#4

21 4 0
                                    

Kutipan ibu yang paling aku favoritkan: "kalau kamu kehilangan sesuatu, artinya memang itu bukan ditakdirkan untukmu."

Saat aku kecil, ibu pernah menganalogikannya seperti ini:
Jika kamu punya uang sepuluh ribu, kemudian selembar dua ribunya hilang, bukan berarti kamu kehilangan dua ribu. Tepatnya, Allah sebenarnya hanya memberimu rezeki sebanyak delapan ribu. Dari awal, memang takdirmu cukup delapan ribu. Dua ribu yang telah hilang, sebenarnya ialah rezeki orang lain yang dititipkan sepintas untukmu.

Lusa kemarin, aku memahami kembali apa yang pernah dituturkan ibu. Kehilangan sesuatu yang telah lama singgah untuk membuat nyaman, adalah satu perkara terburuk yang tak pernah dimohon untuk ada. Awalnya aku takut untuk melangkah dengan kekosongan di satu relung. Takut jika-jika, mimpi besarku berlabuh tanpa tujuan. Segala tentang pilu dan biru, beradu mengantarku tiap menuju rebah.

Ibu benar. Memang sejak awal aku bukanlah orang yang ditakdirkan untuk bersama dia. Ia hanya singgah sekejap untuk mengisi jiwa yang dulu pernah layu. Tugasnya cukup memberi bahagia sampai lusa kemarin. Setelahnya, ia kembali ke takdirnya; bersama orang lain.

Aku perlu ikhlas untuk melepas apa yang pernah kugenggam, dengan tak berharap mendapat balas kerinduan dari dia. Aku percaya bagaimana maksud Tuhan dan takdirnya bekerja. Oleh karenanya, aku bersyukur pernah berbahagia, meski bukan pada dia, tempat terakhir aku pulang.

Kenapa penyesalan selalu ada di belakang? Sebab dengan demikian manusia dapat belajar dari kesalahan yang telah diperbuatnya. Belajar bahwa kehilangan akan sedemikian sakit. Karena manusia kadang baru bisa menghargai sesuatu setelah hal itu lepas dari genggamannya.

—triánta
#sheishiru

UntukmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang