Malaikat Itu Adalah Sesosok Lelaki Bermata Hazel

164 20 11
                                    

Sebelumnya, berangkat ke sekolah tak pernah membuatnya sesemangat ini. Sampai detik ini, ia masih sependapat dengan kebanyakan remaja yang menganggap bahwa meja, kursi, dan ruang kelas sama membosankannya seperti hidup tanpa sambungan internet. Namun hari ini, ia merasa begitu antusias untuk menempatkan diri di tengah-tengah kungkungan gedung sekolah barunya.

Dulu banyak yang penasaran bagaimana cara membuat ia sekedar tersenyum samar walau sedetik, tetapi kali ini, desir angin jam delapan pagi berhasil melengkungkan senyumnya hingga nyaris membuat kedua pipinya menggembung.

Raden Prasetya mengedarkan pandangannya ke sepenjuru lapangan sekolah yang kini ramai, kebanyakan oleh siswa baru yang singgah dari tenda ke tenda untuk melihat-lihat bazar ataupun mengumpulkan informasi mengenai program ekstrakurikuler yang bisa mereka ikuti. Tak seperti siswa-siswa lain yang masih sibuk menimbang-nimbang mengenai ekskul tempat mereka bergabung, Raden sudah punya pilihan yang sudah sangat mantap. Tak ada yang bisa mengganggu gugat karena sejujurnya, hal itu adalah satu alasan kenapa Raden memilih untuk masuk ke sekolah ini.

Raden melangkah perlahan menyusuri jalan di antara barisan tenda sembari membaca satu-persatu plang tertambat di bagian depan masing-masing stand. Dan seperti yang sudah-sudah, kerumunan mendadak tersibak dan detik selanjutnya, bisik-bisik dan kikik-kikik kecil mulai terdengar seraya puluhan pasang mata menancapkan pandangan baik dengan gamblang maupun sembunyi-sembunyi ke sosok Raden.

Raden sadar bahwa 'kutukan' yang dibawa oleh namanya kembali terjadi hari ini, namun ia tak peduli. Raden terus mengayun langkah mencari-cari tenda ekskul yang namanya terngiang-ngiang di benaknya sejak setengah tahun lalu ketika orangtuanya mengizinkannya untuk pindah sekolah ke luar kota.

***

"Pokoknya, hari ini kita harus kerja keras nyari cowok-cowok cool bin rupawan buat gabung di ekskul kita." Kevin mengultimatum sembari mengepalkan tinju ke udara.

"Kita kan bukan agency model, buat apa sih nyari cowok-cowok berdasarkan penampilan kayak gitu?" Khayyi mempertanyakan ambisi menggebu-gebu yang tak pernah absen diutarakan sang kapten sejak seminggu yang lalu.

"Buat naikin pamor tim basket kita dong! Lo tahu kan, sejak setahun yang lalu, tim basket kita vakum karena nggak ada fans cewek-cewek yang setia nyorakin di pinggir lapangan tiap kita latihan atau tanding." Kevin berujar.

"Bukannya karena kekurangan pemain ya makanya kita nggak latihan-latihan?" Khayyi mengernyitkan kening.

"Nah, itu bukan sebab tapi dampaknya. Gini deh gue jelasin dengan bahasa yang amat sederhana biar lo bisa mencerna," sahut Kevin sok. "Tim basket kita pada males latihan dan ujung-ujungnya bubar jalan karena nggak ada yang nyemangatin, bro! Ingat nggak, latihan pertama kita setelah Bro Duta cs. lulus? Nggak ada satu pun orang, selain anggota tim, yang hadir. Cewek-cewek yang biasanya nggak pernah absen datang waktu Duta cs. masih bareng kita pada ngilang gitu aja."

"Jadi alasannya karena nggak ada pemandu sorak? Kalau gitu kita usul aja ke Pak Ishaq untuk ngebentuk ekskul cheerleader." Kata Khayyi lagi.

"Jadi lo belum bisa nangkep arah pembicaraan gue ke mana? Come on, Bro Khayyi, ini bukan soal cheerleader atau apa, tapi cewek-cewek itu pada nggak dateng lagi karena di tim kita udah nggak ada sosok yang bisa menarik perhatian mereka. Ada sih, gue, tapi gue kan udah punya cewek jadi ya sia-sia kalau mereka ngidolain gue karena harapan mereka untuk ngedapetin gue itu nol koma nol persen. Jadi, mundurlah mereka dengan teratur. Dan ketika kehadiran cewek-cewek tersebut tak terdeteksi oleh tim kita, semangat buat latihan pun ikutan pupus."

UNSPOKENWhere stories live. Discover now