BAB 1

112 8 7
                                    

"It's so hard to forget pain, but it's even harder to remember sweetness. We have no scar to show for happiness. We learn so little from peace." – Chuck Palahniuk, Diary

***

Dua bulan setelah lulus SMA, Evan pindah ke Bandung. Rury baru menyusul sebulan kemudian, setelah melewati adu argumen alot dengan orangtuanya, meyakinkan ratusan kali pada mereka bahwa ia sudah cukup dewasa untuk hidup sendirian.

"Firasat gue bilang, lo akan sering datang ke sini. Nggak peduli meskipun di sini rumah kos khusus lelaki." Kata Evan dingin, tapi Rury malah nyengir sambil menjatuhkan tubuhnya ke kasur Evan yang empuk.

Karena kepindahannya yang mepet—hanya DUA HARI menjelang kuliah perdana, Rury harus puas dengan kamar kosnya yang sempit, dan mesti berbagi dengan salah seorang mahasiswi universitasnya juga. Berbeda dengan kos Evan yang lebih mirip homestay dengan balkon menghadap kebun belakang. Belum lagi, kos yang terletak di kawasan Dago Asri itu memang dikenal sebagai kos dengan biaya cukup mahal, wajar kalau isinya lebih komplit serta dilengkapi kamar mandi pribadi.

"Di kamar kos gue bahkan mau nyelonjorin kaki aja susah. Boro-boro bisa buka jendela terus lihat-kebunku-penuh-dengan-bunga. Punya jendela aja nggak."

Evan hanya geleng-geleng kepala.

Rury tiba-tiba duduk bersila, menatap Evan dengan raut wajah serius. "Van, lo harus rayu ibu kos supaya gue boleh pindah ke sini. Masih ada kamar kosong, kan?"

"Itu artinya lo berdoa agar semua lelaki di sini homo." jawab Evan ketus. "Juga, jangan sekali-sekali datang ke sini saat gue nggak ada. Gue nggak akan nanggung resikonya." Ditariknya tangan Rury hingga berdiri. "lebih bagus lagi kalo lo justru nggak pernah ke sini setelah ini,"

Rury segera melepaskan cekalan Evan di lengannya, sedikit sakit sebenarnya. "Oke-oke, gue kan bilang cuma mampir. Ini gue pergi nih," katanya seraya beranjak menuju pintu. Evan mengikutinya di belakang, dengan gerak sigap ditariknya hoodie Rury menutupi kepalanya. Rury mendongak.

"Jangan sampai ketahuan yang lain kalo lo cewek." Evan mengingatkan. Diputarnya kenop pintu dan ke luar kamar mendahului Rury. Badan tinggi Evan segera menjadi tameng. Beberapa penghuni kos terlihat mengabaikan kehadiran mereka berdua, sibuk dengan urusan masing-masing. Mungkin karena Evan notabene masih penghuni baru yang belum—atau tak berniat—bersosialisasi dengan siapa pun.

Untuk kali kedua, selama perjalanan menuju halaman depan, Rury terperangah takjub karena struktur bangunan rumah kos Evan ini. Rumah kos ini sebenarnya studio apartemen yang terdiri dari tiga lantai. Di lantai dua dan tiga pada tengah-tengah bangunannya dibuat terbuka dan memiliki teras persegi, sehingga ruang tamu dengan sofa elegan berwarna merah marun di tengah-tengah ruang lantai bawah terlihat dari atas sana. Lingkungannya sangat bersih dan terawat, masing-masing kamar sepertinya juga memiliki struktur yang sama, yang terdiri dari satu kamar tidur lengkap dengan furnitur ditambah satu meja belajar, satu kamar mandi, dan satu closet storage. Evan juga aman memarkir jazz merah kesayangannya di basement lantai dasar.

Rury menghela napas, mengingat keadaan rumah kosnya yang lebih mirip kandang sapi. Padahal penghuninya semua perempuan. Mitos banget yang bilang perempuan itu pada dasarnya lebih rapih.

"Lo nggak mau mampir ke kos gue? Gue baru selesai pindahan," kata Rury sambil menurunkan hoodienya. Mereka telah sampai di pinggir jalan.

Evan menghela napas. "Mungkin lain kali."

"Atau gimana kalo besok lo jadi tour guide gue jelajah kota Bandung? "Ya? Ya?" pinta Rury lagi dengan mata memelas. "Kalo sendirian nanti gue kesasar, Van."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 30, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GULALI SENJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang