Senyum itu

13 2 0
                                    

Tiga tahun aku terjebak di tempat antah berantah ini, semejak ayah dan bunda meninggal, hanya paman Ambar satu-satunya keluarga dekat yang mau menampungku, setelah rumahku diserahkan pada pihak bank untuk mengganti pinjaman yang belum sempat orangtuaku lunaskan. Keluargaku yang lain hanya sibuk dengan urusan mereka masing-masing, merawat keluarganya, pekerjaannya, tidak peduli lagi dengan anak yatim piatu sepertiku. Itulah alasan paman Ambar bersedia merawatku, tidak ada yang ia urusi tentang keluarga ataupun pekerjaan. Ia tinggal sendiri di tempat ini, tanpa keluarga, tanpa pekerjaan tetap, hanya menunggu musim pohon berbuah, lalu ia berangkat ke kota untuk menjajalkan buah-buahan desa ini.

Akhirnya tahun ini aku bisa merasakan udara bebas, tidak ada lagi jalanan becek, ular-ular kecil yang lalu lalang di halaman rumah, serta foto ayah dan bundaku yang masih saja bersandar di dinding ruang tamu rumah ini. Bukan aku tidak suka dengan foto mereka, hanya saja kerlingan senyum yang setiap kali mereka lontarkan di foto tersebut seakan membawaku kembali pada saat mereka akan pergi. “Baran, ibu sama bapak mau pergi dulu ya, hati-hati sendiri.” Itu kalimat terakhir yang bundaku katakan. Sungguh amat panjang arti dari kalimat pendek tersebut, intinya mereka ingin pergi, entah mau kemana dan mau apa, seketika saat itu aku tidak bernafsu menanyakannya. Ternyata mereka pergi ke tempat yang sangat jauh, hingga pesawat terbang paling canggih pun tidak dapat mencapainya, sangat tinggi, hingga berjuta tangga tak dapat menjangkaunya, Surga. Mereka meninggal dalam kecelakan pulang menuju rumah, tergantung di sepeda motornya, kelapa muda yang belum dipotong, seta es cincau hijau kesukaanku, itulah informasi yang kudapat dari tetangga yang melihat di tempat kejadian. Semejak saat itu pula, aku memutuskan untuk tidak lagi menyukai kelapa muda dan es cincau hijau.

Pagi terlalu cepat berbagi jingganya, hari ini aku berpamitan dengan paman Ambar, meninggalkannya sendiri kembali, bersama rindang pohon buah di halaman.

“Ini Bar, paman ada sedikit uang buat kamu jajan di kota.”

“Oh gausah paman, buat paman aja, aku masih ada uang dari warisan ayah sama bunda dulu, nanti di kota aku bakal nyari kerja sampingan juga.”

“Aku pergi dulu ya paman.”

Paman tidak menjawabnya, mungkin ia hanya berteriak dalam hati, membalas salamku. Paman orangnya mudah tersentuh, mulai dari buah mangga yang dimakan kelelawar, ia sangat menyayagkan kenapa tidak memetiknya hari kemaren. Atau durian yang jatuh sebelum waktunya, masih sangat kecil, hanya seukuran kepalan tangan, ia hampir menangis karena itu. Besok, aku tidak lagi melihat hal seperti itu.

Aku memacu motor CB 100 peninggalan ayah dulu, 7 jam lebih menuju kota tempat dulu aku menikmati masa kecil dan menempuh SMA nanti, melewati jalan batu merah, serta aliran kecil sungai yang melintas jalan, sangat melelahkan. Sepanjang jalan banyak pedagang kecil menjajalkan kelapa muda, aku menahan diriku untuk tidak membelinya. Sepanjang jalan menuju kota dari desaku memang terkenal dengan perkebunan kelapanya. Sehingga tidak heran banyak truk-truk melewati jalan hingga rusak seperti ini, untuk membeli kelapa dengan harga super murah lalu dijual kembali dengan harga berlipat di kota.

Setelah 3 jam aku menahan diri untuk tidak membeli kelapa muda, aku berhenti melepas penat di sebuah warung makan kecil, memesan es teh serta beberapa gorengan dingin yang rasanya super tawar.

“Mau kemana dek?”

“Ke kota bu, mau sekolah disana.”

“Ooo sekolah, anak ibu juga mau SMA di sana, besok perginya, adek gak mau barengan sama anak ibu?”

“Tapi saya kesana cuma bawa motor bu.”

“Halah gapapa dek, si Alisha juga bingung tuh besok naik apa kesana, tinggal disini satu hari gapapa kan? Kasihan Alisha kalau numpang di belakang truk.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 18, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BARANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang