Siapa yang akan tahu takdir berkata apa. Ketika takdir mengatakan dirimu harus mengikuti aturan yang berlaku maka siapa yang bisa menolak takdir yang saat ini sedang berjalan. Hidup sebagai anak anjing mengais belas kasih, dan dilatih untuk menjadi lebih dari seekor anjing pembunuh selalu siap kehilangan siapapun yang berarti bagi mereka. Diajarkan untuk menekan setiap perasaan tanpa memiliki sedikitpun perasaan yang jauh berkembang dari sekedar perasaan yang tidak melibatkan hati.
Dia tidak pernah berpikir melibatkan masalah semacam menaruh perasaan lebih kepada diri seseorang, bahkan untuk membayangkan pun sama sekali tidak terbesit. Karena seakan terbuang percuma, siapapun yang memiliki keterkaitan dengan hal itu akan berakhir dengan kesia-siaan semata, berapa banyaknya pun saat itu hanya akan menjadi memori yang meninggalkan luka.
Untuk detik kesekian dan entah pada detik, menit, jam keberapa tatapan itu telah jatuh pada refleksi yang terpantul pada bias matahari. Tidak peduli bagaimana dan apa pandangan orang, keberadaan sosok itu ibarat candu. Bukan karena kecantikanya, bukan pula karena asal usul latar keluarga, melainkan karena kenyamanan yang berubah menjadi sesuatu lebih besar menjadi kebutuhan, keinginan terpendam untuk tidak melepaskan apapun yang pernah hampir menjadi hak sebuah kepemilikan.
Dia bahkan tidak bisa mengingat di mana pandangannya yang selalu menatap lurus ke depan, tidak memperdulikan apapun perkataan saudara-saudaranya, bahkan ketika air mata wanita terdekatnya menetes terabaikan, baginya itu hanyalah luapan emosi semata pencari perhatian. Kini terjatuh hanya karena bias matahari. Dia tidak bisa mengingat tepatnya kapan, suara itu mulai menyusup ke dalam telinga, berputar-putar seakan itu adalah alunan melodi yang keluar dari gramofon tua. Dia pun masih tidak dapat mengingat jelas tepatnya kapan, senyuman yang terpancar menjadi refleksi dalam memorinya dan tidak sanggup terhapuskan. Dia tidak tahu, dan entah sejak kapan aroma tubuh itu menjadi candu yang membuat dirinya ingin menyesapi dan meninggalkan jejak-jejak disetiap lekukkan tubuh menandakan gadis itu miliknya. Kadang pun tidak dimungkiri pernah membayangkan mengecup, melumat bibir itu, merasakan bagaimana deru nafas saling beradu, menikmati sampai pada titik puncak kepuasan.
Dan dia menikmati, sejak perbincangan tentang rumah pohon yang berdiri kokoh menjadi salah sangka. Bangunan yang sengaja ia dirikan awalnya untuk melarikan diri, menikmati waktu kesendiriannya tanpa ada gangguan siapapun dan dulu dalam candanya akan dia bagi, jika gadis itu mau menjadi miliknya yang hanya ditanggapi dengan candaan lainnya. Kini, bukan lagi sebagai sebuah candaan semata, dia benar-benar mengingini gadis itu seutuhnya menjadi miliknya. Apapun tentang gadis itu, bersamanya jauh lebih nyaman seakan mengobati candunya.
Benar rupanya kata mereka cinta itu buta, bahkan dia sanggup melihat pancaran yang tidak pernah diperlihatkan sebelumnya oleh saudarinya selain pandangan mencemooh, menyuruhnya untuk menjauhi gadis itu, dan lihat kini siapa yang melanggar aturan. Mencintai secara tidak normal. Mungkin dia juga sama atau bisa dikatakan lebih dari pada itu, gila karena candu.
Dititik ini atau dititik lain batas penentuan hidup, pembuktian bahwa takdir akan menentukan jalan menjadi pemenang atau menjadi pengecut. Pada detik ini dia tidak ingin mengakhiri, melepaskan apa yang hampir didapatkan. Tangan yang menangkup sisi wajah, membiarkan tangannya bergerak menyisipkan helaian pirang kotor, bagaimana pun dia menyukai warna bias matahari yang cahaya bermain diantara gadis itu. Menundukkan kepala sesat membiarkan keningnya bersentuhan, walau dia tahu apa yang ingin dimiliki tidak suka. Memiringkan kepala, maju mendekati telinga, berbisik lembut setelah memberikan kecupan singkat.
"I wish to be with you until die."
KAMU SEDANG MEMBACA
Heliophilia
FanfictionDisire to Stay in the sun; Love of Sunlight (dedication to Clarissa Kruchev from Rauzan Hernandez original charcter in indocapitol rpf based from Hunger Games by Suzanne Collins)