayang. Sudah, ya? Assalamualaikum..”
“Terimakasih, Mas Reehan.. waalaikumussalam..” chatting itu tak pernah lagi tersambung. Dan chatting itu, utuh dari sebelum mereka jatuh cinta. Asna menangis dan menelponnya,
“tuuut… tuuut..”
Tak terjawab.
“tuuuut…tuuuuut….”
Tak terjawab lagi.
“tuuut.. assalamualaikum?”
“………” hanya ada isak yang menjawab telepon itu.
“Asna, kah?” hingga beberapa detik, tak kunjung terjawab. “siapa? Saya tutup bila tidak anda jawab.. maaf.. assa…”
“Mas Reehan.. maafkan Asna.. maaf..”
“kenapa menangis? Ada apa? Kemana Fahad? Kenapa kamu menelponku??”
“maafkan Asna.. Mas. Maaf.. do’akan Asna..”
“Asna jawab! Kenapa? Kenapa menangis? Apa ada masalah?” tangis Asna kian membuncah. Air matanya hampir terkuras habis. Reehan dari seberang dilanda bingung tak karuan. Apa yang terjadi pada kekasihnya? Kekasih yang masih terjaga hingga kini. Asna akhirnya menceritakan apa yang terjadi. Apa yang menjadi gundahnya selama ini. Reehan hanya mampu menahan amarahnya. Merasa kecewa telah melepaskan Asna yang akhirnya, tersakiti begitu dalamnya.
Malam itu Asna sendiri di rumah barunya. Kantuknya masih terjaga hingga pukul 23.00 malam. Fahan sedang sibuk di luaran. Sederet kalimat yang Asna baca dari Fahad siang tadi, membuat Asna malas memasak. Setelah makan siang, Asna tak lagi mengunyah sebutir nasi hingga semalam ini. Badannya sedikit demam. Kepalanya pusing dan rasanya ingin berlama-lama berada diatas kasur. Asna bangun dan mengambil buku catatannya yang biasa diletakkan di meja kerja Fahad. Sudah lama rasanya tak terjamah. Asna menariknya dan tak sengaja, tumpukan berkas Fahad terjatuh. Tercecer. Asna hamper saja kepanikan. Untunglah, ada halaman di setiap pojok kertas laporannya. Asna memunguti satu-satu. Naas, sebuah foto perempuan ayu terbidik oleh pandangannya. Asna menariknya dan mengamati betul perempuan itu. Oh, mungkin saudara Fahad, pikirnya. Namun ternyata bukan. Asna menengok halaman belakang foto itu, air matanya jatuh.
Hana. Aku merindukanmu.
Maafkan aku yang harus berusaha melupakanmu. Berusaha menghapus namamu dari pikiranku. Namun aku tak pernah berhasil, Hana. Aku lemah. Aku terlalu jatuh setelah kehilanganmu. Dan Asna, aku tak bias mencintainya hingga saat ini. Asna begitu baik. Dia selalu memerhatikanku. Bahkan setiap do’anya, selalu menyebut cinta dan namaku. Jangan pernah menyalahkanku, Hana. Tolong. Bantu aku untuk tenang. Bantu aku menjalani ini, Hana. Aku tak akan pernah bias mengembalikanmu, meskipun harus kukorbankan nyawaku sekaligus.
Hana, aku pengecut..
Hana, aku ingin kau kembali. Maafkan bila aku tak pernah berhenti merindukanmu. Maafkan aku yang selalu mengusik ketenanganmu di taman syurga..
Aku mencintaimu…
Asna menangis sejadi-jadinya. Bahwa ternyata, Fahad telah memasrahkan hatinya kepda perempuan ayu itu. Hana. Seindah namanya. Pikiran Asna kosong. Begitu banyak Tanya yang tak pernah akan terjawab. Matanya basah.
“mana mungkin, Mas Fahad akan bahagia bersamaku.. bila hatinya tak pernah menengok sedikitpun kepadaku? Aku.. aku haruskah berhenti mencintainya??” asna bergegas membersihkan dan mengambil wudlu kemudian memunajatkan gelisah hatinya kepada Allah. Hatinya hancur. Tubuhnya lemah tak berdaya. Allah menidurkan Asna dalam pangkuan langit yang menyimpan purnama di balik mendungnya. Asna terlelap. Hingga akhirnya, Fahad menggendongnya menuju kamar. Asna tak pernah tahu.
“aku akan selalu berusaha mencintaimu, Dek. Maafkan aku yang terlalu lemah membimbing hatiku..” kecupan itu mendarat di kening Asna. Selalu, setiap Asna terlelap. Tak ada yang tahu. Dan Fahad hanya akan diam agar tak ada kata yang melukai Asna.
Reehan hanya terdiam mendengar Asna bercerita. Namun Reehan tetap seperti dahulu. Sifat dewasanya, membuat Asna sedikit lega. Reehan tak menyarankan hal bodoh yang menguntungkannya. Reehan hanya berpesan kepada Asna untuk selalu bersabar.
“berdo’alah kepada Allah, Din.. bersabarlah dan bersabar.. allah tidak pernah tuli untuk mendengar do’amu.. istirahatlah, Din.. bukan aku tak membolehkanmu menghubungiku, tapi berusahalah menjaga hati suamimu, Din.. ya?”
“iya, Mas. Terimakasih banyak.. ya sudah. Assalamualaikum..”
“waalaikumussalam, Dinda..”
#
Sudah seminggu Asna sakit. Fahad baru tahu di akhir minggu ini. Fahad melihat Asna di dapur. Berkali-kali nafasnya dibuang. Sepertinya Asna sangat lelah,
“Dek..” Asna langsung menoleh. Namun hatinya bergejolak. Antara menerima dan mengabaikan. Namun hatinya, berbisik. Jagalah perasaan Mas Fahad.
