Lyon, November 2018
Disinilah aku. Di balik meja belajar, menghela nafas atas selesainya tugas. Aku mengalihkan pandangan ke luar jendela yang terhampar di depanku. Malam menghembuskan nafas dinginnya, membuat orang-orang di luar merapatkan jaketnya. Lagi-lagi angin berlari membawa daun yang telah gugur terbang bersamanya. 31 Novembre, begitulah yang tertulis di kalender mejaku. Angin dingin terus berhembus tanpa salju, membuatku bosan menunggu musim dingin sambil merapatkan sweater rajut yang kupakai.
Hawa musim gugur membawaku mengingat-ingat masa lalu. Ke gedung berwarna hijau yang menjulang dengan tiga lantainya. Selasar berlantai merah batanya membayang di benakku. Ruang wali kepala sekolah yang bolak-balik aku masuki untuk mendapatkan persetujuan proposal. Ramainya masjid di awal waktu Dzuhur ditambah dengan berjubelnya jama'ah dan penunggu mukenah untuk shalat di kloter selanjutnya. Sampai pendeknya waktu istirahat yang selalu membuatku waspada setiap sedang makan. Semua itu terjadi di suatu tempat. Tempat pertama kali aku kenal yang namanya "sibuk". Sibuk menjadi pelajar, sibuk berorganisasi, sibuk... mencari gebetan.
Walau pada akhirnya aku kehilangan hasrat untuk berpacaran karena terdoktrin nilai-nilai agama lewat organisasi kerohanian yang aku ikuti, di tempat itulah, aku menemukan teman sejati. Yang bodohnya aku sia-siakan, dan telah hilang entah kemana.
Awalnya aku sudah mengetahui kalau dia sering mencuri pandang. Namun entah kenapa dia sangat diam. Entah malu, entah dia jijik kepadaku karena terkadang pandangannya terlihat sinis. Tetapi fase ini cepat berlalu seiring berjalannya waktu. Kami saling mengenal dan ternyata sifat kami hampir sama. Sama-sama sok asik dan berselera humor rendah.
Lama-kelamaan kami semakin dekat. Dia dan aku tidak bisa terpisahkan, layaknya orang Indonesia yang tidak bisa lepas dari nasi. Perbedaan jenis kelamin tidak menghalangi kami. Saling cerita, saling mendukung, saling tahu satu sama lain. Bahkan aku tahu yang selama ini orang kira ibunya ternyata bukan, melainkan ibu angkatnya. Orang tua kandungnya telah meninggal sejak kecil. Seperti dia yang telah hilang, Samudera Biru.
***
Jakarta, Desember 2013
Hari ini aku dan Sam akan pergi ke Kota. Meskipun sudah beberapa kali aku kesini, tetap saja aku tidak bosan. Memang saat aku mengusul tempat ini untuk weekend refreshing langsung disambut oleh ekspresi bosan milik Samudera. Namun tetap saja namanya teman, apa saja rela dilakukan.
Kami pun sepakat untuk berangkat pukul 09.00 dengan syarat makan siang harus di salah satu tempat makan di Jalan Kebon Sirih. Aku pun langsung menyetujui, mengetahui Sam akan menraktrir.
"Neng, itu Samudera sudah di depan." Mama memanggilku dari dapur sambil menyiapkan sarapan.
"Suruh masuk aja, Ma," teriakku dari dalam kamar.
"Sini, Sam. Kita sarapan aja dulu, yuk," kata Mama sambil mengaduk-aduk nasi di atas penggorengan.
"Gausah tante, saya udah sarapan tadi," jawab Sam, masih berdiri di depan pintu. Omong kosong. Yang namanya makan mana bisa dia tolak. Selanjutnya aku mendengar langkah kaki Sam masuk.
Aku keluar dari kamar dan langsung menuju ke dapur. Mencium aroma nasi goreng membuatku semakin lapar. Di dapur hanya ada Sam dan Mama. Ayah sudah pergi entah kemana, paling-paling dia olahraga di jam segini. Aku pun menarik kursi di seberang Sam.
"Makan, Sam," kataku tanpa melihatnya karena daritadi pandanganku sudah tertancap di nasi goreng beruap di depanku. Aku langsung mengambil sendok dan melahapnya. Begitu juga Sam.
"Kok berdua doang perginya?" Mama bertanya di sela-sela waktu makan.
"Tadinya udah ngajak yang lain. Tapi pada mager," jawabku di sela-sela makanku. "Lagian mau ditraktir Samudera nih. Ya kan, Sam?" lanjutku sambil memasang muka licik ke Sam lalu tertawa.
YOU ARE READING
Sahara dalam Samudera
Teen Fiction"Orang tuanya telah meninggal sejak kecil. Seperti dia yang telah hilang..." *** Haloo! Aku kembali lagi dengan cerita pendek yang kutulis baru-baru ini. Ceritanya aku bikin hanya dalam satu chapter karena ya... pendek. Semoga kalian suka! Kalau kal...