Prolog

672 80 3
                                    

A Collaboration _jendayi and me

This story belong to us

Happy Reading


Falskhet : Prolog

KookV Fanfiction

.

.

Tiga lelaki berseragam berjalan menuju kantin yang menjadi fasilitas tempat dimana mereka bekerja. Yang paling pendek--jika ditilik dari name tag-nya bernama Park Jimin--berjalan agak mendahului kedua rekannya. Raut tidak sabar muncul di wajahnya. Sementara dua lelaki sisanya hanya mendengus geli dan menggeleng pelan.


"Ah, aku sudah sangat lapar. Senang sekali rasanya antrean sudah sepi. Jungkook kau mau pesan apa?" Jimin berbalik sambil melempar tatapan bertanya. Manik sipitnya beralih pada seorang lagi yang terlihat beberapa tahun lebih tua. "Jungsuk Hyung, apa yang ingin kau pesan?"

Tidak perlu menunggu lama Jimin sudah mendapat jawabannya. Lapar membuat kedua rekannya memesan asal, yang penting membuat perut kenyang juga satu lagi, hemat pengeluaran. Paket hemat yang ditawarkan kantin disini menjadi pilihan mereka.

Jimin mengangguk dan berlari kecil menuju kasir untuk memesan makanan. Sementara Jungkook dan seniornya mencari tempat duduk yang nyaman. Sedikit membicaran Jimin dan semangatnya yang tak pernah surut. Si senior, atau mudahnya di sebut Lee Jongsuk berkata bahwa Jungkook adalah si pendiam yang diam-diam giat bekerja. Jungkook yang mendengarnya hanya tertawa kecil dan sedikit membenarkan dalam hati.

"Duduk disini saja," Jongsuk berucap sambil menarik keluarga salah satu kursi sehingga dia bisa menduduki.

Jungkook mengangguk setuju dan berjalan sedikit memutari meja. Sekarang dia duduk berseberangan dengan sang senior.

"Hei, Jungkook, Jungsuk Hyung! Dadanya habis. Bagaimana? Pesan yang lain?"

Yang dipanggil menoleh.

"Ya, Jimin."

"Ya."

Selang tak sampai satu menit Jimin sudah bergabung dengan dua rekannya. Dia juga tersenyum menyapa salah seorang polisi dari tim lain yang kebetulan mejanya ia lewati.

Sembari menunggu pesanan, Jimin yang pada dasarnya cerewet membuka suara, "aku penasaran darimana kau tahu letak markas perampok itu, Jungkook? Ah, benar-benar--," Jimin menunjuk Jungkook. "Kau bisa dipromosikan naik jabatan dengan cepat, Jungkook! Kau selalu sukses menangani kasus selama kau masuk menjadi tim kami. Sudah hampir satu tahun, eh?"

Jongsuk tersenyum dan sedikit memicingkan matanya. Dia hendak membuka suara tapi pelayan kantin datang dan meletakkan pesanan mereka. Membagi masing-masing satu porsi.

Mereka menyeruput es teh masing-masing.

"Jimin benar. Sepertinya aku bisa mempromosikanmu untuk naik jabatan, Jungkook."

Jungkook tertawa. Tahu bahwa dia pantas mendapatkannya. Tapi tidak tahu bagaimana cara membalas ucapan sang senior agar tidak terlihat terlalu percaya diri dan menimbulkan kesan sombong. Jadilah suaranya terdengar aneh.

"Tidak usah ragu, Jungkook. Prestasimu tidak diragukan lagi. Bahkan Jimin yang mendahuluimu akan rela-rela saja kau naik jabatan. Karena kinerjamu memang patut untuk diapresiasi."

Jimin yang disebut-sebut namanya hanya meringis menyadari bahwa prestasinya masih belum seberapa. Dia bekerja keras, kok. Hanya saja terkadang otaknya sedikit kurang mau diajak bekerja sama. Lagian naik jabatan bukan suatu obsesinya. Jadi kalau Jungkook pantas, kenapa tidak? Lagipula, menurut pengamatan singkatnya selama ini, Jungkook memang tipikal pekerja keras yang sudah bisa ia baca kalau juniornya itu mengejar karir yang cemerlang. Seolah gaji yang cukup dan ia bisa makan dengan baik selama satu bukan masih kurang bagi seorang Jeon Jungkook. "Ya, aku tidak keberatan. Aku masih menikmati peranku di jalanan, omong-omong."

Jongsuk tertawa. Jungkook tersenyum simpul.

"Kurasa menjadi atasan Jimin Hyung adalah sesuatu yang menyenangkan. Aku bisa menyuruhnya kapan saja," ucap Jungkook akhirnya. Sedikit mengeluarkan candaan untuk menutupi rasa senangnya. Menjadi polisi adalah cita-citanya. Dan berada di posisi tinggi adalah gambaran suatu pekerjaan dikatakan sukses, baginya.

"Hei, bukan berarti kau bisa menyalahgunakan jabatanmu!" seru Jimin dengan mulut penuh makanan.

...

Seoul menunjukkan waktu pukul sebelas malam. Hiruk pikuk jalanan masih begitu terasa ramai. Yah, Seoul memang kota yang tidak pernah tidur.

Seperti sosok berjubah, bertudung serba hitam dan bertopeng ini. Semakin malam datang maka semakin berdesir pula dia. Darahnya semakin menggelenyar penuh semangat dan ambisi.

Matanya mengintai orang yang sudah beberapa lama ini jadi targetnya. Orang itu tampak bertengkar dengan seseorang. Saling melempar teriakan dan umpatan yang membuatnya berdecih.

"Arogan sekali." desisnya malas.

Pandangan matanya menatap datar rumah milik orang yang diintainya. Menunggu waktu yang tepat untuk bertemu.

Hampir dua jam kemudian akhirnya lawan bicara orang itu keluar. Seringainya tertarik tipis. Terkesan kejam dan berbahaya jika seringai itu tidak tertutupi topeng.

Sosok berjubah itu melangkah secara perlahan menuju rumah yang mulai gelap itu. Tangannya meremat erat benda yang digenggamnya sedari tadi. Ujung benda itu sedikit memantulkan cahaya lampu jalan.

Perlahan namun santai, sosok berjubah itu berhasil masuk tanpa perlu hambatan. Sengaja membiarkan pintu berderit memekakkan. Ditutup dan dikuncinya pintu itu.

Langkahnya tertuju pada kamar targetnya. Mengusap gagang pintu sebentar sebelum akhirnya mendobrak tanpa aba-aba.

"YA! Siapa kau?!" pemilik kamar yang juga targetnya tampak terkejut dengan kedatangannya.

Dan orang itu suka melihat ekspresi mangsanya. Ekspresi terkejut bercampur takut saat melihat pisau daging yang terasah berada di tangan kirinya.

"Y-ya!... S-siapa...siapa kau?!" targetnya tampak ketakutan dan sibuk mencari barang untuk melindungi diri.

Sosok berjubah itu berjalan tanpa suara semakin mendekatinya. Ketakutan si pemilik kamar semakin menjadi. Semakin takut korbannya maka semakin bahagia dia.

"Perkenalkan. Dewa kematian."

......

And the story is..begin

FalskhetWhere stories live. Discover now