Hey, Stay by My Side, please?

18 0 0
                                    


Fadhel Satria tidak pernah setakut ini sebelumnya.

Bukan, ia bukan siswa baik-baik pada dasarnya atau anak yang selalu mencari aman. Ia adalah seseorang yang mudah kalian temui di kantin saat jam pelajaran, mudah ditemukan di kerumunan tawuran, dan siswa yang sudah menjadi blacklist para guru. Singkatnya, kehidupan SMAnya ia pilih untuk menjadi seorang berandalan. Jadi, sama sekali tidak mungkin jika ia menjalani kehidupan yang aman dari rasa takut.

Tapi, tidak, ia sungguh tidak pernah setakut ini. Pertarungannya melawan sekian orang pun tidak akan menampilkan raut ketakutan di wajahnya--malahan lawannya yang merasa takut melihat seringai tidak sabar menanti pertarungan mereka dari wajahnya. Baginya tidak ada hal yang menakutkan di dunia ini selama ia masih bisa membuka mata. Sekali dua kali masuk kantor polisi pun ia hanya melancarkan sumpah serapah tanpa gurat penyesalan sedikitpun. Baginya penyesalan hanya terjadi kepada orang tanpa semangat menjalani hidup.

Namun, detik ini, ketakutannya muncul beriringan dengan penyesalannya atas pilihan hidupnya untuk menjadi berandalan.
Ia menolak setengah mati mengakuinya, tapi ia tahu dua rasa itu benar-benar menelannya kini.

Ah, konyol sekali, sejak kapan ia menjadi selembek ini?

Ia adalah tipe pendengar ceramah kedua orang tuanya hanya untuk beberapa detik, ia bukan tipe yang menunduk tidak berani menatap mata keduanya dengan beban penyesalan yang berat di hatinya. Ia sama sekali bukan tipe seperti itu. Ia lebih memilih tidak peduli dengan nilainya yang di bawah KKM lalu seenaknya mengisi ujian remedial daripada harus mengoreksi kembali segala nomor yang salah di ujian tersebut. Satu-satunya penyesalan yang pernah ia rasakan sepanjang 17 tahun ia bernafas adalah rasa sesal kenapa ia memilih roti rasa keju daripada roti rasa coklat hanya karena diskon. Tidak pernah sekalipun ia menyesal kenapa ia memilih menjadi berandalan sejak setahun lalu.

Hal yang paling konyol lainnya adalah ia, seorang Fadhel Satria yang ditakuti seluruh siswa, menjadi selembek ini hanya karena seorang perempuan.

Entahlah, ia bahkan kehabisan akal untuk menyumpahi dirinya kini. Menjijikkan sekali. Ini seolah bukan seperti dirinya saja. Dunianya selama ini tidak serapuh itu hingga satu orang perempuan seusianya berhasil membuatnya menyesal menjadi seorang berandalan dan memunculkan ketakutan setengah mati yang baru pertama kali ia rasakan.

‘Yo, Dhel, cewek lo ada di tangan kita. Kalau mau dia selamat tanpa kurang satu hal pun darinya, lo datang ke tempat biasa sekarang. Jangan bawa siapapun atau lo nggak akan melihat dia lagi.’

Jika orang yang menerima pesan ini adalah dirinya satu semester lalu, mungkin ia hanya akan tertawa tidak peduli dengan gadis itu, Anggia Ananda yang memang bukan pacarnya sejak awal. Hingga detik ini pun, Anggia juga hanya menjadi satu-satunya perempuan yang dekat dengannya.

Tapi, saat melihat foto gadis yang sangat ia kenal menyertai pesan singkat tersebut lah, ia mengetahui apa itu rasa takut yang mampu menghentikan nafasnya. Memperbesar foto tersebut demi memastikan bahwa gadis itu adalah Anggia yang tidak sadarkan diri diikat di sebuah bangku tua hanya semakin membunuh dirinya secara perlahan. Berharap bahwa ini semua hanya mimpi buruknya di siang bolong pun tidak bekerja, kulitnya yang merah hasil dari cubitannya yang sangat keras adalah buktinya.

Pantas, pantas saja, gadis itu tidak ada disini. Seharusnya ia berada disini, disampingnya, seperti biasa.

“Dhel, besok gue akan menemani lo ujian, jadi lo tidak usah takut, oke!”

Fadhel hanya mendengus, berharap ia berhasil menyembunyikan wajah senangnya begitu Anggia muncul di hadapannya. “Nggak. Nggak usah, sama sekali nggak usah. Lagipula, siapa juga yang akan takut? Seorang gua takut dengan hal seperti ini? Yang benar saja.” Ujarnya sambil mengibaskan tangannya tanpa melepaskan pandangannya dari lembaran soal yang Anggia berikan padanya sejak tiga minggu lalu.

Hey, Stay by My Side, please?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang