Hukum di Negeri Tanpa Telinga

17 4 1
                                    

Rintik hujan menderu merdu di setiap atap rumah penduduk di sepanjang jalan kota pagi itu. Terlihat langit begitu abu-abu, seperti menyimpan banyak kesedihan, serta pohon-pohon ikut menari-nari mengikuti semilir angin yang menghempasnya.

Terlihat seorang wanita dengan rambut yang hampir memutih semua sedang duduk di kursi jemur di bawah sebatang pohon rindang di taman kota dekat persimpangan jalan menuju sekolahku, entah apa nama pohon itu, tapi terlihat sekali pohon itu mungkin lebih tua dari umur wanita itu.

“Apa yang nenek itu lakukan hujan-hujan begini?” tanyaku dalam hati.

Nenek itu duduk termenung dengan tatapan kosong layaknya menikmati hembusan angin dan rintik hujan yang sesekali menyentuh kulit keriputnya, aku ingin menyapanya tapi jam sudah menunjukan pukul 07.10 Wib dan aku harus segera sampai ke sekolah sebelum satpam sekolah menggembok gerbang sekolah. Aku harus menepati janjiku untuk datang tepat waktu hari ini, hingga aku mengurungkan niatku untuk menyapa nenek itu. Aku berlari menuju sekolah dengan tetap berpegang teguh dengan payung yang melindungiku dari ganasnya hujan pagi itu.

Sesampai di kelas, seperti biasa aku melakukan rutinitas sebagai seorang pelajar, sebenarnya hal ini membuatku bosan dan mengantuk. Apalagi pelajaran yang kutemui di jam terakhir yaitu Matematika. Namun, suka tidak suka aku harus mengikuti pelajaran hingga selesai, meskipun sebenarnya ragaku saja yang berada d ikelas, namun fikiran dan hatiku entah dimana. Sampai aku tersadar akan suatu hal, tentang seorang nenek yang ku lihat di taman tadi pagi. Aku terfikir bagaimana keadaannya, mungkinkah ia masih duduk di taman hingga sekarang, atau sudah pulang ke rumahnnya. Kutatap jendela kelas, terlihat hujan sudah reda. Aku beharap nenek tadi masih duduk di taman, karena aku ingin menemuinya, dan mungkin bisa membantunnya, aku yakin sekali nenek itu sedang membutuhkan bantuan seseorang. Sorot matanya dan wajah lesunnya menggambarkan permasalahan dan kesedihan.

Bel berdering kencang pertanda jam pelajaran hari ini telah berakhir. Aku bergegas membereskan bukuku di meja dan memasukannya ke dalam tas ransel dan segera menggendongnya. Aku sudah tak sabar ingin pergi ke taman dan menemui nenek yang ku lihat tadi pagi. Aku berlari kecil menuju taman yang mungkin berjarak 5 Km dari sekolahku, mungkin sekitar 15 menit berjalan kaki. Sesampai di taman, aku tidak melihat keberadaan nenek itu. Taman begitu sepi tidak seperti biasannya, mungkin karena hujan yang mengguyur tadi pagi, orang-orang jadi malas pergi ke taman.

“Mungkin nenek itu sudah pulang ke rumahnnya, aku berharap begitu, namun jika tidak kemana ia pergi?” Aku bertanya-tanya dalam hatiku.

Setelah memandang ke seluruh area taman dan tidak menemukan nenek itu, aku memutuskan untuk pulang. Aku melangkahkan kaki keluar dari Taman dan mulai berjalan menuju rumahku, hingga beberapa meter dari taman aku melihat keramaian di sebuah supermarket. Sepertinya terjadi kecelakaan atau masalah serius lainnya. Aku mendekati supermarket tersebut, dan betapa terkejutnya aku ketika aku mendapati seorang nenek yang aku aku cari di taman tadi duduk di tengah kerumunan masa yang sedang emosi.

“Pak, buk, apa yang terjadi dengan nenek itu?” beberapa kali aku mencoba bertanya pada orang-orang yang berdiri disekitar supermarket tersebut. Namun mereka enggan menjawab pertanyanku, hingga suara dari belakangku memberikan jawaban yang aku butuhkan.

“Nenek itu mencuri di warung ini nak”

“Mencuri? Apa yang ia curi pak?” jawabku dengan wajah tak percaya

“Iya nak, ia mencuri sebungkus roti dan sebotol air putih” (jawab bapak itu halus dan sedikit berbisik)

“Sungguh?!”

Aku benar-benar tak percaya, nenek itu hanya mencuri sebungkus roti dan sebotol air minum, dan ia dihakimi orang-orang seramai itu. Aku mencoba menyelip diantara kerumunan massa untuk dapat duduk di sebelah sang nenek dan menghentikan tindakan anarkis orang-orang itu, dengan memukul nenek itu atau hanya sekedar membentaknya, namun orang-orang gagah itu menghentikan tindakanku, aku mencoba menjelaskan pada mereka, namun mereka enggan mendengar.

Hukum di Negeri Tanpa TelingaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang