Of Memories and Awkward Chuckles

477 53 31
                                    


"Mau tambah lagi tehnya?"

"Terima kasih, sudah cukup."

Pemilik warung makan itu sudah sangat kenal denganmu, sehingga kejadian langka seperti itu terjadi. Pada umumnya, pembelilah yang akan minta teh refill berkali-kali kepada pelayan toko ketika tahu bahwa ia berhak menambah teh tanpa menambah bayaran, kadang tidak peduli bahwa teh tersebut rasanya sama persis seperti air biasa. Akan tetapi untuk kasusmu, malah kamu yang terus ditawarkan untuk me-refill minumanmu.

"Jangan sungkan dengan kami," wanita tua ramah itu tersenyum padamu, "sudah lama sekali rasanya sejak kunjungan terakhirmu... apakah pekerjaanmu sedang merepotkan?"

"Pekerjaanku selalu merepotkan," kamu menjawab pendek sambil meneguk teh dingin dari gelasmu. Wanita itu membereskan piringmu yang kini sudah bersih dari nasi maupun kari daging di atasnya.

"Masih lama, 'kan, di sini? Anak-anak sebentar lagi pulang, mereka akan sangat senang bertemu denganmu lagi."

Baru saja kamu hendak mengatakan bahwa kamu akan segera pergi. Tiba-tiba, pintu menuju warung makan terbuka lebar. Empat anak laki-laki dan satu anak perempuan berseru gembira memanggil-manggilmu sembari menyeruak masuk untuk menghampirimu.

"Ada Tante Cantik!"

"Wah, Tante, dari mana saja?"

"Mau oleh-oleh kue lagi dong, Tante!"

Kamu sudah berkali-kali menjelaskan bahwa kamu terlalu muda untuk dipanggil seperti itu, tetapi mereka bersikukuh. Lebih mudah diingat dan disebut, kata mereka. Mau tidak mau, kamu hanya bisa pasrah saja karena mereka pun sepertinya sangat menyukai panggilan itu –dan menyukaimu, tentu saja.

Kamu sedang menjawab pertanyaan anak-anak itu sembari membagi-bagikan cokelat dan manisan kepada mereka ketika pintu terbuka kembali.

Ah, tentu saja.

Berhubung ini hari Sabtu, anak-anak ini pasti akan diajak jalan-jalan oleh pemuda berambut merah itu, yang kini berdiri di depan pintu penuh rasa terkejut yang barangkali cuma kamu bisa menafsirkannya. Tentu saja ia kaget melihatmu, sampai terpaku sejenak di tempat berdirinya, berhubung ia sama sekali tidak terpikirkan akan kehadiranmu lagi di warung makan favoritnya ini. Sadar penuh bahwa kalian bertemu pandang, ia tidak buru-buru memutus kontak denganmu dan bergerak lebih lambat.

"Oh," suaranya terdengar pelan seiring ia menyebutkan namamu sembari menutup pintu itu, "kamu datang ke sini."

"Hai, Odasaku," kamu tersenyum kepadanya tanpa memedulikan ledakan aneh di dalam ulu hatimu, "tidak apa-apa... aku sebentar lagi pergi."

Pemuda itu buru-buru menghampirimu. Sepertinya ia lelah sehabis menyetir mobil, karena ia meregangkan kedua lengan berikut sepuluh jarinya sampai berkeretekan. Ia duduk di kursi sebelahmu yang kosong dan langsung berbatasan dengan konter pemilik warung. Tanpa menunggu pesanannya terlebih dahulu, wanita ramah itu telah memberikan minuman yang selalu dipesannya.

Oda Sakunosuke membuka pembicaraan, "Tidak makan dulu?"

"Aku sudah makan."

"Tunggu ya, aku akan mengantarmu pulang sebentar lagi."

"Kamu 'kan baru saja membawa anak-anak bepergian," kamu menolak tawarannya dengan tutur kata yang halus sekali, "kamu perlu istirahat, Odasaku."

Diam-diam, kamu melirik ke arah Odasaku yang menenggak isi gelasnya sampai habis. Melewati kerongkongan di dalam lehernya yang berkilap lantaran keringat tipis, minuman itu diteguknya satu, dua, tiga, empat... ah, kenapa kamu jadi menghitung berapa kali jakunnya bergerak. Buru-buru kamu memandang konter ketika safir cemerlang itu bergerak ke arahmu.

Of Memories and Awkward ChucklesWhere stories live. Discover now