“iya, Mas..” Asna menoleh. “lho, sudah hamper jam tujuh. Cepat siap-siap..”
“kemana, Dek?”
“ke kantor, Mas.. apa bajunya kurang sesuai??” Fahad menggeleng. “aku siapkan lagi..”
“nggak nggak.. aku cuti tiga hari..” Asna melongo. “bisa minta kopi?” dan Asna segera membuatkan kopi untuk suaminya. Seakan-akan lukanya sudah sembuh. Asna seperti langit, yang merelakan bulan diselimuti mendung. Tanpa harus marah kepada bulan, langit menerima kembali bulan menjadi sabit, maupun purnama.
Kopi itu disuguhkan. Fahad menikmatinya di meja makan. Asna tampak gugup karena tak pernah berada dekat Fahad selama ini. Fahad pun demikian. Fahad ingin membuka percakapan dengan istrinya. Namun bingung bagaimana caranya. Fahad tak sengaja memperhatikan badan istrinya. Seperti terlihat lebih gemuk. Tiba-tiba Asna menyentuh pelipisnya. Fahad segera bangun dan meraih tubuh Asna. Badannya panas sekali. Tanpa pikir panjang, Fahad segera membawa Asna ke rumah sakit.
Tak ada yang tak akan berubah selamanya. Hati Fahad kini telah berlubang. Perhatian-perhatian Fahad kini tercurah kepada istrinya. Fahad menunggu dokter memberikan hasil dari pemeriksaan. Asna masih pingsan. Dokter memanggil Fahad untuk memberikan hasil.
“Alhamdulillah.. istri bapak tidak apa-apa. Saat ini, usia kehamilan istri bapak sudah memasuki tiga minggu. Selamat.. tolong jaga istri bapak juga kandungannya. Jangan sampai stress dan bersedih..”
“alhamdulillaaaaah.. terimakasih kabar baiknya, Dokter. Insyaallah akan saya jaga.. Alhamdulillah..”
#
Kandungan, 12 bulan.
Asna tak pernah lagi menemukan Fahad yang dulu. Fahad telah berubah begitu jauh. Perhatiannya tak pernah kurang. Asna tak pernah lagi menangis. Mungkin ini jawaban dari do’a-do’anya setiap bermunajat. Tentang Hana, Asna tak pernah lagi mengungkitnya. Asna biarkan memori tentang Hana terpendam jauh di hati Fahad. Asna tak ingin merusak takdir indah ini. Asna tetap akan selalu berdo’a untuk hal yang lebih indah.  Bahkan Fahad tak pernah pergi lama untuk meninggalkan Hana, meskipun demi pekerjaannya.
Hari ini cerah berawan. Matahari seakan sedang bahagia. Tak begitu terik. Kemarin, Fahad mengajak Asna untuk pergi hari ini. Asna tak tahu akan kemana mereka berlabuh. Selepas ashar, Asna bersiap-siap. Fahad tampak bersedih. Namun Asna tak berani bertanya.
“siap, Dek??” tanyanya kepada Asna yang sudah menunggu sejak tadi.
“iya, Mas.. ayoo” mobil itu pun kini melaju sedang. Ini kali pertama mereka pergi berdua dengan tujuan tertentu. Asna tersenyum. Fahad memutarkan lagu-lagu cinta. Asna tak berkomentar apa-apa. Lalu Fahad membuka percakapan,
“Dek, Mas Fahad minta maaf. Selama ini Mas selalu menyakiti hatimu. Dengan Mas diam, dan Mas tahu.. Dek Asna pasti berat menjalani. Namun kesabaranmu, dan do’amu kini dikabulkan oleh Allah…” Asna tak memahami perkataan Fahad. “Allah sudah mulai menuntun Mas Fahad mencintaimu. Kita akan menuju pemakaman. Menjenguk perempuan yang sudah kamu menangkan tempatnya saat ini..”
“Mbak Hana, Mas?” Fahad kaget mendengar Asna mengucapkan sebuah nama. Mana mungkin Asna bias tahu, pikirnya. “maafkan Asna ya, Mas. Asna menemukan foto di tumpukan laporan kerja Mas Fahad.. tapi.. kenapa kita pergi ke pemakaman??”
“….” Fahad terdiam. “Hana meninggal setahun yang lalu. Hana, adalah perempuan yang dijodohkan kepadaku.. selama dua tahun aku mencoba memahami dan jatuh cinta. Setelah jatuh cinta.. setahun itu.. aku menemaninya melawan penyakit kanker otak. Tak ada yang tahu, selain Mas.. Mas sangat terjatuh. Setelah berusaha mencintai, Mas harus kehilangan.. dan untuk bangun, Mas harus menyakiti perempuan cantik yang baik hati.. maafkan Mas..”
“Mas Fahad, Asna yang harus meminta maaf…. Asna menerima takdir ini. Asna berusaha bersabar. Dan kehadiran anak ini.. semoga menjadi berkah untuk kita..” mobil itu melaju perlahan. Senja Nampak tersenyum melihat Asna yang mulai menemukan kebahagiaannya. Allah tak pernah melarutkan hamba-Nya dalam kesedihan, terkecuali Allah beri jalan keluar.
Senja melambai pada matahari. Senja larut dan mengantar purnama menempati singgasana langit mala mini. Tak ada mendung. Tak ada badai. Bahwa masih akan ada episode bahagia di setiap episode duka.
# Sekian #
AA. Farihah.
Kajen, 17 Maret 2018

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 07, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Menunggu Mas FahadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang