Enigma

70 7 14
                                    

                                                                             vaniandona  Nurmoyz


"Bon jangan banyak gerak ya? Tunggu. Anteng-anteng kamu di sana."

"Huh, sebel. Gara-gara Adit nih pasti. Bon jadi ganjen begini. Pake acara manjat-manjat segala lagi. Awas ya kalo ketemu orangnya, aku bikin dodol mukanya yang abstrak itu" gerutuku sambil menghentakkan kaki ke aspal.

Ayo Nad, mikir. Cari cara. Otak lo kan encer. Secada juara satu makan krupuk tingkat RT secara berturut-turut. Enggak ada hubungannya kali.

Manjat. Jujur saja aku tidak bisa memanjat. Bukannya akan beresiko jika aku memaksakan diri. Salah-salah aku bisa celaka. Ya Gusti, datangkanlah seseorang berhati baik.

"Hai."

Astaga. Dia lagi. Kenapa ysng datang malah si kunyuk. Dosa apa hambamu ini.

"Dia memang ditakdirkan untuk menjagamu." Kata bisikan gaib yang entah muncul dari mana.

Siapa yang peduli. Bagiku dia tidak lebih dari seorang penguntit.

"Ternyata kita jodoh ya."

Jodoh dia bilang. "Ngarep," batinku.

"Ngapain lo di sini?" tanyaku sinis.

"Emang ini jalan punya engkong lo? Bukan kan. Suka-suka gue lah."

Ditanya malah tanya balik. "Lo ngapain di sini?"

"Oh Lo pasti mau nyolong mangga ya kan?" tuduhnya.

"Eng-enggak kok, enak aja. Jangan asal nuduh deh." elakku.

"Halah. Bilang aja iya gitu."

"Apaan sih? Enggak ya enggak. Aku—"

"Aku apa? Gue teriakin nih."

"Heh eh. Udah gue bilang gue bukan maling."

"Maling! Mali-hmmhmmhmm." Sontak kubungkam mulut lemesnya.

Dari jarak sedekat ini untuk pertama kalinya aku bisa melihat mata hitamnya yang meneduhkan. Seketika aku dibawa ke suatu tempat dengan pohon rindang. Sesekali angin kencang. Sesekali hanya hembusan bagai bisikan di telinga.

Aroma citrus dari tubuhnya berhasil menyeruak masuk ke dalam hidung. Tercium misterius.
Pipiku mulai menghangat. Sial. Buru-buru aku menjauh darinya.

"Tangan lo wangi juga."

"Hah?"

"Boleh kali dibekap lama-lama." Dasar sinting.

"Meong. Meong." Si Bon mengeong minta diturunkan. Maafkan majikanmu ini tidak berdaya menolongmu.

Tas yang digendongnya dia letakan sembarangan. Dia mendekat padaku sambil membuka kancing seragamnya. Perlahan dan semakin dekat. Aku tau dia berbahaya. Karena setiap aku dekat dengannya, jantungku berdetak dua kali lebih cepat.

"Lo mau ngapain? Mau mesum lo ya" tukasku.

"Ya kali di sini. Kalo lo mau kita bisa sewa hotel. Atau lo mau di rumah aja. Rumah gue apa rumah lo?"

"Apa?! Lo pikir gue cewek murahan! Yang nggak ada harganya." Nadaku naik satu oktaf.

Dia terkekeh geli, "Lagi marah gini makin cantik deh. Jadi tambah suka."

Apa dia benar-benar menyukaiku? Suka yang artinya cinta bukan sih?

"Masih belum sadar juga. Dasar manusia," olok bisikan gaib.

Ya harus gitu, aku suka sama cowok aneh bin sinting macam dia. Kaya cowok udah punah aja. Sekalipun hanya dia di dunia ini mending aku nyelem ke laut. Siapa tahu ketemu putri duyung ganteng.

"Awas ketiban karma loh, Nad. Kaya judul sinetron benci jadi cinta. Ea ea," ejek bisikan gaib.

"Nih, pegangin baju gue. Awas jangan sampe kotor. Besok masih dipake." Dia menjulurkan bajunya padaku. Aku hanya memandangnya sengit.

"Mau ditolongin nggak?" Aku mengangguk keras dan menerima bajunya.

Dengan lincahnya dia memanjat pohon yang tingginya lumayan. Dahan demi dahan berhasil dinaiki.

"Hati-hati."

"Iya sayang."

Aku keceplosan. "Ma-maksudku, lo jangan sampe bikin kucing gue stres. Kucing mahal tuh."

"Hm iya iya."

Saat menginjak dahan yang terakhir tiba-tiba kakinya terpeleset dan—    
"Ah ..." teriakku. Aku memejamkan mata ketakutan. Tunggu.

"Haha. Biasa aja kali. Cuma akting barusan." Dia tertawa puas di atas sana. Apa kabar denganku, sudah pasti aku kesal padanya.

Hap. Bon yang digendong olehnya berhasil turun dengan selamat. Alih-alih memberikan Bon, dia merogoh kantong sakunya dan memberikan ponselnya padaku.

"Nomor WA."

"Hah?"

"Gak usah pura-pura budeg. Gue kan udah nolongin kucing lo yang manis ini. Ya walaupun lebih manis yang punya. Sebagai bayarannya lo catet nomor lo. Nih." Dia menyengir kuda.

Pemaksaan. Ini bukan pertama kalinya dia meminta nomor ponselku. Sebelum-sebelumnya aku menolak memberikannya.

"Sudahlah. Berikan saja. Sebelum menyesal. Toh apa ruginya. Dia sering membantu. Bukan orang jahat." Kata bisikan gaib seakan-akan dia tau seluk beluk si kunyuk ini.

"Nggak mau ya udah. Tadi lo bilang ini kucing mahal kan? Pas banget tetangga gue lagi butuh peliharaan. Gue jual aja."

"Sembarangan lo. Iya iya."Aku mengetik nomor WAku diponselnya.

"Gitu kan enak." Senyum merekah tampak melekat di bibirnya. Senyum kemenangan.

"Kamu lihat kan Nad. Senyum manis buahnya itu. Leleh."

Manisan juga senyum Bapak gue. Enyahlah kau bisikan gaib.

EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang