Namaku Sarifah. Asalku .Cianjur, Jawa Barat. Selama pendudukan Jepang keluargaku berpindah-pindah hingga akhirnya tiba di Jakarta. Kami terpaksa meninggalkan kampung halaman karena seluruh hasil panen selalu diambil tentara Nippon. Kami bertahan hidup memakan dedaunan, hewan kecil seperti siput, dan lainnya. Tak heran, sekarang muncul lelucon "Beristri orang Sunda enak, lepas di kebon pasti hidup." Terdengar lucu, ya. Tapi pedih untuk kami.
Saat Pak Karno dan Hatta membaca teks Proklamasi, usiaku baru 10 tahun. Aku masih ingat, keluarga kami dibangunkan tengah malam oleh para pemuda. Katanya, kami harus hadir ke Pegangsaan pagi-pagi. Akan ada peristiwa penting.
Setelah sahur, kami sekeluarga berangkat sekitar jam 5 pagi. Jalan kaki. Banyak tentara Jepang berjaga. Dalam hati, aku merasa takut. Jangan-jangan kami bakal dibantai. Ternyata tidak, mereka - walau bersenjata lengkap - hanya berjaga saat teks Proklamasi dibacakan. Saat Merah Putih dikibarkan.
Aku menangis. Bahagia mendengar suara Pak Karno. Akhirnya negaraku merdeka.
Faktanya, kami belum merdeka.
Setelah itu, tentara Belanda datang lagi. Kali ini bersama tentara Inggris. Mereka semua kejam, ingin menguasai kembali Indonesia. Keluar masuk kampung mencari laki-laki usia 15 tahun ke atas untuk ditawan, atau dibunuh. Ayahku pun dibawa mereka. Di rumah tersisa aku, ibu, dan nenek.
Kami terpaksa meninggalkan Jakarta karena keadaan kian buruk. Kami bertiga ikut rombongan pengungsi menuju Bandung. Jalan kaki.
Dari Bandung kami menuju Cianjur. Niatnya pulang kampung dengan harapan lebih aman.
Tapi di mana kampung kami? Saat tiba, rumah dan ladang hangus menghitam. Aku tak tahu mesti tinggal di mana. Di lapangan kosong, kami terduduk menatap sekitar yang gosong.
Salah seorang dari rombongan kami, tetiba melaporkan masih ada rumah tersisa di bibir kampung. Kami pun bergegas menuju tempat itu.
Dari luar, rumah reyot itu tampak sepi. Tapi terdengar suara isakan, rintihan, dan bisikan. Kami tak berani langsung masuk karena waspada, bisa saja itu jebakan Belanda.
Akhirnya, seseorang di antara kami nekat menggedor pintu. Ketika terbuka, alangkah terkejutnya, belasan wanita di dalam rumah itu telanjang bulat
Rupanya mereka sudah kehabisan pakaian semenjak rumah-rumah dibakar Belanda. Kalaupun ada baju yang tersisa sudah koyak, serupa rambut penuh pitak.
Kami berikan mereka beberapa helai pakaian. Tapi tak cukup. Terpaksa sebagian wanita tetap bugil. Bayangkan, Cianjur kala itu masih sangat dingin, kala malam tubuh pun menggigil. Apalagi kami kesulitan makanan. Saat lapar memanggil, perut yang perih dan ketakutan akan musuh membuat hati kami semakin kerdil.
Dari pasukan gerilya, kami mendengar kabar harus pergi mengungsi lagi. Kami pun berangkat, entah ke mana, yang penting menjauhi medan perang.
Dalam perjalan dengan beberapa wanita yang bugil, kami terseok dalam pedih, lelah, kelaparan. Tapi kami harus bertahan hidup, bagaimanapun caranya. Termasuk ketika seseorang di antara kami berhasil membunuh tentara Belanda. Pakaiannya diambil dan dikenakan agar tak bugil.
Oh ya, beratnya perjalanan kami, membuat nenek tak kuat. Beliau akhirnya tewas kelelahan. Kami menguburkannya sembarang saja, entah di mana lokasinya sekarang.
Berjalan kaki puluhan kilometer, akhirnya kami sampai di Pameumpeuk. Di sana cukup aman, kami bisa membangun rumah.
Nak, itulah kisah Ninik. Makanya sekarang aku selalu menangis terharu melihat kalian, cucu-cucu ketika merayakan Hari Kemerdekaan. Aku senang kalian bisa berlomba, bisa tertawa dan tak kesusahan lagi.
Lain waktu, aku akan bercerita ketika Belanda telah pergi dan negara kita tetap saja belum aman. Muncul pemberontakan di sana sini.
Ketahuliah nak, melawan musuh seperti Belanda dan Jepang lebih mudah ketimbang berhadapan dengan saudara sendiri. Karena aku tak tahu sekarang kepada siapakah kamu berpihak? Apakah tetap menegakkan NKRI atau diam-diam ingin membentuk pemerintahan baru, yang konon disebut Khilafah.
Sudah, jangan bertengkar hanya demi kepentingan politik, ya...
Bersatulah dan bangun negeri ini sekuat tenaga. Hargai kami yang mengalami derita hanya untuk sepenggal kata: MERDEKA!
---------------------------------------------------
Seperti dikisahkan Ninik (nenek) Sarifah, tetua di kampung saya, Depok Utara, Beji, 17 Agustus 2018.
-----------------------------------------------------
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan Bugil dan Hari Merdeka
Non-FictionKami terkejut melihat belasan wanita telanjang di dalam rumah itu....