11 September, Mendung.
Selalu mendung.
Seolah awal September hanya memberikan janji palsu akan datangnya hujan.
Senja seharusnya terlihat indah dari lantai empat gedung E kampusku. Ungu kejingga-jinggaan. Namun, sore ini langit terlukis lain, mega abu-abu kehitaman berarak mengungkum lagit kota. Aku mendesah, sepertinya akan hujan, dan kelasku belum juga kelar, meski jam digital menampilkan angka 17:11, molor sebelas menit. Aku tak membawa mantol ataupun jas hujan, aku tak mau berbasah-basahan demi pulang ke kosan.
Empat menit berlalu seperti merangkak. Dosen akhirnya mengakhiri kuliahnya setelah melebihi jadwal seperempat jam. Ketika aku keluar dari ruangan, embusan angin dingin menerpaku. Kurapatkan jaketku dan bergegas turun melewati puluhan anak tangga hingga ke dasar gedung.
Di parkiran, bergegas kunyalakan motorku. Jarak kosku biasa kutempuh dua puluh menit dengan kecepatan normal. Sore ini jalanan cukup lengang, kupercepat laju motorku agar lebih cepat sampai tujuan. Sepanjang perjalanan, angin berembus cukup kencang, dinginnya menyisip di sela-sela pergelangan jaketku. Tak kupedulikan lagi, toh jarak kos hanya tinggal beberapa ratus meter lagi. Dingin ini masih bisa kutahan lagi.
Aku sampai kos tepat saat bedug maghrib dipukul bertalu-talu. Aku tetap berdiam diri di teras kos, menikmati adzan hingga usai. Langit berangsur memerah seiring adzan berkumandang, seolah suara adzan mengusir kabut hitam dari langit. Hari ini mendung itu untuk kesekian kalinya gagal. Hanya membawa janji manis hujan yang tak kunjung datang.