2

37 6 5
                                    

Malam ini, mereka berempat berada di apartemen milik mereka, sedang menyantap makan malam sambil melihat suasana kota Jakarta lewat jendela besar di depan mereka.

Hujannya turun rintik-rintik menandakan akan berhenti sebentar lagi. Pasokan air hujannya terbatas, jika sudah dirasa cukup, hujan akan berhenti dengan sendirinya.

"Besok kita ke Papua." Yoga berucap, kedua sepupunya langsung bersorak senang, siapa lagi kalau bukan Selly dan Iyan. Shafa diam saja karena ia sudah tahu.

"Raja Ampat I'm Coming!!!" teriak Selly dan Iyan.

Shafa menghela napas panjang. "Kita ke sana untuk presentasi The Transparant Raindrops, bukan untuk liburan."

"Sekalian liburan tidak ada salahnya, 'kan?" tanya Yoga.

Lagi, Selly dan Iyan terlihat senang, hingga ia mengangkat tangannya ke udara. "Yesss!!!"

"Tapi aku sibuk karena harus memeriksa kesehatan di sana," ujar Shafa.

"Itulah tanggung jawab seorang Dokter." Iyan menyahut. "Santai saja, kita akan menunggumu sampai selesai memeriksa semuanya."

"Hmm." Selly bergumam, sepertinya ia sedang berpikir. "Kenapa kita harus ke Papua, Yog?"

Yoga menyeruput coklat panasnya. "Indonesia bagian paling timur hanya terkena sedikit hujan. Jadi, kita harus ke sana juga agar sama rata." Pun Selly hanya mengangguk.

"Aku mau tanya dong, Yog!" seru Selly.

"Tanya saja."

"Proses buat The Transparant Raindrops seperti apa?" tanya Selly.

Yoga memberikan kacamata khusus yang ia rancang untuk melihat The Transparant Raindrops. "Coba pakai."

Selly memakainya, ia melihat ke arah jendela besar. Di situ, ia bisa melihat wujud benda The Transparant Raindrops, seperti alat tipis berlubang yang terbentang luas.

"Aku lihat seperti triplek."

"Yaa, kurang lebih seperti itu," ucap Yoga.

"Lalu, darimana air yang kau dapatkan? Apa dari laut?" Iyan yang daritadi diam pun bertanya juga.

"Benar, tapi dari air laut aku hanya memakai setengahnya saja. Sisanya dari sungai, danau yang terbilang kotor dan menggenang. Sayang sekali kalau air itu tidak terpakai." Yoga mulai bercerita. "Aku membuat serbuk yang bisa mengubah air kotor menjadi air jernih."

"Zat kimia yang aku gunakan terbilang cukup banyak. Dan semoga saja dampaknya tidak terlalu buruk." tambah Yoga.

Ketiga sepupunya hanya mengangguk saja. Tiga detik kemudian, mereka bertepuk tangan.

"Hebatlah pokoknya!"

"Bingung mau jawab apa. Intinya salut dengan kamu, Yog."

"Boleh juga."

"Kira-kira dampak negatifnya parah sekali tidak, ya?" tanya Selly.

Yoga mengangkat bahu, sebenarnya ia juga masih bingung apa dampak negatifnya karena semalaman ini belum ada keluhan dari masyarakat.

"Aku kurang tahu, kalau dampak negatif pasti ada. Karena ini 'kan mengandung zat kimia." kata Yoga, ia pun menarik napasnya dalam. "Semoga tidak terjadi apa-apa."

"Aamiin."

"Kita selalu berdoa yang terbaik untukmu." Shafa menepuk-nepuk punggung Yoga.

Yoga berdehem."Terimakasih."

"Hei, lihatlah!" Iyan menunjuk ke arah bawah. Ia melihat sekumpulan orang di sana dari balik jendela besar. Semua mata tertuju pada yang ditunjuk Iyan. "Itu seperti orang yang bertengkar."

"Ntahlah. Aku hanya melihat orang berdiri saja," ucap Selly.

"Sama," sahut Shafa. Hanya Yoga yang tiba-tiba khawatir akan terjadi sesuatu. Ia merasa ... takut.

"Sudahlah, lebih baik kita tidur, besok harus berangkat pagi-pagi." Yoga langsung berdiri dan segera pergi ke kamarnya.

Mereka bertiga mengangguk, lalu mereka langsung menuju kamarnya masing-masing.

Yoga langsung membaringkan tubuhnya di atas kasur, ia memakai selimut untuk membungkus tubuhnya. Ia berharap, besok rencananya lancar. Dan semoga rasa khawatirannya tidak akan terjadi sampai kapanpun.

Cerita Bersambung....

09 Agustus 2018

2030Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang