SUMMER

17 0 0
                                    

Prolog

Gue bukan fotografer profesional yang kalian kira. Gue cuma mengandalkan intuisi gue sebagai mahasiswa jurusan fotografi yang nyasar di Fakultas Seni.

Kok bisa???

Gue tertarik sama seseorang di masa lalu yang kini gue nggak tahu dimana dia berada. Yang gue inget dia blasteran Indo-Korea, umurnya dua tahun lebih tua dari gue kira-kira waktu itu umur gue baru menginjak enam belas tahun. Dia pernah tinggal satu kompleks rumahnya nggak jauh hanya berbatas balkon kamar masing-masing.   Dia juga satu sekolah walau nggak satu kelas. Iyalah, dia kelas tiga gue sendiri baru kelas dua SMA. 

Kebahagiaan gue sirna saat tahu rumah sebelah kosong. Kata Bunda, bokpanya harus balik ke Negara asalnya, Korea. Mau nggak mau dia ikut kemanapun bokapnya tinggalia. 

Dia ninggalin secarik kertas yang dititipin ke Bunda sama paper bag berisi kamera kesayangan dia. Kepergian dia membuat gue sadar kalau dia membawa gue ke dalam hidupnya yang diam-diam menyukai dunia fotografi. 

Haa.. kenangan singkat itu gue tanam di dalam hati berharap suatu hari nanti entah kapan gue bisa ketemu dia lagi.

Mungkin!

^¥^

1.

Dulu

Di pagi yang mendung , gue masih meringkuk di bawah selimut nggak menghiraukan panggilan Bunda yang nyuruh gue buat sarapan pagi, mandi terus pergi BIMBEL. Gue menghela napas "Libur itu buat malas-malasan bukan pergi ke tempat kursus," Decak gue kesal karena setiap weekend jatah istirahat gue berkurang.

Ujian tengah semester udah di depan mata jadi para ibu-ibu berlomba masukin anaknya ke tempat kursus. Merasa anaknya sering berada di peringkat terbawah Bunda dengan senang hati mengirim gue ke sana. Tempat yang isinya orang-orang berotak cemerlang. Bunda rela menghabiskan uang bulanan buat membiayai kursus gue tapi, anaknya sendiri aja malas bangun.

Bunda menerobos masuk tanpa permisi"Bunda nggak mau dengar kalo tutor kamu nanti telepon ke rumah." Seru Bubda menyadarkan gue kalau biaya kursus itu mahal. 

"Iya,, Bun."Jawab gue lesu

"Gitu dong, itu baru anak Bunda." 

"Jadi, selama ini aku bukan anak, Bunda?!" Pertanyaan bodoh gue lontarkan. 

Bunda mengangkat bahunya tinggi-tinggi lalu senyum. Wanita cantik itu berbalik dan membiarkan pintu kamar terbuka dari luar suara Bunda terdengar lagi "Bunda kasih waktu sepuluh menit dari sekarang!!!" Ancam Bunda.

Gue berlari meninggalkan sarang terrnyaman gue saat mendengar uang jajan bakalan terpotong cuma gara-gara gue bolos bimbel. Ini nggak adil. Gue harus menengakkan keadilan di rumah ini. Gue berdiri di ambang pintu "Masa iya, Bun uang Kei di potong cuma aku nggak berangkat bimbel." Rengek gue

Tawa Bunda semakin merekah saat tahu kelemagan gue yang  nggak bisa hidup tanpa uang jajan. Buat gue uang jajan itu segalanya, coba kalau uang jajan gue dipotong setengah apa jadinya?? Gue nggak bisa ngemall bareng Syifa, nggak bisa nongkrong di kafe kekinian. Bayangin hidup gue pasti miris banget.

"Oke.. oke.." 

Persetujuan terjalin gue bergegas masuk kamar mandi. Ngapain? Pastinya gue mandi bukan bersemedi cari benda-benda keramat. Nggak perlu lama cukup air mengguyur seluruh badan. Sabun cair merek itu loh yang katanya bikin kulit kinclong gue abaikan. Gue cuma sikat gigi setelah itu beringsut ke kamar lagi buat ganti baju. Kaus polos, jaket denim, celana jeans jadi andalan gue kalau keluar rumah. Ih, ngapain pakai dress emangnya gue mau kondangan. Please, deh!!

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 20, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SUMMERWhere stories live. Discover now