Chapter 1
Matahari pagi musim panas mulai menyengat. Baru saja aku turun dari sebuah bukit batu yang curam. Di hadapanku tersaji pemandangan gurun tandus yang seram.
Matahari belum sepenuhnya naik, sebelah kaki bukit masih tak ia sinari. Disitulah aku merebahkan diri. Kakiku pegal, tanganku sakit, perutku kosong sedari tadi malam. Tidur? Oh mataku merindukannya.
Entah kemana patroli halikopter yang sepanjang malam menaikan adrenalin kami, para kafilah yang melalui sebuah perjalanan tanpa izin. Belum patroli polisi dengan sirine dimana-mana. Warna lampu mereka yang berganti dengan meriahnya tak membuatku bahagia. Bersembunyi dibalik bukit ide bagus sepertinya.
Kalim, kawan dari kawan-kawan sindikat perjalanan ini ada bersamaku. Dua orang Indonesia lain hilang entah kemana. Sisanya, ada 4 orang warna negara Benua Afrika yang tak kuketahui dari negara mana. Kami bahkan baru bertemu tadi malam, karna naik di taksi yang sama.
Aku merebahkan badan, kulayangkan pandang pada langit yang telah ditinggalkan awan. Sebentar lagi matahari menyeluruh menyerangku dan Kalim. Jelas kami tak bisa bersembunyi lagi dari teriknya. Polisi? Entahlah. Dulu waktu masih tinggal di pondok aku pernah beberapa kali kabur dari pondok, bersembunyi dari ustadz. Namun kali ini, bersembunyi dari polisi adalah hal yang berbeda. Sensasi dan resikonya berbahaya.
Tiba-tiba...
"Mau apa kalian disini?"
Sebuah suara datang. Berbahasa amiyah. Aku langsung bangkit, Kalim pun sama kaget.
-------
Satu bulan sebelumnya.
-------
Aku kembali ke kota Madinah dengan harap dan asa. Meninggalkan dia disana dengan semangat baru untuk mencari bekal menghalalkannya. Gadis yang kusuka sejak SMA. Gadis yang tak memperdulikanku bertahun-tahun. Gadis yang tak perduli berapa banyak puisi yang kutulis untuknya.
Tujuh tahun berjalan seperti itu. Musim-musim berganti. Kota-kota silih kudiami. Aku tak berpaling kelain hati. Tetap mendamba sebuah tawa. Menuju kearahnya sekian lama, sekian lama. Ia adalah inspirasi dari kosa kataku. Hanya dengan mengingat pertama kali aku melihatnya, tumpahlah semua aksara. Aku tak peduli ia tak peduli. Hampir-hampir aku tak bisa membedakan antara bodoh dan cinta.
Ia tak bergeming.
Hingga pada suatu hari, ia menelpon disuatu malam.
"Yar, hikss.. abah.." Tangisnya
Aku hadir di pemakaman ayahnya. Aku tahu hatinya hancur. Ia kehilangan lelaki terbaiknya. Sejak saat itu kami mulai menjadi sangat dekat. Darinya, aku tahu bahwa ia pun sebenarnya menyukaiku sejak dulu. Entah apa alasannya ia bersikap dingin bertahun-tahun.
"Aku pernah nanya ke abah waktu beliau sakit, kalau seandainya kamu yang menikahiku."
Wajahnya merona.
"Lalu apa kata beliau?" Aku antusias sambil terus tersenyum.
"Ga mau bilaang aah.." Candanya
Kami tertawa bersama. Dari situ aku tahu bahwa aku direstui. Dia bercerita banyak tentangku pada mendiang ayahnya. Ayahnya menyukaiku. Dari situ, aku bersahabat dengan cinta. Lalu kembali ke kota Madinah terasa ringan sekali. Tahun depan, aku akan menikahi wanita yang paling aku inginkan. Katakan kawan, adalah hal lain yang lebih menyenangkan?
------
Chapter 2Payung-payung masjid nabawi terbuka. Di tiap tiangnya, ada kipas berdiameter besar menyembur udara dan air.