Pertemuan Pertama

1 1 0
                                    

Hari ini adalah hari Jumat. Thank God! Hari Jumat berarti harinya klub basket sekaligus hari hang-out paling kece sedunia. Aku paling suka hari ini, ini adalag hari di mana semua masalah bisa dilupakan sejenak lewat keceriaan di lapangan basket. Oh, iya! Selain itu, basket bisa sekalian bakar lemak juga. Lumayan, sudah seminggu belakangan ini banyak makanan berkalori tinggi. Aku sudah membulatkan tekad untuk latihan tanpa kasih kendor malam ini. 

Melodi bilang, aku harusnya bisa lebih hati-hati pilih makanan dan bukannya terlalu memaksakan diri untuk membakar kalori dengan olah raga. "Lagian ya, Lan...umur kita tuh, udah 30 tahun. Udah di usia-usia yang harusnya lebih memilih makanan sehat.", begitu katanya dengan wajah serius dan super galak. 

"Lan, jadi ikut nggak?" tanya Daffy padaku dengan wajah bosan. Sejak tadi dia duduk manis di depan meja kerjaku, dengan sabar menunggu aku beres-beres. "Kita booking lapangannya dari jam 8, lho! Anak-anak yang lain pasti udah berangkat, deh. Lama banget sih, Lan....Bete...." 

"Ih, bawel banget, sih!" kataku dengan ketus. "Kalau enggak mau nunggu, duluan aja. Melodi juga udah di bawah, tuh. Kalian bisa berangkat bareng. Nanti gue nyusul kalau udah selesai beres-beres." 

"Emang Lana mau naik apa ke sana?" tanya Daffy dengan wajah cemas.

"Gampang lah itu. Naik taksi atau ojek online kan, bisa." jawabku sambil melipat handuk kecil berwarna biru muda yang ada di atas mejaku. 

"Hmm...oke, deh." kata Daffy menyerah. Dia lalu bangkit dari kursi, meraih tas gym warna pinknya, dan sepasang sepatu basket berwarna putih yang diletakkan di lantai. "Naik ojol aja, ya! Inget! Jangan naik taksi! Nanti telat sampai lapangannya. Malam Jumat gini kan, jalanan macet banget."

Aku mengangguk dengan cepat, lalu mengibas-ngibaskan tangan kananku ke arah pintu ruangan divisi HRD. Daffy pun berjalan keluar dengan wajah kesal.

Sebelum menghilang dari pandanganku, dia memalingkan wajah padaku dan melemparkan tatapan super sinis. Ah, biar lah! Aku tidak perduli dengan sikapnya yang kekanak-kanakan itu. Saat ini, yang terpenting adalah selesai beres-beres dan langsung menyusul yang lain.

Buzzz. Buzzz. Tiba-tiba ponselku yang ada di atas meja bergetar. Nama Melodi muncul di layarnya.

"Hmm...." kataku pada Melodi di ujung saluran telepon.

"Hmm?!" kata Melodi dengan nada kesal. "Lama banget, sih? Gue udah nunggu di sini lama banget. Lo di mana?" tanyanya lagi, masih dengan nada kesal.

"Duluan aja, Mel. Daffy otw ke bawah, tuh!"

"What?! With him?! Just him? Alone?" kata Melodi dengan kaget dan kesal.

"Daripada telat, Mel. Sorry ya. Sorry banget. Kerjaan gue baru kelar, nih. Biasa si Pak Kus, Mister Killer. Dia tiba-tiba aja ngasih kerjaan last minutes. But, I am already done. I'll go there as soon as possible."

"Promise?"

"Promise!"

"Okay, I'll believe you. Awas kalau telat banget, yah. You and me...end."

Klick. Melodi menutup teleponnya tanpa memberikan kesempatan padaku untuk berbicara. Hah, dasar Melodi! Kalau sudah marah, kata-katanya tidak bisa dibantah.

Setelah menyimpan ponsel di dalam saku celana jeans, aku segera meraih tas ranselku dan bergegas pergi dari ruangan Divisi HR. I don't want Melodi to be Crazy Monster. I will never ever deal with her for at least a week.

Buk!!! Tiba-tiba aku menabrak seseorang ketika baru saja sampai di depan lift. Ukh, why...oh, why? Mau cepet, malah jadi buntung begini!

"Eh, sorry...." kataku pada orang yang baru saja aku tabrak.

"Kata orang, kalau lari itu pakai kaki dan mata, biar nggak nabrak sembarangan. Tapi...kalau buat Lo, kayaknya harus pakai otaknya juga. Biar lebih seimbang, nggak ngaco."

Aku mengangkat wajahku, lalu memandangi orang yang baru saja aku tabrak. Hmm...kalau secara visual ya, actually he is not bad. Tinggi semampai, kulit coklat eksotis, rambut pendek rapi berpomade, dengan dua bola mata coklatnya yang tajam. Ya, Lord...Pangeran dari mana, nih? Kok, nyasar ke kantor rakyat jelata?

"Ada apa?" tanya laki-laki tampan itu sambil mengerutkan keningnya.

"Hah? Kenapa?" tanyaku yang baru tersadar dari lamunan.

Dengan bodohnya, Upik Abu itu tersadar dari binar-binar cahaya penuh ketampanan dengan mulut menganga lebar. Bagus, Lana! You made your self looked so stupid.

"Stupid." katanya dengan dingin.

"Apa kamu bilang?!" Kali ini hinaannya walaupun benar, bikin aku naik darah.

"Stupid. Morron. Baka. Bodoh." jawabnya dengan ketus. "Udah empat kata tuh, dan semua artinya sama. Lain kali, kalau jalan pakai mata bukan asal gitu aja."

Sabar, Lana.
Jangan emosi.
Kalau di kantor, harus jaga sikap baik-baik.

"Maaf, deh. Tadi enggak sengaja."

Laki-laki tadi memandangiku dengan seksama. "Ada nada enggak tulus di permintaan maafnya. Oh, well...enggak penting juga."

Ia segera mengambil tas ranselnya yang jatuh di lantai, lalu berlalu pergi. Dasar tidak sopan! Yah, aku sih, yang salah sebenarnya. Tapi, apa harus seperti itu sikapnya??? Mentang-mentang tampan menawan mirip Pangeran, ia bisa seenaknya?! Ukh, kesel!

Mood yang sudah disiapkan untuk main basket, tiba-tiba agak rusak. Janji adalah janji. Malam ini, tim HRD akan melawan tim Marketing. Kabarnya, mereka baru saja punya anggota baru di divisi mereka yang mantan atlit basket. Jadi, aku harus tetap datang dan membantu tim.

I took a taxi. Untungnya, jalanan tidak macet. God is with me! Aku sampai tepat waktu di lapangan dan merasa sangat lega. Melodi dengan wajah galaknya, sudah siap menungguku. Ia marah-marah karena aku hampir terlambat dan membahayakan pertandingan antar divisi malam ini.

"Jangan dimarahin dong, Lananya." kata Daffy dengan ketus setelah mendengar Melodi meluapkan amarahnya padaku.

"Ih, apaan sih, Daf! Enggak usah sok sweet, deh!" kataku pada Daffy.

"Kok, Lana gitu?! Daffy kan mau belain kamu." kata Daffy dengan sedih.

"Ah, udah-udah! Jangan malah berantem sendiri, deh!" kata Melodi yang semakin kesal. "Sini, Lan! Aku kenalin sama kompetitor giga favorit kita." katanya seraya meraih lengan kananku dan menyeretku pergi.

"Mau ngapain, sih?" Protesku.

"Aku kenalin sama anak barunya divisi Marketing. Anaknya cucok, tapi kamu enggak boleh silau sama penampilannya ya. Kemenangan tim kita lebih penting."

"Wait...dia???" tanyaku dengan kaget, seraya menahan seretan Melodi.

"Kenalin, Lan...dia ini Galih, anak Marketing yang baru." kata Melodi seraya menarik tangan kananku untuk menjabat tangan.

Aku menarik tanganku dengan cepat. Lalu, menatap Galih dengan tajam.

"Stupid, we meet again."

*****

Just, Lana From WorkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang