I Like It

2K 149 13
                                    

-I Like It-
©Minkyway
.
.
.
Park Woojin | Park Jihoon | Others
Romance, Angst | Rated T

"Don't wanna be fool, wanna be cool, wanna be lovedㅡsame love as you"

*****

Bagi Park Woojin, malam minggu pertama di musim gugur tahun ini terasa lebih membosankan. Pemuda berusia 20 tahun itu memilih berdiam diri dalam apartemen miliknya. Bergelung di balik selimut dalam kamar dengan air conditioner yang menyala, membiarkan lampu tidur menjadi satu-satunya penerangan dengan alunan musik jazz sebagai pengiringnya.

Nyaris pukul dua dini hari, Woojin terbangun dengan tenggorokan yang terasa kering. Pemuda itu meraih segelas air mineral di atas meja nakas, lantas meneguknya hingga tersisa setengah. Netranya beralih pada kaca jendela transparan yang memburam, diselimuti bulir-bulir air dengan suara guyuran hujan yang terdengar samarㅡtertutup alunan lagu What a Wonderful Word yang menggema hingga ke setiap sudut kamarnya.

Woojin memilih bangkit, mendekati turntable yang memutar piringan hitamnya. Menghentikan musik jazz yang mengalun, hingga suara guyuran hujan makin terdengar leluasa. Park Woojin amat menyukai musik, jazz adalah salah satu favoritnya. Dan turntable adalah alat pemutar musik yang begitu dicintainya. Di usianya yang baru menginjak kepala dua, selera musik Woojin justru jauh lebih tua dari itu. Terlalu kuno, tetapi tidak dapat disimpulkan demikian karena ia masih menyukai karya musik DJ Zedd, Linkin Park, dan beberapa penyanyi terkenal lainnya.

Menghembuskan napasnya kasar, Woojin beralih menatap keluar jendela. Jalanan Kota Seoul seakan tertutup kabut jika dilihat dari kaca jendela kamar Woojin yang terletak di lantai enam. Jemarinya menyentuh permukaan kaca yang terasa dingin, merambat hingga ke seluruh lapisan kulit terdalamnya. Menjadikan Woojin menjauh, kembali bergelung di balik selimut setelah menutup gordennya.

"apa yang harus aku lakukan?" Woojin bermonolog. Meraih ponsel yang terletak di dekat bantal, lalu menekan beberapa angka untuk membuka sandinya.

Jemari pemuda itu menari di atas layar ponselnya tampak telah terbiasa, menekan sebuah ikon kamera berwarna mencolok di sana. Keningnya berkerut, bibirnya menggumamkan umpatan singkat sebelum menekan sebuah simbol hati tatkala layar ponselnya menampilkan sebuah foto pemuda yang amat sangat dikenalnya.

"shit! Cantik sekali." umpatnya sembari mengomentari.

Detik selanjutnya, sorot mata pemuda itu mendadak berubah sendu. Guyuran hujan masih terdengar, mendengung memenuhi indera pendengarannya hingga Woojin menaikkan selimut tebalnya sebatas bahu. Suhu dingin di luar sana seolah memaksa masuk, menghantam tubuh Woojin hingga serasa menusuk tulang-tulangnya. Tetapi, ekspresi wajahnya tampak luar biasa datar. Nalarnya mencerna, menyatakan bahwa ia sudah terbiasa dengan situasi semacam ini. Berkontradiksi dengan reaksi tubuh dan hatinya yang terus saja memberontak.

Karena Woojin benci ketika kerinduan merambat masuk di antara hembus hawa dingin yang memenuhi setiap malamnya.

*****

Dalam beberapa bulan terakhir, Woojin tak lagi melihat snack kesukaannya berada di atas meja. Tidak lagi ada berbagai jenis bahan makanan di dalam kulkasnya yang kini terasa lebih kosong. Woojin tidak lagi pusing mencari kemana perginya beberapa koleksi komik kesukaannya. Seluruh rak bukunya terlihat penuh, rapi, dan sedikit berdebu karena tak lagi ada yang menyentuhnya. Dan yang lebih membekas diingatannya, Woojin tak lagi dapat mencium wangi aroma masakan dari arah dapur apartemennya.

Semuanya berubah semenjak enam bulan yang lalu. Hari di mana Woojin tidak bisa menekan egonya, dan hari di mana ia kehilangan cintanya. Membiarkan sebagian dirinya pergi, hilang dibawa lari Park Jihoon yang meninggalkan apartemennya dengan wajah yang penuh air mata. Hari dimana Woojin menyesali segalanya namun tak berani berbuat apa-apa.

Chasing Embers [Pwj+pjh]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang