Running Away

267 45 6
                                    


:>

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

:>

Pintu loker itu tidak terkunci lagi. Dari luar memang tidak ada tanda-tanda pembobolan. Saksi juga pasti tidak ada karena semua siswi sudah meninggalkan ruang loker itu dan kembali ke kelas masing-masing. Cuma kamu yang belum mengganti baju olahraga pada tubuhmu dengan seragam harian.  

Tanganmu gemetar saat mengambil berturut-turut rok berwarna gelap dan kemeja putih dari dalam loker. Perkiraanmu benar. Hal ini terjadi lagi.

Seseorang telah mengoyak-ngoyak kemeja dan rokmu dengan gunting. Bagian perut, dada, punggung... robek besar-besar. Bayangkan apabila kamu memaksa diri memakai itu, berapa orang yang akan melihat pakaian dalammu. Guntingan pada rok itu membuat pahamu sangat mudah dilirik.

Ini sudah terjadi dua kali dan kamu sudah tidak punya seragam lain lagi. Di rumah, ibumu sudah tidak mau mendengar apa-apa tentang kehidupan sekolahmu. Boro-boro membelikan seragam baru.

Suara tangismu menjadi satu-satunya teman di ruang loker yang kosong itu.

Pada kejadian-kejadian sebelumnya, kamu menunggu sampai sekolah bubar dan pulang memakai baju olahraga. Kamu sudah menyembunyikan kunci lokermu, tetapi para penggencet itu selalu bisa menemukannya lagi. Pasti mereka, kamu tahu siapa anak-anak yang tega melakukan ini, tetapi percuma. Bisa apa kamu yang sendirian melawan segerombolan gadis-gadis jahat yang memanggilmu ke toilet hanya untuk mengancam dan mengejek-ejekmu?

Apa belum cukup mereka membuatmu tidak punya teman di kelas? Apa belum puas mereka mempermalukanmu sambil terbahak-bahak? Bagaimana dengan ponimu yang dipotong acak-acakan oleh mereka lantaran kamu mencoba membalas dan meminta mereka berhenti?

"Apa salahku kepada kalian?!"

"Salahmu cuma satu, yaitu hidup!"

Kurang ajar sekali. Memangnya kamu yang meminta untuk dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan seperti ini? Kalau memang hidupmu adalah suatu kesalahan, lalu kenapa mereka terus membiarkanmu hidup?

Pakaian-pakaian robek itu hanya sedikit meredam isak tangismu, tetapi kamu tidak peduli. Kepalamu tersembunyi di gumpalan seragam di tanganmu, kedua lututmu tertekuk pundung. Tidak ada yang peduli. Ruangan ini kosong, bukan? Ah, tidak, pintunya dibuka seseorang, ternyata.

Terdengar langkah-langkah kaki yang tenang memasuki ruangan.

Orang ini bukan salah satu dari mereka, batinmu, karena mereka tidak pernah menghajarmu sendirian. Minimal dua dari empat, atau empat ditambah satu tamu tak diundang yang hanya datang untuk terkekeh-kekeh melihatmu terpuruk di lantai toilet. Langkah-langkah itu terdengar semakin mendekati dan berhenti di depanmu.

Kamu terlalu takut menengadah untuk melihat siapa lagi tamumu hari ini.

Tidak lama setelah kamu mendengar suara kain yang tertarik, punggungmu terasa hangat karena orang itu meletakkan jaketnya pelan-pelan pada tubuhmu.

"Pakai ini, lalu kita keluar."

Sontak kamu mengangkat kepalamu ketika mengetahui bahwa suara itu adalah suara laki-laki. Seharusnya, siswa tidak boleh masuk ke dalam ruangan ini. Buru-buru tanganmu mengambil jaket itu sementara kamu mengamatinya bergantian dengan si siswa.

Ternyata, dia adalah siswa yang sekelas denganmu dan duduk di meja paling belakang dekat jendela. Kamu hampir tidak pernah melihatnya karena dia sering tidak masuk. Rambutnya pendek dan berwarna hitam, nyaris sewarna dengan jaket yang biasa ia kenakan. Namanya Akutagawa Ryuunosuke. Matanya yang berwarna gelap menatapmu tanpa emosi.

Jaket favoritnya itu sekarang melekat pada tubuhmu.

Buru-buru kamu mengambil jaket itu dan mengembalikannya kepada pemiliknya, tetapi ia menolak.

"Pakai," ulangnya sambil melipat kedua tangan di depan dadanya, "sehabis itu, kita pergi.

"...pergi?"

"Aku menunggu di luar."

Siswa itu terbatuk pelan, lalu meninggalkanmu sendiri di ruangan loker. Suara sepatunya terdengar sayup-sayup dan berhenti. Dia memang menunggumu di sisi pintu ruangan.

Dengan bingung, kamu langsung memakai jaket yang ia berikan. Baju-baju robekmu masuk kembali ke loker. Ketika kamu melangkah keluar ruangan, jari-jari pucat langsung mencengkeram pergelangan tanganmu, memaksamu untuk lari dengan pemiliknya.

Suara hentak sepatu kalian berdua terdengar di seluruh lorong yang kalian lewati. Kamu berusaha mengimbangi langkahnya yang cepat. Ia menoleh ke arahmu dan bertanya dengan suara pelan.

"Bisa panjat pagar?"

Hah? Kenapa dia bertanya begitu? Sambil menghapus sisa air mata di pelipismu, kamu memandangnya bingung.

"Bisa, 'kan?"

"Tidak."

Pandangannya kembali fokus ke lantai lorong di depannya. Bibirnya mendecih keras. Kalian keluar dari gymnasium sekolah menuju kebun belakang. Napasmu mulai tidak teratur ketika mengikuti Ryuunosuke ke pintu keluar khusus staf kebun yang terbuka.

Ah, iya. Kamu pernah mencoba kabur dari para gadis jahat itu lewat sini. Akan tetapi, berhubung pintu itu berbatasan langsung ke hutan bukit yang gelap dan sepi, kamu jadi takut.

Langkah-langkah Ryuunosuke melambat seiring ia mengatur napasnya sendiri. Tangannya yang keringat dingin tidak lagi menahan pergelanganmu. Wajahnya pucat dan ia lebih banyak terbatuk. Ia bertumpu pada batang pohon-pohon yang dilewatinya sambil berjalan.

"Akutagawa -"

"Aku baik-baik saja."

Iya, tapi kamu tidak. Sudah lama kamu tidak lari-lari. Kakimu jadi lemas dan kamu terpelanting akar pohon yang tidak kamu lihat.

Siswa itu menoleh kepadamu yang terjatuh dengan tatapan seram.

"Aku baik-baik saja," ujarmu takut sambil berusaha berdiri.

"Kita bisa berbalik dan memutari sekolah kita yang luas itu untuk sampai ke jalan raya untuk jalan kaki lagi," katanya dingin sambil menunggumu bangkit, "atau memotong hutan ini lurus ke depan sampai ketemu halte bus. Aku sih lebih suka naik bus."

"Kita ini sebenarnya mau ke mana?"

Suaramu yang agak keras saat bicara kepadanya membuat dia tertegun. Sepasang mata kelabu itu menatapmu, tetapi kamu tak tahu apa yang ia rasakan saat ini. Alunan napasnya mulai normal kembali, sama halnya dengan warna merah muda pada bibirnya. Rambut gelap itu berbayang-bayang kelabu lantaran tertimpa sedikit cahaya matahari hutan.

Sejenak, Ryuunosuke hanya memandangmu lurus, tidak menjawab apa-apa.

"Kalau kau lebih suka kembali ke sekolah," tangan kanannya terarah kepadamu seolah meminta, "silakan pergi, tapi kembalikan jaketku."

Tentu saja tidak mau.

Untuk apa kembali ke sekolah, memakai baju robek, dan mengikuti pelajaran di kelas sambil ditertawakan oleh semua teman-temanmu, lalu menemui gadis-gadis jahat di toilet sebelum pulang ke rumah? Akan tetapi, bolos entah ke mana dengan anak laki-laki sakit yang tidak kamu kenal baik juga sepertinya bukan pilihan.

Kamu baru saja mau menjawab ketika jari-jari putih Ryuunosuke kembali meraih pergelanganmu, sementara ia menggumam bahwa berlama-lama di sini hanya akan membuat kalian ketinggalan lebih banyak bus.

Jet Black DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang