Bagian 1 - Pertemuan

4 2 0
                                    

Ugh, hari ini begitu menyedihkan. Seperti biasanya. Aku tak tahu harus melakukan apa lagi.

Aku melangkah gontai sore itu di taman kota. Seperti biasa, banyak sekali pasangan menjijikan yang sok manis saling melempar rayuan manis.

Ah, paling mereka juga bakal selesai saat sudah naik ke ranjang.

Di salah satu ujung taman, di bagian rerumputan yang teduh berhias pepohonan yang aku tak peduli nama atau jenisnya, aku berusaha untuk memejamkan mata sejenak. Namun, baru menutup kelopak mataku, telingaku menangkap sebuah monolog, mungkin dia sedang menelepon.

"Heh!? Kamu itu bagaimana sih jadi suami? Nggak becus amat ngurus istri.

"Ya nggak becus lah, kenapa kamu biarin wanita secantik itu untuk berhenti jadi artis medsos, huh? Tahu nggak kalau penghasilannya jadi artis medsos itu lebih dari penghasilanmu.

"Ya tapi nggak mutusin kontrak begitu aja dong. Emang nyari artis multi talenta kayak istri lu itu gampang, huh?! Baru nikahin dua minggu aja udah sok nyari masalah ya!?

"Bukan gitu, bukan gitu apanya?! Udah gini aja, bilang ke istrimu buat balik lagi ke manajemen gue. Gue tunggu sampe seminggu ke depan."

Suara itu berhenti. Senyumku mengembang. Aku bangkit dan mencari arah suara itu. Taman yang tak begitu luas itu membantu langkahku. Pria itu nampak sangat bersungut-sungut sambil meremas telepon pintarnya. Di sampingnya, duduk seorang wanita yang memangku balita. Wanita itu mengusap pundak pria itu, lalu mengecup pipinya. Sepertinya dia istri dari pria itu. Aku lalu duduk di dekat mereka dan mengambil telepon pintarku.

"Sabar sih, Bang," ucap wanita itu.

"Sabar, sabar, enak banget lu ngomong sabar."

"Bukannya kawan Abang banyak yang multi talenta juga ya? Lebih dari istri yang tadi Abang telepon?"

"Emang kalo banyak terus gampang banget mutusin kontrak gini? Gue mau jadi manajer dia itu cuman gara-gara gue udah kenal dia dari bocah. Dan, gue tau pengorbanan dia gimana sampe jadi kek gini. Udah lah, lu urusin aja anak kita dulu itu. Gue mau ke kantor."

Pria itu bangkit dan meninggalkan wanita itu. Sekilas, aku melihat kerlingan air mata wanita itu.

--ting--

Yes, aku berhasil mendapat identitas pria itu beserta seluruh keluarga, kawan, kenalan, dan koleganya. Sepertinya, seminggu ini akan ada permainan yang menarik.

Aku bangkit dari kursiku setelah sekilas membaca keterangan seluruh keluarga dekatnya dan mengambil earphone bluetooth dari saku celanaku. Kuhubungi nomor telepon wanita itu, yang bahkan aku tak yakin dia membawanya. Namun, saat aku mendengar ada alunan dari arah wanita itu, aku berjalan menjauhinya.

--Halo, om. Ada apa?--

Aku tersenyum. Aplikasi buatanku ini memang menakjubkan.

--Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin mendengar suara keponakanku tersayang, tapi, umm, kamu tidak apa kan?-- kataku melalui telepon genggamku.

--Maksud om?--

--Suaramu terdengar sedih. Ada apa?--

--Oh, tidak ada apa-apa kok. Bagaimana kabar tante, om?--

--Sebentar, -- kuubah mode aplikasiku --Halo, sayaang? Tante baik-baik saja. Bagaimana kabar kalian?--

--Bang Boy dan Farah baik-baik saja, tante. Apalagi ini si kecil sudah mulai tengkurap.--

--Tidak, suaramu terdengar tidak baik, sayang. Coba ceritakan pada tante.--

Lalu terdengar suara tangis terpecah. Wanita itu lalu mencurahkan seluruh isi hatinya. Aku kembali menyeringai.

Yes, one fish has took the bait. I just have to implan some "great" ideas.

***

Malam yang katanya cerah telah datang. Dan aku harus memasang umpan pada yang lain. Pria semacam Boy tempo hari harus diberi pelajaran tambahan. Kasar, sombong, sok idealis, kaku, egois. Kalau pria semacam itu dibiarkan, dunia ini akan binasa dengan sangat mudah.

Aku masih bergoler di atas ranjangku. Baru saja aku selesai membaca seluruh kebiasaan Boy dan seluruh manusia yang ada di sekitarnya. Dan, aku semakin yakin permainan baru dengan pria ini akan semakin menarik. Hati dan emosi manusia memang selalu seru untuk dipermainkan.

Aku masih mencari beberapa nama untuk kupasang umpan sebagai pion. Sudah seminggu dan aku masih melihat Boy masih dalam perangai buruknya. Aku mulai gusar. Haruskah aku mengambil langkah itu?

***

Dua minggu telah berlalu sejak aku menyebar umpan pada orang di sekitar Boy. Namun, Boy sepertinya tidak mempan dengan semua nasehat dan peringatan dari orang sekelilingnya. Justru, aku mendengar -lebih tepatnya mencuri dengar- orang yang diteleponnya dua minggu lebih sehari lalu di taman, dilabrak langsung oleh si Boy gara-gara istri pria itu tetap tidak mengindahkan ancaman si Boy dan memilih untuk fokus menjadi istri dan persiapan untuk hamil. Dan, seluruh teman -yang telah memakan umpanku- yang mencoba menasehatinya justru diancam dengan perkataan KALAU LU NGGAK MAU IKUTIN PERKATAAN GUE, MENDING ANGGAP AJA GUE BUKAN TEMEN KALIAN.

Ah, sepertinya, aku sudah terlalu baik pada orang itu.

***

Sirine mobil polisi selalu begitu berisik. Namun, aku tak mungkin melewatkan setiap peristiwa besar ini. Tanganku selalu bersih-kotor tetapi bersih-. Dan, polisi tak mungkin menghubungkannya kepadaku. Sudah sepuluh tahun aku melakukan ini, dan tidak ada satu peristiwa pun yang terungkap. Namun, hari ini, aku melihat dua pemuda-satunya ceking, satunya berkaca mata- dan dua orang gadis yang begitu cantik-yang satu dengan wajah bersih berkaca mata yang dihias hijab, satunya memiliki bibir yang begitu molek-, keluar bersama Inspektur Polisi.

Siapa mereka? Seingatku, tidak ada wajah itu di daftarku. Justru orang yang kujadikan eksekutor justru diborgol dan dibawa dalam mobil polisi?

Kuusap telapak tanganku yang mulai berkeringat dingin. Lalu, berjalan menjauhi kerumunan.

Tak mungkin rencana sempurnaku gagal semudah itu. Sial!

***

Tiga minggu lebih dua hari sejak aku melaksanakan rencana sempurnaku pada Boy, Pria Kasar dan Sok Idealis itu. Sore ini aku kembali berjalan-jalan di taman kota. Ya, taman ini begitu ramai dan banyak sekali emosi yang menarik untuk kuperhatikan. Aku menuju tempatku biasa untuk mencari "ikan". Namun, hari itu ada manusia yang sudah berbaring lebih dahulu di tempat itu. Dan, wajahnya begitu familiar. Ya, pemuda yang tersenyum saat keluar dari tempat aku "mewakilkan" pemberian pelajaran tambahan pada Boy, dan ditepuk pundaknya oleh Inspektur Polisi. Aku berjalan mendekati. Dia tiba-tiba duduk dan melihatku.

"Ah, maaf," katanya.

"Tidak apa. Taman ini milik semua orang," jawabku sambil duduk di dekatnya.

"Kurasa kamu sering ke tempat ini."

"Bagaimana kamu tahu?"

Dia tersenyum. "Aku hanya sedikit terkejut saat melihatmu kaget saat aku berada di sini."

"Oh. Detektif ya?"

"Ndak. Aku hanya suka baca cerita tentang detektif seperti Hercule Poirot, Sherlock, Conan, dsb. Dan, karena itu, aku selalu mencoba ilmu mereka soal pengamatan."

Aku terdiam sejenak lalu tertawa. "Aku juga suka dengan mereka. Cerita mereka selalu seru untuk dicoba di dunia nyata-."

Dia tertegun.

"-selain ilmu pembunuhannya, tentu saja. Mana ada orang yang mau berurusan dengan polisi?" lanjutku.

Dia tertawa bersamaku.

"Bisa saja kamu. O iya, perkenalkan namaku Fathur. Fathur Nasri." Dia menjulurkan tangannya.

***

<bersambung>

Catatan Sang RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang