Akhir Cinta

9 0 0
                                    


________________

Gemercik air mengalun merdu di malam ini. Langit gelap dan bintang menjadi payung hiasan. Aku mengendarai motor dengan santai di sebuah jalan dekat taman kota. Lampu lampion mini tergantung di sudut rumah makan yang kulewati. Beberapa di antara pengunjungnya sedang asik memakan buah anggur yang ranum, atau minum jus yang segar.

Tiba-tiba kulihat seseorang yang tak asing di tengah-tengah segerombolan pemuda. Merengkuh seorang gadis yang wajahnya juga akrab. Mereka tengah tertawa bersama. Aku mematikan mesin motor, ingin bergerak mendekat, tapi entah kenapa hati ini menolak. Ada rasa panas tertahan di dada. Kuputuskan untuk pergi, tapi saat hendak menyalakan motor lagi, terdengar ada yang memanggil.

"Rain, tunggu!"

Aku tahu siapa pemilik suara itu –orang yang ingin kuhindari. Aku menengok ke arahnya dan tak lupa memasang senyuman palsu.

"Sini!" pintanya sambil melambaikan tangan.

Aku tertegun sejenak. Setelah memarkirkan motor kesayanganku dan berlama-lama melepas helm barulah berjalan mendekatinya. Kulirik gadis itu, posisinya berpindah, bergabung dengan pemuda yang lain.

"Rain?"

Aku menatapnya yang tengah tersenyum hangat. Namun, ada yang kucari dari manik hitam itu kali ini, sebuah kebohongan.

"Kok kalian nongkrong nggak ajak-ajak gue?" tanyaku. Daffa dan Alda saling berpandangan dalam kebiusan, teman-temannya pun ikut terdiam. "Kok diam? Biasanya kalian kalau main selalu ajak gue. Kita bertiga kan sahabat," lanjutku.

Mereka masih terdiam, kemudian Alda angkat bicara, "Sorry, Rain. Gue pikir lo lagi sibuk. Elo kan sekarang lagi bantuin usaha bokap lo. Jadi gue sengaja nggak hubungi elo karena gue takut ganggu."

Mulutku membulat membentuk huruf 'O'. Pandanganku beralih dari tatapan sebelumnya. Mengamati mereka dari ujung mata. Aku ingin acuh hari ini, tak mempermasalahkan apa yang baru saja kulihat.

"Rain, lo mau ke mana malam-malam begini?" tanya Daffa memecah kesunyian kembali.

"Oh, ya, gue mau pulang dulu. Nyokap nungguin di rumah." Kusunggingkan seulas senyum palsu, langsung melangkah ke tempat parkiran. Meskipun hati ini rasanya teriris seperti luka yang digarami.

***

"Daf, ada yang mau gue omongin sama lo," kataku saat kami sedang duduk di sebuah taman yang terletak di sekitar kampus. Daffa sedang memainkan alang-alang yang digigitnya sedari tadi.

"Apa?" tanyanya tanpa memalingkan wajah padaku.

"Elo suka sama Alda?" tanyaku pelan.

Tiba-tiba alang-alang yang berada di mulutnya jatuh, entah itu sengaja atau tidak.

"Elo jangan ngomong yang aneh-aneh, deh," katanya mantap sambil tersenyum.

Aku membenarkan posisi duduk, kini menghadap ke arah Daffa, "Daf, kita bertiga bersahabat sejak semester pertama. Gue juga bisa liat perasaan kalian yang saling suka."

Raut wajah Daffa mulai terlihat serius. Kini ia pun menghadap dan memandangku.

"Jadi lo udah tahu? Sebenarnya selama ini gue dan Alda sengaja nggak pernah ngebahas tentang perasaan kita. Karena kita menghargai elo yang suka sama gue. Alda juga nggak mau gara-gara cinta segitiga ini hubungan persahabatan kita jadi hancur. Kita nggak mau buat lo sedih."

Aku menunduk, ada rasa sakit karena mendengar pengakuan itu. Tapi aku tak boleh egois.

"Gue lega," tuturku.

Daffa mengerutkan keningnya, bingung dengan ucapanku.

Aku menatap kembali ke depan. "Kepastian. Ini yang gue mau."

Kemudian aku kembali menatap Daffa, "Daf, kalau elo dan Alda saling suka, kenapa nggak jadian? Kenapa malah lebih mementingkan perasaan gue? Gue malah lega elo jujur," ucapku sambil tersenyum. Daffa masih terdiam.

"Justru gue bersyukur persahabatan kita nggak hancur. Sekarang tunggu apalagi? Elo pergi dan temui Alda!" perintahku.

"Elo serius? Beneran nggak papa?"

Aku mengangguk, kembali sambil tersenyum. Senyum yang kuusahakan terlihat tulus.

"Thanks ya, Rain. Karena elo udah mau ngerti perasaan gue."

Setelah berkata begitu, Daffa pergi meninggalkanku. Ia mengendarai motornya sambil melambai kepadaku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. Hanya itu yang bisa kuberikan. Walaupun sebenernya hati ini menangis. Aku ingin menangis, tapi yang keluar justru suara tawa.

Saat terdengar bunyi kecelakaan tak jauh dari tempatku duduk, aku sudah tahu. Itu pastilah Daffa. Aku telah memotong rem motornya. Kenapa? Karena jika aku tak bisa memilikinya, siapa pun juga tak boleh ada yg memilikinya. Termasuk Alda.

Yang kulakukan itu sudah benar, kan? Cinta boleh menghalalkan segala cara, karena itu soal kepeduliaan. Jika dari awal tidak ada kepedulian biarlah dia pergi dengan membawa kesalahan yang tiada disadarinya. Cinta sulit ditafsirkan, juga punya sisi emosional yang tinggi. Dan aku lebih memilih untuk mengakhiri pedih ini dengan luka karena kehilangannya. Meskipun kutahu, kehilanganmu adalah sakit, Daf ....

Karawang dan Lampung, 31 Juli 2018


Nama Penulis :

(Kelompok Semut)

1) Irma Erviana

Namaku Irma Erviana. Panggilanku di rumah adalah Cimot. Entahlah, aku juga tidak tahu mereka mendapatkan nama panggilan itu dari mana atau siapa yang pertama melakukannya. Yang kutahu, dari kecil mereka sudah memanggil dengan nama itu. Sampai sekarang pun, aku masih penasaran.

Aku lahir di Karawang pada 31 Desember, tahunnya kalian tebak sendiri aja ya. Oke, cukup sekian biodatanya. Kalau kalian ingin kenal lebih dekat silahkan follow instagramku @ierviana31, atau jika kalian ada yang ingin kirim saran dan kritik, silahkan kirim email ke . Yang mau bertanya juga silahkan, apa pun yang kalian tanyakan pasti aku jawab kok.

2) Irma Wati

Nama Irma Wati, lahir di Medan 22 Oktober 2001. Sekolah di SMA Muhammadiyah 1 Purbolinggo, Lampung. 


Juara 3 dalam Event Challenge bersama Komunitas Sastra Indonesia

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 18, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Akhir CintaWhere stories live. Discover now