Bagian I

16 1 0
                                    

Kami bertiga adalah orang yang saling mencintai sekaligus menyakiti satu sama lain. tapi kami masih bisa tertawa dan berbagi meja bersama. Mungkin sebentar lagi kami bisa menghabiskan satu hari yang membosankan bertiga. Berjalan beriringan dan berpegangan tangan. Kemudian menonton film horror di bioskop agar bisa saling berpelukan saat seorang wanita dengan rambut panjang yang tak pernah disampo muncul di layar.

Jangan pernah berpikir bahwa kami ini menyedihkan. sekalipun jangan pernah berpikir begitu. Kami hanyalah tiga manusia yang berusaha untuk mencapai puncak tertinggi dari bahagia.

"Aku tidak ingin berpacaran Fe. Lebih baik begini saja. Pacaran hanya akan menyebabkan kesedihan dan sakit hati. Dari awal konsep pacaran saja sudah salah! Bahkan agama pun melarangnya," aku masih mengingat dengan jelas apa yang Kris ucapkan padaku.

Well, aku tak bisa mendebat argumennya. Aku tahu jika berpacaran itu salah. Bahkan tanpa Kris mengatakannya pun aku sudah tahu. Sudah sering kudengar ceramah tentang itu. Tapi apa benar ini adalah jalan yang terbaik? Apa benar dengan begini takkan ada orang yang terluka? Aku masih menyangsikan hal itu.

Sesungguhnya, teori dan konsep cinta macam apa yang Kris perkenalkan padaku? Teori cinta macam apa yang dia perkenalkan kepada kami? Aku tahu mungkin dia sudah lelah menjawab pertanyaanku. Tapi aku masih belum puas mendengar jawabannya. Karena semakin aku memikirkannya, teori ini jadi semakin membingungkanku.

Tiba-tiba saja ponselku bergetar menandakan ada sebuah pesan masuk. Seketika aku tersadar dari lamunanku. Kulihat tanganku masih memegang grip kamera. Layarnya memperlihatkan foto kami bertiga – aku, Rara, dan Krisma. Foto itulah yang menyebabkan anganku terbang selama beberapa detik.

Kemudian aku beralih pada ponselku yang berisik. Ada satu pesan masuk. Pesan dari Krisma.

Putri..

Hanya begitu saja pesannya.

Ya, ada apa?

Jawabku.

Putri, kau dimana? Bisakah kita bicara? ini tentang Rara.

Jawabnya lagi.

Datang saja ke sini. Pelangi ice cream. Kita bicara sambil makan es krim saja, oke?

Balasku. Kemudian ku tekan tombol kirim di ponselku.

Oke, aku ke sana. Tunggu sebentar.

Balasan dari Krisma masuk dua detik setelah ku kirim pesanku.

Sembari menunggunya datang, aku kembali terfokus pada foto kami bertiga. Aku, Rara, dan Kris. Rara adalah gadis yang ku kenal dua bulan yang lalu lewat Kris. Dia penulis cerita misteri yang bukunya sedang diedit oleh Kris. Umurnya masih sembilan belas tahun. Tiga tahun lebih muda dari aku dan Kris. Wajahnya cantik dan imut. Kulitnya putih bersih, berbeda denganku yang belang sana sini karena banyak terkena sinar matahari.

Sementara Kris, dia adalah sahabatku. Aku mengenalnya sejak duduk di bangku kelas satu Sekolah Dasar. Masih kuingat dulu dia senang sekali menggambar dan membuat mobil-mobilan aneh dari kertas. Dia juga suka menulis puisi dan cerita-cerita detektif. Sama seperti Rara.

"Hai Putri.."

Kudengar suara Kris menyapaku dari arah belakang. Aku menoleh padanya sambil melambaikan tangan. Kemudian dia mempercepat langkahnya dan menghampiriku. Dia mengambil posisi duduk berhadapan denganku. Aku mengamatinya sejenak selagi dia mengatur napas. Wajahnya masih saja tirus seperti dulu. Kacamata berframe merah juga masih setia bertengger di batang hidungnya. Tubuhnya kurus, juga masih sama seperti dahulu. Hanya tingginya saja yang berubah. Dahulu saat SMP tingginya hampir sama denganku. Tapi kini tinggiku sudah jauh berada di ketiaknya.

"Ada apa, onii-chan?" tanyaku.

Dia tersenyum kecil mendengar pertanyaanku. Tapi setelah itu wajahnya berubah menjadi murung seperti orang frustasi.

"Pacarnya sadis sekali. Hpnya disita sekarang. Aku jadi tak bisa berkomunikasi dengannya," Kris berkata masih dengan wajah murung yang menggelikan.

"Pacar siapa? Hp siapa?" tanyaku bingung. Hei, aku tidak tahu permasalahannya.

