"din sini din"
"ya apa pah?"
"tolong ambilin kacamata papah din"
"yaelah pah kan itu kacamatanya disamping papah"
"jauh din tangan papah kurang panjang "
"kan tinggal geser duduknya uda bisa ngambil kacamatanya pah"
"kalo tangan papah panjang juga ga bakal minta tolong kamu din, tapi sayang tangan papah kurang panjang"
"geser duduknya pah, bukan masalah tangan panjang atau pendek"
"lah kan gini din, kalo tangan papah panjang juga gak harus geser tempat duduk kan"
"ya tapi kan tangan papah gak panjang!"
"mangkanya papah minta tolong kamu din"
Andai orang tua kurus ini bukan papahku, sudah pasti ku kubur dia hidup hidup. Mahluk yang kusebut papah ini memang benar-benar aneh, tak pernah seharipun aku bisa hidup dengan tenang dibuatnya. Selalu ada saja hal aneh yang membuatku tak habis pikir, kenapa dia bisa menjadi papahku?.
"ni pah kacamatanya"
"makasi din. Mata kamu kenapa din?"
"gak kenapa kenapa pah"
"gara gara papah minta tolong ambilin kacamata ya"
"bukan pah"
"maaf ya din tangan papah gak panjang jadi minta tolong ama kamu, padahal kamu lagi sibuk-
sibuknya nyusun skripsi dikamarkan ampe merah gitu matanya. Janga lupa kasi obat tetes ya matanya, karena mata adalah .."
"yauda pah dina ke kamar lagi dulu", potongku. Aku tahu dia akan menjelaskan hal yang aneh.
"sini dulu din", papah menahanku dengan menarik tanganku.
"apa lagi pah?, dina mau ngasi obat tetes mata dulu, uda gitu lanjut nyusun skripsi"
"temenin papah nonton film dulu"
"gak!", jawabku ketus sambil menarik tanganku.
"filmnya serem din, papah ga bisa nonton sendirian", dia menarik tanganku lagi.
"kalo serem jangan diliat pah, liat yang lain aja", aku menghempaskan tangannya.
"ya gimana din, maunya liat yang ini. Kamu juga pernah kan udah tau takut tapi kamu tetap ngelakuin apa yang kamu mau"
"ya tapi dina gak ngerepotin orang lain juga kali pah, gak kaya papah pake narik-narik dina buat nemenin nonton film"
"itu salahnya kamu din, napa kamu gak ngerepotin orang lain? Padahal kamu bisa ngerepotin temen kamu kan, ato ngerepotin papah kalo kamu gak takut durhaka mah"
"dina bukan orang kaya papah yang gampang ngerepotin orang lain"
"ya mangkanya kamu salah"
"terserah", ketusku sambil melangkah kakiku ke kamar.
"bentar din", papah bangkit sambil menarik tanganku lagi.
"mau papah apa si?"
"temenin papah nonton din"
"papah itu kenapa sih? Bisa gak sehari aja gak bikin dina kesel, udah tau dina lagi pusing nyusun skripsi. Pakek acara minta tolong ambilin kacamata lah, nemenin nonton film lah. Padahal kacamatanya ada disamping, minta ditemenin nonton film lah pakek alesan filmnya serem lah. Mana ada film raditya dika serem pah!", nadaku meninggi.
"film dika serem din, ekspresinya sama semua din gimana gak serem", sergah papahku serius.
Aku tak bisa berkata lagi, hanya bisa menatapnya tajam.
"oh ya din film dika emang gak serem yauda papah nonton sendiri aja ya, kamu gak usah nemenin papah", kata papah sambil melepaskan tanganku.
"Tatapan es tajam" aku menamai jurus pamungkasku. Itu adalah satu-satunya cara mengalahkan papahku. Aku langkah kan kembali kakiku kekamarku yang terletak tak jauh dari ruang tv dimana papahku yang aneh menonton film serem. Kamarku tak cukup besar tapi cukup untuk meletakan dua lemari , satu rak buku, satu kompoter, satu kulkas, satu tv , satu tempat tidur, dan satu kursi goyang. Dikursi itulah aku lebih lama menghabiskan waktuku, menyusun skripsi, baca buku bahkan makanpun aku melakukannya dikursi goyang. Tak heran jika banyak yang tak menyangka makanku banyak padahal tubuhku ideal, semua bekat kursi goyang ini. Setiap makanan yang masuk akan langsung dicerna jika makan dikursi goyang. Ku hempaskan tubuhku dikursi goyang yang menghadap samping tempat tidurku ini, beberapa saat yang lalu aku meneteskan air mata dikursi ini, tapi entah kenapa setelah setengah berteriak-teriak ke orang tua aneh itu aku melupakan apa yang membuatku menangis. Tidak, aku mengingatnya, tapi tak ada lagi air mata yang menetes. Mungkin rasa kesalku ke papah ku menutupi segalanya.
"bla bla blaaaa blaaa blaa blaaaaa bla blllaaaaaaaaaaaa", hp ku berdering. Dengan sedikit enggan aku merogoh kantong celanaku.
"din bisa ketemu sekarang gak, gwa bakal jelasin semuanya", suara merdu terdengar samar.
"gak ada yang perlu dijelasin lagi dik, semuanya uda jelas", aku tau dia akan mengatakannya. Entah sudah berapa kali aku ada diposisi ini, tapi aku tetap melakukannya dengan perkataan yang sama.
"din, gwa tau kalo gwa salah, gwa khilaf din, semuanya terjadi gitu aja. Maafin gwa din, gwa gak bakal gitu lagi din gwa janji din. Sekarang tolong temuin gitu ditempat biasa, gwa uda mesenin ayam bakar, kwetiau, nasi goreng, bubur ayam kesuakaanmu din"
"dik , aku uda kaya dulu lagi yang bisa baikan cuma disogok ama makanan"
"oia ada es dawet mang rizal juga din, cepetan sini"
"yauda aku kesana"
Aku tahu apa yang kulakukan ini bodoh, tapi aku tak punya pilihan lain. Kehilangan orang kucintai atau menahan rasa sakit ini. Aku lebih memilih untuk menahannya, karena aku bodoh. Dika bukan sutradara film seram yang ditonton papahku, nama lengkapnya Dika jakabodo adalah satu-satunnya pria yang kucintai, aku telah menjalin hubungan dengannya selama 4 tahun 2 bulan 1 hari, aku tahu dia tidak mencitaiku seperti aku mencintainya, tapi aku selalu berharap dia bisa berubah, walaupun itu hanya harapan kosong.
YOU ARE READING
Dina vs Papah
Fanfiction"din sini din" "ya apa pah?" "tolong ambilin kacamata papah din" "yaelah pah kan itu kacamatanya disamping papah" "jauh din tangan papah kurang panjang " "kan tinggal geser duduknya uda bisa ngambil kacamatanya pah" "kalo tangan papah panjang juga g...