Gue gak pernah membayangkan kalau gue akan ngerasain hal ini. Gue kira cinta pada pandangan pertama itu adalah mitos. Bullshit. Bagi gue dulu, cinta adalah suatu proses. Ada urutannya. Ada tahap-tahapnya. Perkenalan, merasakan debaran cinta, baru jadian. Tidak ada ceritanya gue akan mengucapkan those three fuckin words pada saat pertama. Tidak akan pernah. Damn. Bunuh saja gue saat ini.
"Maaf, apa katamu barusan?"
Gue yakin seyakin-yakinnya kalau saat ini muka gue memerah dari ujung telinga kiri sampai ujung telinga kanan. Sial. Gue merasa gue dalam kendali mantra imperius. Seseorang yang dengan sengaja mengrimkan kata imperio itu pada gue agar gue bisa mengubur diri gue sendiri hidup-hidup setelah efek kutukan imperius itu menghilang. Mungkin seseorang itu adalah Joko, tukang ojek pengkolan yang gue tolak cintanya sebulan yang lalu, atau Mimin anak penjual sembako yang tidak pernah gue gubris segala perhatiannya. Atau Mas Bon Jovi—nama aslinya Bono, kayak vokalis U2 tapi dia malah mengingkari jati dirinya menjadi fans hardcore Bon Jovi—, yang rajin mengirim pesan whatsapp ucapan selamat pagi dan selamat malam.
Tunggu, kenapa gue ngelantur? Harusnya gue saat ini fokus pada lelaki tampan di hadapan gue yang memasang wajah bingungnya. Oh, come on, siapa yang gak akan bingung kalau tiba-tiba saja kau ditembak orang yang baru kau temui untuk pertama kalinya. Bingung? Mari gue ajak flashback ke tiga puluh menit yang lalu, sebelum those three fuckin words keluar dari mulut sialan gue.
Gue, laki-laki berumur 20 tahun yang ganteng, mempunyai proporsi tubuh yang ideal, berambut rapi hasil potongan tukang potong rambut Madura yang terkenal (sekali potong lo harus bayar 8 ribu, tambah 10 ribu jika lo mau di pomade), memakai baju yang lumayan rapi (lo ngarep apa dari gue, kaos dan jeans udah cukup kan?) dan yang terpenting adalah gue gay ganteng. Gue sebut ganteng dua kali? Harusnya tiga, kan sunnah Rosul harus ganjil. Jadi nanti gue genepin kalo gue inget. Sayangnya gue yang ganteng ini hari ini harus tertimpa sial. Motor yang gue gunain mogok, gak mau nyala waktu di starter, sedangkan gue harus nganterin pesanan delivery order salah satu pelanggan restoran tempat gue bekerja, Bebek Petok Petok. Dalam waktu setengah jam, tiga bungkus Nasi Bebek dengan sambal Petok harus sampai di jalan Mahakam. Ralat, waktu gue tinggal 20 menit lagi. Jam 1 siang Nasi Bebek Petok Petok in harus sudah di tangan pelanggan atau gue harus mendapat teguran karena keterlambatan pengiriman dan gaji gue terancam kena potongan. Gue harap itu tidak terjadi karena gue belum bayar uang kos dua bulan.
Dengan kesigapan luar biasa, gue segera melarikan Mio gue ke bengkel terdekat, meninggalkan nomor ponsel untuk pegawai bengkel dan memesan Gojack. Dan hanya butuh empat menit menunggu abang Gojack datang. Tanpa berlama-lama gue pun langsung naik ke boncengan dan mengode abang Gojack segera berangkat. Tepat 5 menit sebelum jam 1 siang, gue sampai di tujuan. Terburu-buru gue kode si abang Gojack untuk menunggu sebentar sementara gue anterin pesanan Bebek Petok.
Setelah pelanggan membayar orderan, gue segera kembali ke abang Gojack yang baik hati menunggu gue. Si abang masih aja memakai helm fullface dan tidak membukanya, mungkin karena cuacanya yang terik. Gue juga masih memakan helm Gojack.
"Makasih mas udah nungguin. Tadi berapa mas ongkosnya?"
Gue mendekat ke arah abang Gojack sambil melepas helm gue. Abang Gojack yang tadinya sibuk dengan ponselnya menoleh ke arah gue dan membuka kaca helmnya. Anjing. Dia tampan. Jarang-jarang gue bilang orang lain tampan, karena gue udah ganteng, gue jarang muji orang lain ganteng. Orang yang lebih ganteng dari gue artinya dia tampan.
"Lima ribu mas."
Gue melongo. Suaranya bass banget. Suara yang gue kagumi. Sangat-sangat manly, suara yang bikin kewarasan gue mendadak ketendang keluar otak gue yang udah kayak lapangan futsal saking gedenya.
"Mas gojack, mau jadi pacar saya?"
WTF. Jancok.
"Maaf, apa katamu barusan?"
Gue mati. Gue terbatuk-batuk mendengar pertanyaannya. Perlahan-lahan kewarasan kembali masuk otak lapangan futsal gue. Abang Gojack yang bingung cepat-cepat mengambil aqua botolan yang ada di motornya dan mengulurkannya ke gue. Tanpa ba-bi-bu gue segera mengambil botol tu dan membuka tutupnya cepat lalu meminunya sampai habis. Melupakan kenyataan bahwa itu bukan air minum gue. Samar-samar gue bisa mendengar tawa laki-laki yang memakai jaket Gojack itu di sela sela suara motor dan mobil yang melintas. Kami masih di pinggir jalan raya.
"Kamu tadi nembak saya?" tanyanya lagi.
Gue bener-bener malu. Ini adalah pengalaman sekali seumur hidup gue, gue yang selalu di dekati orang tapi gak pernah nembak orang. Gue yang tetep setia dengat status sendiri tapi happy dan tidak memikirkan untuk punya pacar sampai gue bisa bangun rumah dengan pohon manggis di halamannya. Semua itu ambyar karena laki-lak tampan berjaket GoJack di depan gue.
"I.. iya..." ucap gue lirih. Malu banget gue. Jancok.
Laki-laki itu tertawa renyah. Suara bassnya benar-benar enak ditelinga gue. Gue bisa bertahan dengan ini selamanya. Ah.
"Kita baru bertemu. Saya tidak tahu nama kamu, begitu juga sebaliknya. Kok kamu nembak saya?"
"gue.. gue.. jatuh cinta sama lo."
Dia tertawa lagi. Gue meremas-remas botol aqua di tangan gue sampai penyok.
"Saya Revan." Ucapnya sambil mengulurkan tangan kanannya.
Ragu-ragu gue menyambut uluran tangannya dan menggegamnya erat. Tangannya hangat.
"Alvin."
Rasanya gue gak rela melepas jabatan tangannya tapi dengan terpaksa gue melepasnya juga. Mungkin ini akan jadi pertemuan terakhir kami kan? Atau gue nanti akan rajin pesen GoJack saja alih-alih pakai Mio butut gue, biar bisa ketemu Revan lagi.
"Mungkin saya belum bisa jawab pernyataan cinta kamu barusan, tapi kita bisa memulainya dulu dengan berteman. Bagaimana?"
Gue menatap wajah Revan yang masih berbingkai helm hitam itu lekat-lekat. Tidak yakin dengan apa yang gue dengan barusan.
"Mau saya antar pulang? Gratis sebagai tanda perkenalan? Tapi kamu harus bayar ongkos GoJack yang tadi ya?"
Gue tersenyum lebar dan kembali memakai helm GoJack yang tadi gue lepas. Lalu dengan semangat gue naik ke atas boncengan sepeda Revan. Gue bahagia.
The End.
note
special thanks buat anak anak TAE yang bikin dare buat gue ketik ini. makasih banget. Gue post nih sesuai request kalian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gue, Bebek dan Tukang Ojek
Kurzgeschichtenshort story. hukuman karena pakai bahasa inggris di Seminggu Tanpa Bahasa Inggris bersama anak-anak TAE. ini homo. yang gak suka jangan dibaca no blurb. pendek. langsung baca aja.