"Pacar Rara. Hp Rara juga tentunya." Kata Kris. Kini nada dalam suaranya mulai meninggi.

"Darimana kau tahu kalau Hpnya disita?" tanyaku.

"Pacarnya sendiri yang bilang padaku. Dari awal sebenarnya aku sudah menduga akan jadi seperti ini. Yah, memang sih aku belum pernah melihat pacarnya. Tapi Rara sering bercerita padaku. Dari cerita-ceritanya aku sudah tahu jika pacarnya sangat overprotektif. Dia bahkan tidak mengizinkan Rara chatting denganku sekarang. Mungkin dia takut jika aku merebut Rara darinya. Menurutku lebih baik tak usah pacaran saja."

Jadi begitu ya? Satu hari saja tidak berkomunikasi dengan Rara bisa membuat Kris murung begini. Tapi, bagaimana jika dia tidak bisa berkomunikasi denganku walau satu hari saja? Apa dia akan murung juga? Atau dia malah berbahagia karena tak ada nenek lampir yang mengganggunya? Tapi kurasa aku tak butuh jawaban. Karena aku takkan pernah dan takkan bisa meninggalkannya walau hanya satu jam saja.

"Ya wajar kan, jika dia over protective pada pacarnya sendiri." Jawabku sekenanya.

Aku tidak tahu banyak soal cinta dan pacaran. Karena cinta yang Kris ajarkan padaku begitu berbeda dari yang lainnya.

"Tidak, Putri. Bagaimanapun over protective itu salah. Kecuali kalau Rara sudah berstatus sebagai istrinya. Dalam hal ini, pacarnya memberi makan saja tidak," kata Kris masih dengan nada sebal.

"Tapi orang kan memiliki sifatnya masing-masing. Mungkin kau berpendapat bahwa ini salah. Tapi bagaimana jika dia menganggapnya sebagai hal yang benar?" tanyaku.

"Putri, aku kan sudah bilang padamu. Dari awal pacaran saja sudah salah. Bahkan agama pun melarang. Apa kau masih mau membantah argumen yang tak terbantahkan ini, Putri?"

Aku merengut sebal mendengar perkataannya. Kris selalu seperti ini. Kris selalu mematahkan omonganku habis-habisan. Dia tak pernah memberiku celah sama sekali. Padahal aku ingin memberi tahunya sesuatu. Pacaran atau tidak pacaran itu hal nomor dua. Tapi, jika kita sudah berani mencintai seseorang, kita pasti akan merasakan sakit. Meskipun Kris tak pernah menganggapku kekasihnya, tapi tetap saja aku merasa sakit hati melihatnya bersama dengan orang lain. Terlebih secara terang-terangan Kris berkata bahwa dia mencintainya dihadapanku. Asal dia tahu saja, aku sudah sakit hati meski dia bukan pacarku.

Terlebih, aku tak punya kemampuan untuk melakukan apapun. Lebih tepatnya, aku tak memiliki wewenang untuk bertindak. Jangankan untuk bertindak, untuk marah dan bersedihpun aku tidak memiliki wewenang samasekali. Kris bukan milikku.

"Padahal baru saja aku membuatnya tersenyum bahagia. Asal kau tahu saja, Rara sebenarnya tidak mau menjadi pacar cowok itu. Hanya dia saja yang mengklaim secara sepihak bahwa Rara adalah pacarnya. Huh, katanya saja cinta. Cinta tapi kok begitu?" Kris masih melanjutkan curhatnya.

Sementara aku hanya diam saja. Aku masih belum bisa melupakan hari dimana pertama kali aku melihat Kris. Aku juga masih belum bisa melupakan hari dimana Kris berkata bahwa dia mencintaiku. Itu sudah lama sekali. Sekitar delapan tahun yang lalu. satu hal yang aku suka dari Kris adalah, dia tidak pernah berubah. Sikapnya padaku dari awal bertemu sampai sekarang tidak pernah berubah padaku. Dia selalu manis dan menyebalkan disaat yang bersamaan, dia selalu ada di sampingku dan akan segera meraih tanganku jika aku terjatuh.

"Putri.. Kok diam?" tanya Kris, "Putri, kau cemburu ya, pada Rara?" tanyanya lagi. Kali ini dia berusaha untuk menggodaku.

Mendengar Kris berkata begitu, aku langsung melotot ke arahnya. Dia tertawa terbahak-bahak melihat reaksiku. Akhir dari pembicaraan kami di Pelangi Ice Cream dihabiskan Kris untuk meledekku habis-habisan. Dia berbicara tentang semua kebaikan Rara. Rara pandai ini, pandai itu. Pembicaraan yang membuatku ingin memukul kepalanya sampai benjol. Untung saja aku sudah menambah volume tangki kesabaranku. Jika tidak, aku pasti sudah meledak.

A Love Theory From the StarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang