Coming Back Home

221 46 8
                                    

"Di dunia ini, orang-orang yang lemah tidak akan pernah bisa bertahan," siswa berambut hitam itu menerawang senja jauh di atas kepalanya, "karena orang-orang yang kuat akan menggunakan mereka jadi batu pijakan."

Mulutmu mengunyah takoyaki yang dibelikannya untukmu beberapa jam sebelumnya. Kamu cuma bisa mengangguk untuk menjawabnya. Rasa-rasanya kamu tidak sanggup memandang Ryuunosuke setelah semua yang ia lakukan untukmu hari ini.

Bus yang kalian naiki sebelumnya ternyata melewati distrik perbelanjaan. Ia mengajakmu turun di sana dan langsung membawamu ke toko seragam tanpa bicara apa-apa. Tas plastik yang tergeletak di sisi kirimu berisi kemeja dan rok baru yang ia belikan untukmu.

Berhubung kalian berdua belum makan siang, ia menyempatkan diri untuk mampir ke deret penjual makanan dan jajanan. Sekali lagi, Ryuunosuke tidak repot-repot meminta pendapatmu dan langsung membeli dua kotak bento beserta minuman dinginnya. Kalian berdua melewati deret pedagang sambil berjalan bersisian, tidak ada yang membuka topik.

Sekalinya kamu iseng mengamati takoyaki  hangat pada penggorengannya, Ryuunosuke segera memesankan satu porsi bola-bola gurita itu kepada pedagangnya untuk diberikan kepadamu.

Jadinya, sepanjang kalian jalan berdua, kamu cuma bisa melihat ke jalan atau mencuri pandang ke arahnya sesekali.

Kalau kalian bertemu pandang, ia cuma menghela napas tanpa berubah ekspresi sama sekali. Kadang, ia segera melihat ke arah lain. Pernah juga dia langsung menanyakan apakah kamu ingin beli sesuatu lagi.

Setelah agak lama kalian berdiam, kamu akhirnya mendapatinya melirik ke arahmu.

"Ini bukan kencan," ujarnya buru-buru sambil terbatuk dan membuang muka. Pipinya yang pucat itu merona tipis. Kamu jadi agak menjaga jarak agar tak terlalu dekat berjalan di sampingnya.

Akhirnya, kalian berdua berhenti untuk makan di pinggir kanal yang bersih. Air yang mengalir di hadapan kalian, meski berwarna agak gelap, tidak berbau. Di atas pinggirnya yang diaspali dengan batu-batu kecil ada bangku taman dan sebaris pohon yang rindang. Makanan di kotak bento kalian habiskan perlahan dalam hening. Sesekali, angin sejuk pertanda sore akan datang bertiup.

Kamu memang tidak kenal dekat dengan Ryuunosuke, tetapi atmosfer di sekelilingnya membuatmu merasa aman. Meski tatapannya dingin dan ia jarang bicara, kamu tidak merasakan ancaman apapun dari sepuluh jari putih dan kurus itu.

Omong-omong, itu kejadian yang sudah berlalu tadi. Sekarang, langit di atas kepalamu sudah hampir berubah dari jingga jadi lembayung. Kamu masih terdiam dan mencari kata-kata untuk menanggapi Ryuunosuke.

"Lemah dan ditindas itu wajar," katanya sambil menghela napas, "tetapi berubah jadi kuat untuk melawan itu pilihan. Setelah jadi kuat pun, kau akan disuruh memilih lagi. Akan kaugunakan untuk apakah kekuatan itu..."

"Sayang sekali, ya," gumammu akhirnya sambil tersenyum pahit kepada takoyaki-mu, "aku tidak kuat seperti Akutagawa."

Siswa itu bergeming. Kalau tadi ia menatap langit, kini sorot matanya menyelami riak air.

"Aku menabung agar bisa mengajak adikku jalan-jalan seperti hari ini setelah aku keluar dari rumah sakit."

Kamu duduk lebih dekat karena Ryuunosuke memelankan suaranya. Rumah sakit... oh, pantas saja kamu jarang melihatnya di kelas. Kalau diingat-ingat, ketua kelasmu pernah mengajak semua anak untuk patungan membeli buah untuk oleh-oleh menjenguk Ryuunosuke.

Tentu saja kamu tidak bisa ikut menjenguk. Pertama, kamu bukan pengurus kelas atau teman dekatnya. Kedua, kamu tidak punya waktu karena gadis-gadis jahat itu menunggumu sepulang sekolah di toilet wanita untuk ditindas.

"Aku tidak tahu apa-apa tentang adikku yang selalu tersenyum kalau menjengukku sepulang sekolah," kedua tangannya mengepal keras di atas pangkuannya, "aku bahkan tidak curiga ketika ia memotong rambut panjangnya jadi lebih pendek dari bahunya. Ganti gaya agar lebih segar, katanya... bodoh sekali aku."

"Apa yang terjadi, Akutagawa?"

"Apa lagi?" Bicaranya mendadak jadi gusar, "Dia juga sama sepertimu. Ditindas. Orang-orang itu, setelah kupikir-pikir, pasti memotong paksa rambutnya. Setiap mengunjungiku, matanya merah bukan hanya karena kurang tidur setelah berjaga di sisiku dan belajar dini hari, tetapi karena menangis! Dia tidak pernah cerita, tentu saja tidak mau, pasti karena dia ingin aku fokus pada kesehatanku dan tidak mengkhawatirkannya. Beberapa hari sebelum aku meninggalkan bangsalku, dia bunuh diri."

Rasanya kamu tidak lagi ingin menelan takoyaki  pemberiannya. Ryuunosuke kembali terbatuk. Bibirnya menyeringai penuh rasa hina.

"Dia lemah, adikku itu," ia terkekeh, "lemah sekali. Aku yang tidak bisa melindunginya juga sama lemahnya."

"Akutagawa -"

"Hanya saja, membunuh orang-orang jahat itu juga tidak ada gunanya," suara geramnya memotong kata-katamu, "malah menyusahkanku. Semisal aku sekuat itu untuk menghabisi mereka, aku akan masuk bui, tetapi adikku tetap tidak akan kembali."

Kamu hanya bisa tertegun menunduk mendengarkan penuturannya. Apakah ada orang di kelasmu yang tahu soal ini? Menurutmu tidak, karena ia tak pernah bicara dengan siapa-siapa. Setelah Ryuunosuke mengakhiri kisahnya, tidak ada yang bicara lagi.

Bola gurita terakhir baru saja kamu tusuk ketika akhirnya iris kelabu Ryuunosuke berfokus padamu.

"Kalau kau sendiri," ujarnya, "apa yang ingin kaulakukan terhadap orang-orang yang menindasmu?"

Pertanyaan macam apa lagi itu, batinmu sambil mengerjap. Apa ya? Sepertinya kamu tidak pernah memikirkan soal itu... melapor ke guru? Ah, itu hanya membuat semua semakin buruk. Tidak, kamu tidak sebrutal Ryuunosuke yang sampai terpikir untuk membunuh mereka.

Atau mungkin, iya.

Tunggu dulu. Kalau mau membunuh juga, bagaimana caranya? Mereka banyak, kamu cuma sendirian. Tak mungkin kamu memanggil salah satu dari mereka untuk dikirim ke neraka satu per satu. Kamu tak punya senjata api. Kalaupun akhirnya kamu berhasil menggunakan senjata tajam, kamu tidak merasa mampu mengatasi perasaan-perasaan bersalahmu setelah mencabut nyawa orang lain.

Bagaimana dengan orang tua dan keluarga mereka? Apakah mereka tidak akan sedih bila anak mereka tewas di usia muda? Jangankan orang tua, lihatlah Ryuunosuke ini, yang duduk di sisimu, menunggu jawabanmu. Kamu hanya akan membuat rantai kebencian dan kesedihan.

Kamu cuma mau mereka berhenti menginjak-injakmu, itu saja. 

"Aku tidak tahu," katamu akhirnya.

"Sudah kuduga, kau sama lemahnya dengan adikku."

Kejujuran Akutagawa Ryuunosuke yang pendiam tapi blak-blakan ini kadang membuatmu merasa sedih. Ya, habis, mau bagaimana lagi? Syukurlah dia jarang bicara, karena suaranya sangat menohok.

Kamu cuma bisa tertawa sedih sambil mengunyah takoyaki  terakhirmu.

"Bedanya adalah," nada bicaranya melambat, "dulu, aku lemah dan tak bisa melindungi siapa-siapa."

Agak lama kamu menangkap maksud kalimatnya ini. Dulu, Ryuunosuke tak bisa membantu adiknya... tetapi sekarang, dia sudah tidak sakit. Dia bisa saja melawan para penggencet adiknya.

Akan tetapi, berhubung adiknya sudah meninggal, kamu jadi menangkap maksud samar dalam kalimatnya seakan ia bertekad melindungimu.

Wajahmu bersemu seiring dua tanganmu menutup mulutmu penuh rasa terkejut.

"Akutagawa -"

Kata-katamu terpotong karena remaja itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah pisau lipat yang terlihat sangat tajam siap menikam di tangan kanannya. Mentari senja membuat mata pisaunya berkilat terang.

"Sekarang kita pulang ke sekolah," Ryuunosuke menyeringai lebar sampai ke ujung matanya, "aku ingin bertemu  dengan orang-orang yang jahat kepadamu."

Jet Black DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang